"Adek cinta sama Abang dari dulu, Abang juga tahu pasti hal itu." Dan tangis gue pecah seketika itu juga.
"Abang mau berhenti sekarang! Abang akan mengakui semuanya dan Adek juga, Abang cinta sama Adek, bukan baru belakangan tapi itu dari dulu." Jelas Abang memegang erat kedua bahu gue.
"Empat tahun yang lalu, semenjak Adek duduk di kelas dua SMA, Abang sadar Adek mulai menatap Abang dengan cara yang berbeda, gadis kecil yang selama ini selalu menatap Abang dengan senyum ceria mulai berubah tersenyum malu dengan pandangan selalu menunduk ketika Abang ajak bicara layaknya seorang gadis yang beranjak tumbuh dewasa."
"Gadis yang awalnya selalu bersikap semaunya kalau didepan Abang perlahan berubah menjadi gadis pendiam ketika berhadapan langsung dengan Abang, mulai sangat menjaga sikap, sikap manja yang berkurang drastis, rengekan seorang Adik yang perlahan mulai menghilang, jarak yang selalu Adek buat membuat Abang semakin sadar kalau ada yang berubah."
"Aya yang Abang kenal dulu akan selalu berlari memeluk Abang disetiap kesempatan, Aya yang Abang lihat sebagai Adik kecil Abang dulu gak akan ragu untuk tidur dikamar Abang bahkan walaupun harus di ranjang yang sama, Aya yang Abang lihat sebagai Adik kecil Abang dulu gak akan pernah meminta pertanggungjawaban apapun kalau Abang menjitak kepalanya."
"Aya yang Abang kenal dulu gak akan pernah menatap Abang lama kalau Abang duduk dengan perempuan lain dan Aya yang Abang kenal dulu gak akan tertunduk dengan mata yang berkaca-kaca setiap kali Abang memeluk apalagi sampai membela Gea."
Seiring ucapan Abang perlahan tangis gue mulai teredam, gue gak pernah nyangka kalau Abang ternyata menyadari semua perubahan sikap bahkan tatapan gue, gue gak pernah tahu itu.
"Apa Abang salah?" Tanya Abang yang gue balas dengan gelengan.
"Abang juga tahu alasan Adek milih tinggal diasrama itu apa, menjaga jarak dari Abangkan? Terlalu banyak sikap Adek yang berubah."
"Abang membiarkan Adek pindah bukan karena Abang gak peduli tapi semua itu Abang lakuin untuk memberikan kita berdua jarak Dek." Gue mengerti maksud Abang! Saat itu gue yakin Abang juga merasakan ketakutan yang sama.
"Abang juga berubah." Ucap gue menurunkan kedua tangan Abang.
"Abang yang dulu gak akan ragu memeluk Kak Gea didepan Aya!" Ini adalah hal terbesar dari segala perubahan Abang.
"Cuma itu?" Tanya Abang tersenyum kecil.
Gue yang masih berlinangan air mata hanya menatap Abang dengan tatapan gak percaya, banyak yang berubah, gue gak tahu harus menjelaskan semuanya mulai dari mana? Dari sekian banyak perubahan Abang, tatapannya yang gue sadari paling berubah.
"Abang selalu buang muka kalau Aya ada dihadapan Abang." Ucap gue mengusap air mata gue kasar, kalau inget sikap Abang sebelum gue pindah ke asrama, bawaan gue kesal sendiri.
"Abang minta maaf." Abang membantu menghapus air mata gue.
"Kenapa Abang gak pernah bilang kalau Abang juga cinta sama Aya? Kenapa baru sekarang?" Tanya gue kesal.
"Karena Abang pikir kalau Abang mengakui perasaan Abang ke Adek dari dulu, Adek akan menjauh dari Abang nantinya." Gue narik nafas dalam dengan jawaban Abang, ini juga yang gue takutkan.
"Flashback On."
3 tahun yang lalu.
"Ay! Lo kenapa ngeliatin Abang lo sebegitunya banget? Gak pernah ngeliat Abang lo pacaran?" Tanya Ici menggandeng lengan gue.
Mengabaikan pertanyaan Ici, gue masih setia memperhatikan Bang Riza dari arah seberang jalan, Abang terlihat sangat bahagia dengan Kak Gea yang duduk tepat dihadapannya, apa yang sebenernya sangat menarik perhatian gue?
Pertanyaan Ici barusan juga bener, gak ada yang salah dengan Abang dan Kak Gea yang duduk berhadapan kaya sekarang, kenapa gue harus merhatiin Abang gue pacaran sampai sebegitunya? Abang punya pacar bukannya gue gak tahu, apa sikap gue sekarang bisa dikatakan wajar?
"Eh ditanya malah bengong! Lo kenapa?" Tanya Ici ulang mencubit lengan gue.
"Ci! Kenapa gue kaya rada gak suka ngeliat Abang sama Kak Gea ya? Padahal itu pacarnyakan?" Tanya gue ke Ici.
"Ya gimana lo bisa suka kalau ternyata lo tahu kelakuan Si Gea gimana? Kalau gue jadi lo juga gak bakalan suka ngeliat Abang gue pacaran sama perempuan muka palsu begitu, kagak ikhlas dunia akhirat gue." Ici terlihat sangat kesal dengan ucapannya sendiri.
Tapi apa yang gue rasain ini wajar? Apa bener gue gak suka ngeliat Abang sama Kak Gea cuma karena masalah itu? Apa perasaan gue sekarang adalah perasaan kesal seorang Adik untuk Abangnya? Apa ini hanya perasaan khawatir gue karena takut Abang gue terluka?
"Lo kenapa lagi sih Ay? Abang lo udah gede gak usah terlalu lo pikirin." Merangkul bahu gue, gue sama Ici melanjutkan perjalanan kita nyari buku bacaan, novel lebih tepatnya, sebentar lagi bakalan libur kenaikan kelas jadi stok bacaan kudu banyak.
Ini adalah hari pertama gue menyadari perasaan gue ke Abang yang mulai berubah, semakin lama perasaan gue semakin gak terkendali, gue akan marah hanya karena Abang lebih mementingkan pacarnya ketimbang gue, gue bahkan akan menangis kalau Abang memeluk perempuan lain didepan mata gue.
Dan seperti kata Abang, alasan gue pindah tinggal di asrama selama kuliah adalah ingin menghindar, Abang bener, gue gak mau tinggal serumah sama Abang karena gue gak mau perasaan gue terus berlarut, gue gak mau terlalu menuruti perasaan gue karena gue tahu kalau gue akan terluka semakin jauh.
"Flashback off."
"Maaf Abang membuat Adek nunggu terlalu lama, maaf karena Abang butuh waktu lama untuk mengakui perasaan Abang sendiri." Ucap Abang memeluk gue cukup erat, ikut mengusap bahu gue dan mengecup kepala gue berkali-kali untuk menenangkan.
"Aya juga minta maaf untuk hal yang sama." Lirih gue membalas dekepan Abang tak kalah erat untuk pertama kalinya.
Selama ini, setiap kali Abang memeluk gue hanya akan diam, mengabaikan semua perhatian Abang seolah gue gak terlalu butuh, bukan karena gue gak menghargai usaha Abang tapi juga belum yakin dengan perasaan gue sendiri.
Pengakuan Abang barusan seolah menjadi tamparan keras untuk gue, andai gue sama Abang lebih berani mengungkapkan perasaan gue, andai gue sama Abang gak memilih narik diri menjauh satu sama lain mungkin keadaan gak akan sekacau ini.
Ketakutan gue akan ditolak seolah menjadi boomerang, karena terlalu banyak yang gue pertimbangkan sampai gue gak bisa ngeliat kalau Abang sudah membalas perasaan gue untuk waktu yang cukup lama.
Saat itu bukan cuma takut Abang menolak perasaan gue yang gue lertimbangkan tapi reaksi Mama kalau tahu gue mencintai Abang gue sendiri juga membuat nyali gue semakin menciut seketika.
Pergi dan tinggal jauh dari rumah adalah cara gue untuk bertahan, berharap perasaan gue akan terkendalikan sebelum permintaan Mama untuk menikah dengan Abang membuat perasaan gue tumbuh kembali, tumbuh kembali atau memang gak pernah mati sama sekali?
"Jadi bisa mulai semuanya dari awal? Cinta? Kita bisa memastikan itu sekarang, batalkan rencana tiga bulan untuk meyakinkan perasaan kita."
"Saat ini! Detik ini? Abang mau semua orang tahu kalau Adek milik Abang seutuhnya."

KAMU SEDANG MEMBACA
Why Him? (End)
Romance"Ma! Masa nikahnya sama Abang sih Ma? Gak memperluas keterunan ini mah, dari kecil sampe tua masa muka Abang juga yang kudu Aya liatin?" "Ma! Mama liatin anak gadis Mama, disuruh nikah udah kaya disuruh masuk medan perang, memang kurangnya Riza dima...