TIGA PULUH EMPAT

9 0 0
                                    

"Kanker darah atau blood cancer stadium IV, dimana kanker darah sudah mengalami metastasis. Dengan kata lain, sel kanker yang tadinya hanya ada di darah, sumsum tulang, dan kelenjar getah bening akhirnya menyebar ke organ tubuh lainnya. Semua usaha pengobatan udah kita usahakan, cuman karena sel kanker nya sudah menyebar keseluruh tubuh yang bisa kita lakukan cuman kemoterapi."

"Tapi dia bakalan baik baik aja kan, Bagas?"

"Gue bohong kalau bilang dia baik baik aja. Dia jauh dari kata baik, Na. Gue jujur aja karena lo temen gue, dan gue rasa lo harus tau ini. Sel kanker dalam tubuh Rayhan bisa dibilang penyebaran paling cepat dan termasuk parah, bahkan untuk bisa bertahan sejauh ini udah hebat banget. Juga untuk bisa bertahan dalam hitungan minggu udah termasuk keajaiban."

Percakapan dengan salah satu rekan yang merupakan dokter Rayhan terngiang ngiang dikepalaku, bahkan untuk fokus menghadapi klien saja rasanya sulit. Menerima kenyataan bahwa waktu nya mungkin hanya tersisa beberapa minggu membuat air mataku turun dengan sendirinya. Sejak kemarin aku belum ada pulang ke apartment, aku menemani Rayhan yang sudah tertidur sangat lama bahkan sampai sekarang. Ia sudah tidur lebih dari dua puluh empat jam lamanya, dan sepanjang perjalanan menuju ruangan tempatnya berada yang kulakukan hanya menghapus air mata yang turun dengan sendirinya dan tak mau berhenti.

Kalian tau, kabar darinya yang juga membuat ku terkejut. Kenyataan bahwa ternyata selama ini kedua orang tuanya bercerai, dan tidak berhubungan baik dengan anaknya. Selama ini mereka hanya terus mengirim uang untuk pengobatan Rayhan tanpa pernah menanyakan bagaimana kabar dari anak lelaki tertuanya itu.

"Kamu masih sama kaya dulu, nyimpen semuanya sendirian." bisiku yang terus melihatnya tertidur.

"Aku gak akan bisa tau kalau kamu gak ngasih tau aku, Ray."

Memikirkan hari hari yang ia lewati selama ini saja rasanya sudah tak sanggup, apalagi dia yang merasakan dan menjalaninya. Ku genggam tanganya erat.

"Maaf karena terlambat ngelakuin ini. Maaf karena aku terlambat berada disamping kamu." air mata membasahi wajahku begitu juga denganya. Dia masih sama seperti dulu, kebisaanya menangis sambil tertidur ketika ia merasa sedih atau mimpi buruk.

"Aku bener bener minta maaf karena ninggalin kamu sendirian."

Aku duduk disampingnya sambil menutup wajahku dengan selimut yang ia gunakan, semata mata agar tangisku tak membangunkanya. Sebenarnya sangat benci mengatakan hal ini, tapi aku ingin di sisa hidupnya tak pernah ada air mata.

***

Aku terbangun ketika dokter Bagas sedang memeriksa keadaan Rayhan. Setelah memastikan semuanya aman tak lupa memberikan peringatan untuk selalu meminum obat, tim dokter meninggalkan ruangan.

"Aku tidur lama banget ya?"

"Untung gak dua hari, Ray." candaku sambil memberi kan segelas air putih untuk meminum obatnya.

"Kamu gak pulang dari kemarin?"

"Kok tau?"

"Bajunya masih sama."

"Kamu gimana perasaanya sekarang, udah enakan?"

"Udah, aku kebiasaan kalau habis kemo rasanya tuh capek banget bawaanya cuman mau tidur doang."

"Mau jalan jalan sama aku ditaman gak?"

"Boleh." setelah mengambil kursi roda, aku mengajaknya menuju taman rumah sakit yang pernah kuceritakan pada kalian. Sore hari memang adalah waktu yang pas untuk menikmati indahnya pemandangan taman dengan angin yang sejuk. Kami sempat berpapasan dengan dua asistenku, memberi tahu bahwa dua jam lagi sesi selanjutnya akan dimulai.

t e m uTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang