20. Garis Terdepan

107 32 139
                                    

Dia berarti buat gue, gak perlu ikatan kalau kita udah
sama - sama nyaman.
.
.
.
Happy Reading
🌻🌻

Hari - hari berlalu begitu cepat, tak terasa ujian untuk kenaikan kelas tinggal menghitung hari. Semua murid yang akan melaksanakan ujian disibukkan dengan belajar sebagai persiapan ujian nanti.

Sama halnya dengan Sisi, dia juga belajar bersiap menghadapi ujian. Ia juga diminta oleh orang tua Aland untuk membantu Aland belajar.

Sisi baru pulang dari sekolahnya dengan diantar oleh Aland seperti biasanya, saat dia melewati ruang tengah ia melihat Mamanya tengah membaca majalah.

"Kamu pulang sama siapa Sisi?" Tanya Sarah mungkin sekedar basa basi.

"Temen." Jawab Sisi masih terus melangkahkan kakinya menuju tangga.

Sarah meletakkan majalah yang tadi ia baca. "Mama mau ngomong sama kamu Sisi," ujarnya membuat Sisi menghentikan langkahnya.

"Mau ngomong apa Mah?" Tanya Sisi.

"Setelah kamu selesai ujian nanti kita bakal pindah ke London, ke tempat Almarhumah nenek kamu." Ujar Sarah.

"Jadi kamu lanjut kelas XII di London aja," ujarnya lagi.

Degg

Perkataan Sarah membuat Sisi terdiam, pikirannya tertuju pada Aland. Apa dia akan jauh dari Aland dan teman - temannya yang lain, karena ia sudah nyaman dengan kehadiran teman - temannya yang sekarang.

"Gak mau," jawab Sisi singkat.

Sarah mengerutkan keningnya pertanda bingung dengan jawaban Sisi. "Ini juga keputusan Papa, apa alasan kamu nolak kepindahan kita?" Ujar Sarah dengan menaikkan suaranya.

Rasanya Sisi juga ingin berteriak seandainya Sarah bukan Ibunya, namun Sisi hanya bisa menjawab. "Aku gak mau."

"Nanti Mama urus kepindahan kamu di sekolah setelah kenaikan kelas." Ujar Sarah lalu berjalan menuju dapur.

"Aku gak mau Ma, bisa gak sih gausah maksa apa yang Mama mau aja. Kalo kalian mau pindah, pindah aja gausah sama aku." Ucapan Sisi membuat langkah Sarah terhenti.

"Bisa gak sih kamu nurut, Fadila aja selalu nurutin ucapan Mama dia gak pernah ngelawan apa yang Mama ucapkan. Mama tetap akan bawa kamu pindah,"

Mendengar itu seperti ada sesuatu yang menikam tepat di dadanya. Selalu Ibunya membandingkannya dengan kakaknya yang sudah meninggal.

"Aku dan kak Fa beda, Mama selalu fokus sama kak Fa ingat gak sih di sini masih ada anak-anak Mama juga." Ujar Sisi.

"Justru itu, kamu sama dia beda kenapa bukan kamu aja yang pergi kenapa harus Fadila." Setelah mengucapkan itu Sarah terdiam seakan sadar apa yang ia ucapkan.

Sisi tersenyum, senyum yang menyakitkan jika diperhatikan. "Dan aku juga gak pernah minta Tuhan buat hidup sampai sekarang." Ujar Sisi dengan suara tercekat, kemudian pergi menuju kamarnya.

Di kamarnya Sisi tidak menangis, dia hanya diam menatap kosong langit - langit kamarnya. Sebenarnya dia takut jika Mamanya menjauhkan Sisi dengan Aland, ia tidak mau sendirian lagi.

"Segitu sayangnya Mama sama kak Fa." Ujar Sisi melirih, mengingat apa yang diucapkan Ibunya.

Sisi menguatkan dirinya agar tak menangis, Aland selalu mengajarkannya untuk tidak mudah menangis. Tapi Aland juga selalu memberi kesempatan Sisi jika ingin menangis dengan syarat ia harus tersenyum setelah itu.

Kehadiran Aland membuat Sisi lupa dengan kebiasaannya menyakiti diri sendiri, membuat ia lupa kesedihannya, membuat ia tak lagi merasa sendiri.

"Aland, gue selalu nyaman ada di dekat lo, gue selalu merasa aman karena gue yakin lo akan selalu jagain gue, tapi apa salah kalo gue suka sama lo?" Sisi terkekeh mengucapkan itu.

Happiness SeekersTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang