H-48: Orang Tua Durhaka

1 0 0
                                    

Diperempatan lampu merah yang cukup padat, hari ini, kudapati seorang anak laki-laki berusia sekira 7 tahun berjalan dengan bertumpu pada dua telapak tangannya.

Cacat? Bukan. Bahkan bapak driver Ojol yang menggandengku ketika itu tersulut emosi. Tersebab bengisnya si Bapak, dengan takut-takut ditunjuknya seseorang berusia sekira tiga puluhan tahun yang sedikit bersembunyi dibalik tiang lampu lalu lintas.

"Manusia kurang ajar, kan dek? Masih muda, kuat. Anaknya malah di peralat untuk mengemis, pura-pura cacat lagi," kata si bapak setelah kami terlepas dari jebakan lampu merah.

Aku hanya tersenyum getir. Meski benakku juga tersulut emosi.

Pun, semoga semua setuju dengan nasihat yang kuulang lagi dari sepenggal kehidupan di jalanan itu.

Bahwa, fase anak itu harus diputus. Jika sistemnya tetap dibiarkan akan menjadi monarki. Kelak, ketika ia menjadi ayah, maka hal yang sama atau bahkan yang lebih kejam akan ia lakukan pada anaknya.

Itulah mungkin kenapa, menyiapkan anak sholeh dan sholehah itu bukan sejak fase kehamilan. Tapi sejak memilih ayah dan ibunya.

Sampai hari ini aku masih komit dengan prinsipku, bahwa memilih pasangan hidup bukan hanya hak laki-laki, tapi juga kami kaum perempuan.

Menikah, punya anak dan jadi orang tua bukan perkara usia yang sudah selayaknya. Bukan perkara tuntutan sosial masyarakat, tapi perkara ibadah seumur hidup sampai sesurga. Di yaumul hisab akan diminta pertanggungjawabannya.

100 Hari Menuju Ramadhan 1441 HTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang