DUA PULUH LIMA

7 0 0
                                    

Setelah melihat tenggelamnya matahari dengan suasana paling romantis yang biasanya hanya ada dalam bayanganku, Alfi mengajakku untuk makan malam di sebuah restoran yang terkenal di Jakarta karena tempatnya yang berada di ketinggian. Sambil menunggu makananya datang aku melihat gemerlapnya malam ibu kota dari lantai 69 di Gama Tower yang sangat indah ini.

"Sebenernya gak perlu ngajakin gue ketempat seromantis ini tau, Fi."

"Lo inget waktu gue ajakin lo ke tower malem malem gak?"

"Yang pas pulangnya kita main ujan ujanan?" tanyaku dan lelaki itu mengangguk mengiyakan.

"Gue liat lo seneng banget karena ngeliat keramaian dari ketinggian. Karena ngeliat lo seseneng itu makanya gue bawa lo kesini." untuk kesekian kalinya laki laki dihadapanku ini benar benar mementingkan kebahagiaanku lebih daripada yang lain. Aku jadi penasaran apa yang ada dalam fikiranya selain hal hal yang dapat membuatku bahagia?

"Fi, gue mau nanya deh."

"Nanya apa."

"Kenapa si lo selalu ngelakuin hal yang selalu bikin gue seneng?"

"Ya karena gue ikut seneng."

Sebenarnya aku sudah tau akan jawaban dari pertanyaan yang aku lontarkan padanya, namun tetap saja ada satu bagian dari rasa penasaranku yang benar benar merasa belum puas akan jawaban yang ia berikan.

"Dipikiran lo isinya cuman bener bener apa yang bikin gue seneng doang?"

"Iya."

"Gak ada yang lain?"

"Banyak sih."

"Apa aja?"

"Kalau gue jelasin disini kita bisa gak pulang sampe besok pagi, Na."

"Salah satunya deh."

"Kesembuhan pasien gue, salah satunya." aku tersenyum mendengar jawabanya, lelaki ini bukan hanya jadi lelaki paling aneh di bumi yang kusayang. Melainkan ia adalah sejatinya seorang dokter, yang sampai kapanpun akan memiliki sebuah ruang difikiranya untuk mementingkan kesehatan dan kesembuhan para pasienya. Tak heran ia terkenal sebagai salah satu dokter bedah umum populer dan kompeten di Jakarta.

"Kok senyum?"

"Gak nyangka aja sama jawaban lo barusan."

"Kenapa emangnya?"

"Dikirain lo bakal gombalin gue lagi kayak biasa."

"Gombalin gimana maksudnya?"

"Iya, kaya biasanya. Gue kira lo bakal bilang kalau di fikiran lo cuman ada gue." ucapku jujur lalu ia tertawa mendengarnya. Apa yang aku katakan tadi benar adanya semenjak mendengar semua kalimat yang sering Alfi lontarkan tiba tiba tanpa terduga dan selalu berhasil membuatku bahagia, aku selalu berusaha mengendalikan diri agar tidak menunjukkan betapa senangnya aku ketika ia berbicara seperti itu. Semacam antisipasi.

"Lo kan tadi nanya apa yang ada difikiran gue kan?"

"Iya bener."

"Bukan nanya isi hati gue kan."

"Iya juga sih, emangnya kenapa?"

"Kalau dihati gue baru isinya cuman lo doang."

"Nah kan gombal lagi."

"Gue gak pernah gombal, Na. Gue serius."

"Iya Alfi." dan tak lama setelah itu beberapa makanan datang tiba diantarkan oleh pelayan yang memang bekerja disini. Setelah Alfi menuntuku berdoa, kami segera memakan semua hidangan yang ada diatas meja. Ketika makan bersamaku, Alfi tidak lagi makan dengan buru buru seperti waktu itu. Aku selalu melarangnya karena itu tidak baik untuk kesehatan.

t e m uTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang