TIGA PULUH LIMA

24 0 0
                                    

Beberapa hari terakhir ini kuhabiskan untuk bersama Rayhan, mengurusnya selama dirumah sakit. Semakin hari kondisinya bisa dibilang jauh dari kata membaik, kadang ketika telah memastikanya bahwa ia sudah tidur aku sering menangis sendirian tanpa sepengetahuanya sebab melihat kondisinya itu. Menerima kenyataan bahwa selama tidak bersamaku dia tak pernah baik baik saja adalah salah satu hal yang tak pernah terlintas dalam perkiraanku.

Tadi sebelum aku menuju ruanganku untuk kembali bekerja Bagas selaku dokter Rayhan menyampaikan pesan yang membuatku benar benar khawatir dan kesulitan untuk fokus.

"Kondisi Rayhan semakin memburuk, Na. Dia bilang sama gue kalau dia akan stop kemo. Gue minta tolong buat lo bujuk dia, karena cuman itu satu satunya cara yang bisa nolong sekarang ini."

Selama berhadapan dengan klien aku sibuk memikirkan isi otak dari lelaki yang keras kepala itu. Bagaimana bisa dia memilih untuk tak melanjutkan proses pengobatan yang bisa membuatnya hidup, apa yang sebenarnya dia rencanakan.

Sekarang ketika aku ingin keluar ruangan praktek seusai merampungkan semua pekerjaanku aku mendapat kabar bahwa Rayhan tidak ada diruanganya. Dan yang lebih buruknya adalah, tak ada yang tahu dimana keberadaan lelaki itu.

Mendengar kabar tersebut aku berlari menyusuri tiap celah rumah sakit untuk mencarinya, bahkan ketika menunggu lift terasa sangat lama. Aku memilih untuk berlari dengan tangga darurat mencari disetiap tempat. Dipertengahan jalan aku menabrak beberapa orang karena tergesa gesa, juga aku bertemu dengan Alfi. Lelaki itu panik melihatku yang berlari kencang sembari menangis. Tapi aku tak bisa menjelaskan apapun selain menemukan keberadaan Rayhan.

Kalian tau, berlarian mencarinya seperti saat ini pernah kulakukan beberapa tahun lalu. Ketika aku tau ia meninggalkanku yang tak memiliki persiapan apapun untuk melepasnya, rasa sakit dan takut itu kembali kurasakan kini. Bahkan moment itu teringat jelas di kepalaku, sewaktu aku mencarinya tak tentu arah. Tak tahu kemana harus menemukanya, tak tahu apa yang harus dilakukan agar ia terus bersamaku. Sama seperti sekarang, yang ingin kulakukan hanyalah menemukanya. Meski harus menyusuri tiap inci bumi, akan aku lakukan.

Aku berlari menuju rooftop, tempat terakhir yang belum ku kunjungi. Disini tempat harapan terakhirku untuk kembali melihatnya, karena jika ia tak berada disini itu tandanya ia sudah tak ada dirumah sakit ini lagi. Membuka pintu rooftop dengan tangan yang bergetar dan nafas yang memburu. Bahkan sejak mendengar kabar bahwa ia tak ada saja air mataku tak pernah berhenti menetes.

Cemas dan semua rasa khawatir luruh bersamaan ketika melihatnya berdiri membelakangiku dengan tiang infus disampingnya.

"Kamu ngapain sendirian disini?" ucapku masih dengan nafas terengah engah. Ia membalikkan badanya untuk melihatku.

"Kamu tau aku disini?"

"Pertanyaan aku, kenapa kamu bisa disini sendirian!" aku sudah tak bisa menahan rasa khawatir yang akhirnya tersampaikan dengan amarah.

"Aku bosen sendirian dikamar, Na."

"Kenapa gak ngasih tau aku?"

"Kamu kerja tadi."

"Seengaknya kamu bisa kasih tau perawat yang stay didepan kamar kamu. Bukanya bikin semua orang khawatir dengan pergi sendirian." karena sudah tak bisa menahan tangisku, aku membelakanginya agar ia tak melihat tangisanku. Aku lega karena bisa menemukanya tanpa perlu menyusuri tiap inci bumi, aku tenang karena bisa melihatnya lagi. Aku senang karena ternyata ia tak meninggalkanku. Lelaki itu memelukku dari belakang, ia tak pernah melakukan ini selama bersamaku.

"Maaf karena udah bikin gadis kecil cerobohku khawatir."

"Lain kali kalau mau kemana mana kamu harus bilang."

t e m uTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang