TIGA PULUH DELAPAN

8 0 0
                                    

Aku membuka tirai ranjang ketika mendengar ada suara tangisan dari luar yang sangat kukenali suaranya, itu adalah suara papa Alfi. Benar saja, ketika tirai itu terbuka. Aku melihat pak Darmono Nararya sedang mendorong ranjang menuju salah satu kamar. Apa yang sebenarnya terjadi, kenapa istrinya berada diatas ranjang itu.

Segera mencabut infusku kemudian berlari menghampiri mereka. Selama menunggu beberapa dokter menyelesaikan tindakan, tak boleh ada yang masuk. Sehinga beberapa orang yang kukenal seperti kakak laki kali Alfi serta istrinya juga pak Darmono Nararya memilih menunggu dengan gelisah diluar.

Aku menghampiri kak Alza yang berada tak jauh dariku, ia nampak kaget melihat pakaianku yang menggunakan seragam rumah sakit, terlebih juga keadaanku sekarang jauh dari kata baik.

"Kak ada apa?"

"Mama kena serangan jantung pas denger Alfi bilang mau nikah sama Eva. Dia bilang selama ini hubungan kalian cuman pura pura. Terlebih pas tau keadaan kalau Eva hamil."

Sejauh apa langkah yang diambil Alfi, penjelasan tadi tak hanya melukai keluarganya. Namun juga melukai hatiku yang sejak ia menyakitiku tak pernah baik baik saja.

Semakin lama aku mulai terbiasa dengan mimpi buruk ini, perpisahan dengan Alfi jauh lebih menyakitkan daripada berita duka manapun dibumiku. Bagaimana bisa aku menerima kenyataan bahwa laki laki yang kuberikan seluruh hidupku untuknya justru memilih akan menikah dengan wanita lain.

Mana janji yang mengatakan bahwa akan membawaku diakhir cerita, dimana janjinya yang bilang bahwa jika tak bersamaku maka ia akan benar benar sendirian di akhir cerita ini. Mungkin cerita itu sudah lama mati.

Kami menunggu diluar dengan rasa cemas, termasuk aku. Rasa khawatir dan rasa bersalah menyelinap masuk dan menyatu dengan luka yang sedari tadi betah bersamaku dan tak ingin beranjak.

Aku membalikkan tubuhku untuk menyembunyikan tangis yang datang lagi, ingin sekali rasanya meminta maaf pada mereka atas semua yang terjadi hari ini. Karena apa yang dikatakan Alfi tidak sepenuhnya salah, dari awal pertemuan ini memang adalah sebuah ketidaksengajaan yang menyenangkan seperti adiksi.

Papa Alfi yang sudah kuanggap seperti ayahku sendiri memanggil namaku, sehingga aku segera membalikkan tubuhku. Beliau tersenyum.

"Kenapa nangis, nak?" Suara itu persis seperti suara lelaki yang pernah membahagiakanku. Mirip sekali, sehingga berhasil membuat air mataku mengalir karena merindukannya.

"Alaena minta maaf, om."

"Minta maaf soal apa?"

"Karena sudah bohong."

"Liat om sekarang." pintanya yang segera kuturuti, tatapan mata itu menenangkanku sejenak.

"Kamu gak pernah bohong. Lebih tepatnya perasaan kamu buat anak saya bukan sebuah kebohongan. Kamu tidak pernah pura pura, Nak. Saya tau itu. Harusnya saya yang minta maaf atas semua rasa sakit yang Alfi kasih sampai kamu jadi sakit kaya gini, pasti kalau Rara liat dia bakalan marahin om nya."

Semua penghuni bumi manapun pasti tau bahwa perasaan yang kumiliki ini bukanlah sebuah kebohongan, aku sekarang paham darimana Alfi dapat mengerti untuk memperlakukan wanita dengan baik. Ketika aku sedang bersedih, kalimat penenang darinya lah yang membuatku bisa kembali hidup. Hidup yang kini sudah lenyap karena ia matikan itu. Ternyata ayahnya lah yang memiliki pengaruh besar. Ayah Alfi memelukku dan mengusap punggungku, memberi kekuatan.

t e m uTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang