ERICK POV
"Arrhh...." aku memukul stir kemudiku dengan penuh emosi, sudah berjam-jam aku memutari seluruh jalanan kota ini, tapi tak kunjung menemukan keberadaan kirana. Aku menepikan mobilku, meraih ponsel di saku celanaku untuk menghubungi seseorang.
Aku menghubungi Johan, menanyakan posisinya, dan kebetulan ia bilang sedang berada di salah satu restoran dan itu tak jauh dari tempatku, segera ku pacu mobilku menuju tempat yang telah Johan sebutkan tadi. Malam sudah cukup larut hingga jalanan cukup sepi, hanya butuh waktu lima menit untuk sampai di tempa tujuanku.
Rahangku mengeras seketika, saat aku tau siapa yang sedang bersama Johan, lihatnya orang yang seharian ini aku cari kemana-mana hingga membuat kepalaku pusing. Sekarang malah asyik menikmati makanan bersama sahabatku, apalagi yang ingin dia lakukan apa dia ingin menggoda Johan juga. Aku mengepalkan tanganku segera menghampirinya, mengeluarkan kata yang begitu sesak di dengar. Hingga Johan menegurku dan itu mampu membuatku terdiam.
Benar saja aku melihatnya tersedak makanan yang sedang ia kunyah, ia meneguk sedikit air putih yang ada di hadapannya sebelum berlalu pergi ke toilet. Bahkan saat tanpa sengaja ia menyenggolkupun ia tetap berlalu tanpa menoleh.
Aku hanya memandangi kepergiannya, samar aku melihatnya menghusap air matanya sebelum hilang dibalik dinding. Lihatlah aku membuatnya menangis lagi, padahal aku berencana untuk meminta maaf, sekarang aku malah menambah lagi luka di hatinya.
Tentu saja aku merasa bersalah, apalagi saat Johan menceritakan bagaimana ia bisa bertemu dengan Kirana. Membuatku semakin merasa bersalah karena sudah salah paham padanya, sadar ucapanku tadi pasti menyakiti hatinya. Aku yakin sekarang dia sedang menangis di toilet, karena hampir sepuluh menit tak kunjung keluar.
Tak lama aku melihatnya keluar, dan benar saja, ia pasti habis menangis. Terbukti dari wajahnya yang merah dan sembam. Ia pamit kepada Johan tanpa menatap ku, kemudian menyambar kantong plastik yang tergeletak di atas kursi dan berlari pergi, tanpa menunggu jawaban dari johan, bahkan aku melihatnya tak menghabiskan makanannya.
Johan hanya menghembuskan nafasnya berat, dan menatapku datar. Sekarang aku yang menunduk karena merasa bersalah, bahkan aku yang tadi datang kesini karena merasa laparpun mendadak kenyang. Entahlah sekarang aku kehilangan selera makan.
Ketika aku mengemudikan mobilku untuk pulang, aku melihat seseorang yang menarik perhatianku. Ia berjalan gontai sambil menunduk, tangan kanannya menenteng plastik berisi peralatan mandi.
Aku mengurangi kecepatan mobilku, saat sudah di dekatnya aku membunyikan klakson berkali-kali. Tapi bahkan ia menolehpun tidak, sepertinya ia sedang melamun.Aku semakin geram, ku turunkan kaca mobil "kalau loe jalan kayak gitu, loe sampai rumah bisa besok pagi" teriakku dari dalam mobil. Dan benar saja dia menghentikan langkah menoleh padaku "masuk gue anterin" lanjut ku kemudian sambil memberikan kode dengan daguku.
Bukannya masuk, ia malah kembali melanjutkan langkahnya.Aku menghembuskan nafasku kasar, kemudian turun dari mobil dan mengejarnya, ku cekal lengannya "gue bilang masuk" ucapku penuh penekanan.
"Aku bisa pulang sendiri" dia mencoba melepaskan genggaman tanganku dari lengannya, tapi sepertinya tenaganya tak cukup kuat dibanding aku, ku bukakan pintu mobil dan ku dorong untuk masuk, setelah itu aku memutari mobil untuk menuju kursi kemudi.
"Aku bilang aku bisa pulang sendiri" ucapnya sedikit berteriak, buru-buru aku mengunci pintu saat ia hendak membuka pintu mobil.
"Gue bilang gue anterin, Clarissa marah-marah sama gue waktu dia pulang loe gak ada, dikiranya gue ngusir loe" ucapku kemudian melajukan mobilku.
"Bukannya emang iya" ucapnya lirih tapi masih mampu terdengar di telingaku, aku terdiam dan hening sampai mobil tiba di halaman apartemen.
"Aku udah punya kontrakan" ucapnya menyadari bahwa aku membawanya ke apartemen.
"Loe temuin Clarissa dulu, gue gak mau dia marah-marah karena loe gak pamit, habis itu terserah loe mau pergi kemana. Aku membawanya menuju lantai apartemen ku dengan sedikit memaksa.
Aku mengetuk pintu kamar Clarissa berkali-kali, namun tak kunjung juga di bukakan.
"Cla buka pintunya ini kakak" kini ganti Kirana yang membuka suara, benar saja, suaranya seperti hipnotis, ketika adikku langsung membuka pintu kamarnya dan berhambur ke pelukan dia.Aku menatap nanar ke arah Clarissa, wajahnya sembam menandakan ia menangis cukup lama, rambutnya berantakan, bahkan pakaiannya juga masih sama dengan yang ia gunakan saat ia datang tadi. Aku tersenyum getir, kenyataan bahwa adikku telah banyak berubah membuatku sedih. Jika dulu dia akan menangis merengek padaku ketika tak bertemu aku beberapa hari sekarang sudah tidak lagi, orang pertama yang akan dia bawakan oleh-oleh setelah ia bepergian jauh bukan aku lagi. Apa ini yang namanya cemburu, rasa sakit ketika seluruh perhatian yang dulu untukmu kini bukan lagi untukmu.
"Kakak kenapa pergi? Diusir kan sama kak Erick?" Suara Clarissa terdengar serak karena habis menangis.
Kirana menggeleng, kemudian tersenyum dengan manis, ia mengusap air mata Clarissa menggunakan ibu jarinya dengan lembut. "Gak ada yang mengusir kakak, kakak sudah dapat pekerjaan, jadi kakak harus mencari tempat tinggal yang dekat dengan tempat tinggal kakak. Maaf tidak sempat pamitan, kakak pikir liburan mu masih panjang" Suara lembut Kirana membuatku tercengang, dia masih menutupi kenyataan bahwa aku mengusirnya, membuatku semakin merasa bersalah.
Setelah perdebatan panjang karena Clarissa yang meminta Kirana untuk menginap, sementara Kirana menolak dengan alasan besok harus bekerja. Akhirnya Clarissa mengijinkan Kirana untuk pulang, yah aku bertanggung jawab untuk mengantarkan Kirana pulang.
"Sorry soal ucapan gue tadi" ucapku memecah keheningan diantara kami, ia menoleh sepertinya ia cukup kaget dengan ucapan ku "sorry soal ucapan gue selama ini, dan juga sikap gue ke loe. Gue tau gue udah nyakitin loe, harusnya gue yang salah karena gue yang memulai semua ini, tapi malah gue nyalahin loe yang gak salah apa-apa" ucapku penuh penyesalan.
Ia terdiam beberapa detik, kemudian menoleh padaku sambil tersenyum. Senyum yang manis tanpa di buat-buat "gapapa, aku udah lupa kok" jawabnya tenang, seolah tak terjadi apa-apa. Aku semakin merasa bersalah, bagaimana bisa dia bilang lupa begitu saja serah apa yang aku lakukan padanya selama ini. "Gue bener-bener minta ma-"
"Gapapa kak, yang udah berlalu tidak ada gunanya di sesali, tidak ada yang perlu di perlu di maafkan juga" ucapnya memotong kalimat ku, aku hanya mampu tersenyum masam, ada rasa lega di hatiku mendengar ucapannya,seketika hatiku menghangat. Sekarang aku tau apa yang membuat Clarissa begitu menyayangi nya, dia orang yang begitu hangat, lembut dan tenang.
Aku jadi berpikir, bagaimana bisa dulu aku begitu membencinya tentang apa yang terjadi padanya dan Zein. Ah, aku lupa jika sahabatku itu bajingan, bagaimana mungkin wanita selembut ini seburuk yang sahabatku katakan. Aku salah, aku salah karena telah berfikir buruk tentangnya tanpa mengenalnya terlebih dahulu.
Aku tersadar dari lamunanku, saat Kirana memintaku berhenti di depan sebuah gang kecil.
"Makasih kak" ucapnya sambil membuka pintu.
"Tunggu gue anterin loe masuk" ia sempat kaget dengan ucapan ku, namun akhirnya mengangguk mengiyakan. Tadinya aku ingin membiarkan, tapi melihat beberapa pria yang berada di gang itu membuatku menjadi khawatir. Takut terjadi apa-apa padanya. Jadi aku memutuskan untuk mengantarnya.
"Makasih sudah diantar kak, aku masuk dulu" ucapnya, ku balas dengan anggukan kepala. Aku masih berdiam diri sampai dia masuk ke dalam rumah kontrakan kecil dan tak layak huni menurutku. Aku jadi semakin merasa bersalah telah mengusirnya dari apartemenku, padahal apartemen itu jarang aku tinggali, karena aku lebih sering pulang ke kediaman orang tuaku.
Aku masih bisa melihat senyumnya sekilas, sebelum hilang di balik pintu. Kemudian aku melangkahkan kakiku meninggalkan tempat itu.
KAMU SEDANG MEMBACA
Gadis 40Juta (Tamat)
RomanceCitra Kirana yang menikahi Zein Arga Wijaya demi uang 40Juta. Bagaimana akhir kisah rumah tangga mereka, akankah cinta mampu hadir di antara mereka?