DUA PULUH

6 0 0
                                    

Beberapa menit yang lalu Atika memberi tahu bahwa Irhan ingin bertemu denganku di rooftop rumah sakit. Sebenarnya aku mengerti apa yang akan ia bahas disana karena sejak kejadian dimana ia menyatakan perasaanya padaku di ruangan IGD waktu itu semua kembali berjalan seperti biasa tanpa pernah membahas kejadian tersebut, selain karena kami yang secara otomatis akan melupakan hal hal berkaitan urusan pribadi ketika harus dihadapkan oleh permasalahan yang dimiliki klien.

Lelaki tinggi itu sudah menungguku dengan snelli putihnya, dia termasuk dokter yang bisa dibilang tampan dirumah sakit ini. Postur tubuhnya yang sangat proporsional, hidung yang mancung intinya Irhan bisa terbilang hampir sempurna. Namun sempurna itu bukan inginku, sebab aku hanya ingin laki laki paling aneh dibumi yang selalu menemukan cara untuk membuatku bahagia.

Ketika kami berdiri berhadapan aku segera menaruh tanganku di keningnya untuk memastikan kondisi kesehatannya bahwa ia sudah baik baik saja.

"Kenapa harus kasih perhatian kalau ujung ujungnya kamu bakalah ngasih jawaban untuk nolak aku sih, Al." katanya sembari menepis pelan tanganku, aku hanya tertawa pelan mendengar perkataanya itu.

"Aku cuman mau ngelakuin hal yang biasa aku lakuin doang kok, Han. Mastiin kamu baik baik aja." lelaki itu terdiam sambil menatap kedua mataku.

"Lagian juga apa yang kamu omongin ke aku waktu itu gak pernah aku tafsirkan sebagai sebuah pertanyaan yang harus ada jawabanya. Jadi aku berdiri dihadapan kamu sekarang gak akan ngejawab apapun." ia seperti memberiku ruang untuk berbicara.

"Kamu bener, Han. Semua yang kamu omongin ke aku itu bener."

"Semuanya?"

"Iya, semuanya. Termasuk perkataan kamu yang bilang kalau aku adalah perempuan beruntung itu."

"Aku beruntung, karena kamu suka sama aku selama ini. Kamu nyimpen ruang dihati kamu selama bertahun tahun tanpa pernah aku tau. Aku beruntung, Han. Aku beruntung karena perasaan tulus kamu itu buat aku."

"Dan aku mau bilang terima kasih untuk itu. Terima kasih karena perasaan kamu buat aku. Terima kasih karena selalu mau aku bahagia. Terima kasih karena sudah datang dihidup aku. Juga terima kasih karena terus mau bertahan dengan perasaan kamu."  kami terdiam beberapa saat, aku juga memberikan kesempatan untuknya berfikir atas apa yang aku ucapkan.

"Tapi kamu tau kan, Han. Gak semua perasaan harus terbalaskan. Gak semua hati bisa menemukan pemiliknya untuk bersanding."

"Al, kamu sadar sama apa yang kamu omongin gak sih?" akhirnya ia membuka suara sembari tertawa pelan mendengar penjelasanku.

"Sadar, jahat banget yah?"

"Banget." aku tau lelaki dihadapanku adalah lelaki dewasa, ia mengerti apa yang harus ia lakukan ketika dihadapkan oleh situasi ini.

"Aku ngerti dan aku cuman mau jujur sama kamu. Meskipun bakalan terdengar menyakitkan, tapi karena kamu orangnya aku lega bisa ngomongin ini semua. Karena kamu, Irhan. Kamu tau apa yang harus kamu lakuin setelah ini." ia tersenyum.

"Kamu gak akan nyuruh aku untuk berhenti suka sama kamu kan, Al?"

"Enggak, karena seperti yang pernah aku bilang sama kamu."

"Kalau sang pemilik perasaan punya kendali untuk memutuskan akan terus mencintai atau berhenti." ia menyambung perkataanku. Aku lega mendengar reaksinya karena menyimpan perasaan kepada seseorang selama bertahun tahun bukan perkara yang mudah.

"Dari awal ketika aku memutuskan bertahan untuk suka sama kamu aku udah siap dengan segala macam resiko yang akan terjadi. Sayang sama kamu tuh bener bener bikin aku berada di level tertinggi dari mencintai, yaitu cinta tanpa pengharapan apa apa." kemudian ia memelukku dengan erat, meskipun sempat terkejut dengan perlakuanya yang tiba tiba tapi ini adalah hal yang sering ia lakukan padaku sejak dulu. Anehnya, mungkin karena sekarang aku sudah tau tentang perasaanya padaku.

t e m uTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang