14 [REVISI]

2.6K 46 0
                                    

Zein memandangi wajah Citra yang masih tenang dengan tidurnya, dahinya di perban karena luka akibat ia dorong tadi, ia mengusap lembut rambut Citra.

"Mengapa kau selalu diam? Mengapa kau tak pernah melawan dan menyangkal semua prasangka burukku padamu, atau memang semua itu benar? Jika iya mengapa kau tak pernah mencoba merayuku seperti wanita-wanita itu untuk mendapatkan perhatianku, mengapa kau tak pernah mengatakan keinginanmu agar aku tau bagaimana aku harus berbuat" Zein masih menatap lekat wajah Citra, wajah itu tak secerah saat pertama kali ia melihatnya tak ada rona di pipinya seperti saat ia mengucap janji sucinya di depan pendeta dahulu, wajah itu sekarang pucat pasi bagaikan mayat hidup.

Citra membuka matanya perlahan "aaaa... Pergiii!!!!" Citra reflek mendorong tubuh.

"Hei tenanglah" Zein hendak menyentuh Citra namun ia mengurungkan niatnya karena melihat Citra yang begitu ketakutan.

"Pergii!!!" Citra kembali berteriak ia menggenggam kuat selimutnya seolah mengisyaratkan betapa takutnya dia saat ini.

Zein masih diam mematung ditempatnya bingung dengan apa yang harus di lakukan.

Bianca segera berlari karena mendengar teriakan Citra yang begitu keras, matanya melotot melihat Citra yang ketakutan dan Zein yang berdiri diam disampingnya. "Zein loe ngapain disini?"

"Keluar loe!!" Bianca menarik tubuh Zein agar keluar dari dalam kamar itu, namun Zein masih tak bergeming sedikitpun.

"Gue cuma mau bicara sama dia" Zein menatap Bianca dengan tatapan yang sulit di artikan.

"Gue bilang keluar" Bianca kembali menekan setiap kata-katanya sembari menunjuk ke arah pintu meminta Zein agar segera keluar.

Zein kemudian mengalah, dan melangkahkan kakinya keluar kamar dengan berat.

"Citra kamu gapapa kan" Bianca bertanya dengan lembut ia hendak menyentuh pundak Citra namun dengan cepat Citra menepis tangan Bianca, membuat Bianca kaget.

"Kamu juga pergi" Citra sudah hampir menangis ia masih setia menggenggam erat selimut yang menutupi tubuhnya.

"Tenanglah aku tidak akan menyakitimu" Bianca berkata selembut mungkin agar Citra tidak merasa ketakutan.

"Tolong, pergilah aku tidak ingin tunanganmu salah paham dan mengira aku menyakitimu lagi" kali ini Citra sudah benar-benar menangis, membuat Bianca semakin merasa bersalah.

Bianca memilih untuk menuruti perkataan Citra membiarkan gadis itu sendirian untuk menenangkan dirinya, Bianca melangkahkan kaki keluar kamar ia mendapati Zein yang masih berdiri didepan pintu, ternyata pria sedari tadi masih berdiri disitu dan mendengarkan semua pembicaraan mereka.

Bianca menutup pelan pintu kamar Citra, ia menatap tajam pria yang sedang berdiri didepannya. "Jangan ganggu dia" ucapnya, lalu pergi meninggalkan Zein begitu saja.

Bianca melangkahkan kakinya menuju dapur "tolong buatkan bubur untuk nyonya muda dan antarkan kekamarnya" Bianca berkata pada salah satu pelayan yang sedang di dapur.

"Baik nona" pelayan itu membungkuk kan badannya sopan, lalu Bianca pergi meninggalkan dapur.

Setelah membuatkan bubur pelayan tersebut mengantarkannya ke kamar Citra.

"Permisi non, nona Bianca meminta saya untuk membuatkan anda bubur" pelayan itu membawa nampan berisi bubur dan segelas susu putih.

Citra hanya melirik nampan yang dibawa pelayan tersebut.
"Bawalah pergi!!" Citra menutup hidungnya aroma bubur itu membuatnya merasa mual.

"Tapi nona belum memakan apapun dari pagi" pelayan itu berkata dengan sopan

"Tapi aku mual melihatnya" akhirnya pelayan itu membawa kembali bubur itu.

Zein merasa kepalanya sangat pusing saat ini, bukan karena sakit tapi karena kejadian yang terjadi hari ini membuatnya sakit kepala. Zein menyambar jaket dan kunci mobilnya ia memutuskan untuk pergi ke bar milik Erick, mungkin saja dengan minum ia bisa menghilangkan beban di pikiran nya.

Sampai didepan kamar ia melihat salah satu pelayan keluar dari kamar Citra dengan membawa senampan bubur yang masih utuh.

"Kenapa dibawa kembali?"

"Nona tidak mau memakannya tuan, dia bilang dia merasa mual melihat makanan ini, jadi saya membawanya kembali" pelayan itu menundukkan kepalanya takut membuat tuannya itu marah.

"Kalau begitu kau bawakan saja buah-buahan untuknya"

"Baik tuan, permisi" pelayan itu membukukan badannya sopan kemudian pergi dari hadapan Zein.

.

Zein memarkirkan mobilnya didepan sebuah bar ternama di jakarta, bar itu terlihat masih sepi karena memang jam masih cukup sore untuk mengunjungi bar. Zein melangkahkan kakinya memasuki bar tersebut dan menuju lantai dua dimana tempat ruangan pemilik bar tersebut.

Zein membuka pintu tanpa mengetuk nya terlebih dahulu membuat Erick yang mulanya menatap ponselnya melirik, tidak biasanya Zein datang sesore ini pasti ada masalah.

Zein terlihat tidak bersemangat, ia melangkahkan kakinya gontai lalu mendudukkan dirinya di sofa.

"Tumben loe kesini jam segini?"

"Gue bos disini" Erick berkata dengan sombongnya, membuat Zein berdecak sebal.

"Kalau gitu suruh bawahan loe bawain minuman" Zein malah berkata dengan marah.

"Iya iya" Erick memilih untuk tidak berdebat dengan Zein ia tau jika saat ini suasana hati Zein sedang sangat buruk.

Erick segera menelepon bawahannya untuk membawakan minuman, tak lama seorang pelayan datang dengan membawa sebotol wine meletakkannya diatas meja lalu membungkukkan diri dan meninggalkan ruangan bosnya itu.

Erick menghampiri Zein lalu menuangkan minuman untuk Zein, Zein langsung menyambar gelas yang ada dihadapannya dan meminumnya dengan satu tegukan hingga habis tak tersisa, membuat Erick yang menatapnya geleng-geleng kepala.

"Dia hamil Rick" Zein menadahkan wajahnya keatas.

"Bagus dong hari yang loe tunggu sudah datang" Erick kembali menuangkan wine tersebut kedalam gelas Zein.

"Kenapa?" Erick menatap Zein sedangkan Zein hanya menggelengkan kepalanya.

"Seharusnya dulu kita mendengarkan kata-kata Johan, bahwa wanita yang baik tidak mungkin menjual dirinya demi uang" Erick kini merasa bersalah pada sahabatnya tersebut.

"Entahlah" jawab Zein singkat lalu kembali menyesap minumannya tersebut.

"Loe tenang aja dia sudah menandatangani surat perjanjian itu dia tidak akan bisa menjadikan anaknya alasan untuk tetap menempel sama loe, begitu anak itu lahir kalian langsung bercerai dan hak asuh anak itu akan jatuh ke tanganmu" Erick seolah tau apa yang dipikirkan sahabatnya tersebut, namun Zein justru menggelengkan kepalanya membuat Erick heran.

"Bukan itu" Zein terdiam sesaat lalu melanjutkan kembali ucapannya "Johan berharap kelak aku sendirilah yang akan mengantarkan Citra kepintu gerbang saat wanita itu pergi, dan sebelum hari itu tiba dia memintaku untuk bersikap lebih baik padanya"

Erick mengerutkan keningnya bingung, apa maksud dari ucapan Johan tersebut "maksud Johan takut loe nyesel?" Erick bertanya dengan hati-hati.

"Apa selama ini gue udah keterlaluan memperlakukan dia?" Zein malah balik bertanya, Erick menatap Zein tak paham ia melihat ada guratan kesedihan di wajah sahabatnya tersebut.

"Gue rasa loe gak salah beberapa waktu yang lalu gue samperin dia karena Bianca meminta gue buat bicara sama dia, gue pikir dia bakal menyesal karena telah berbohong tapi dia malah biasa saja dan mengatakan jika memang dia melakukan semua itu demi uang" Erick menatap lurus kedepan, menerawang kembali pada waktu itu.

"Tapi wajah tanpa ekspresi nya membuat gue bingung, kecuali nangis wajahnya selalu datar setiap saat" Zein semakin frustasi.

"Ya karena memang dia orang yang tidak berperasaan" ucapan Erik membuat Zein diam tak ada lagi obrolan, mereka sibuk dengan pikirannya masing-masing hingga mereka menghabiskan minumannya.

Gadis 40Juta (Tamat)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang