ZEIN POV💕
Aku seketika terkejut, melihat Kirana yang sudah ambruk dalam dekapan Johan, dengan darah yang keluar dari mulutnya. Mengotori bajunya sendiri sekaligus baju Johan, Bianca maupun Andy sepertinya tak kalah terkejutnya dariku.
Johan menepuk-nepuk pipi Kirana, berharap ia akan sekedar membuka matanya. Namun bukannya membuka mata, wajahnya bahkan sudah terlihat sangat memucat penuh keringat, bibirnya membiru, bahkan aku bisa melihat ujung kuku-kukunya juga ikut membiru.
Sekarang untuk pertama kalinya, aku merasakan nyeri pada ulu hatiku melihatnya seperti itu. Tiba-tiba saja perasaan bersalah itu menghantuiku, apa aku sudah salah paham, ada apa sebenarnya.
Johan memberikan kunci mobil padaku "Anterin ke rumah sakit, please, ini yang terakhir kali aku meminta tolong sebagai sahabatmu" Ucapan Johan membuatku terdiam, entah mengapa ucapan Johan membuatku semakin merasa bersalah.
Aku menerima kunci mobil itu, aku memacu mobil dengan kecepatan penuh, tak ku pungkiri aku ikut cemas melihat Kirana yang tak sadar kan diri seperti itu.
Sampai di rumah sakit Johan langsung mengangkat tubuh Kirana menuju UGD, ia disambut beberapa perawat yang membawa brangkar.
"Astaga Kirana, kenapa bisa seperti ini dok?" dokter wanita itu bertanya pada Johan, sepertinya dia juga mengenal Kirana. Sekarang aku semakin tak paham dengan semua ini.
"Ceritanya panjang"
"Biar saya yang menangani, dokter silahkan mengganti baju terlebih dahulu, dan menghubungi keluarga pasien" mendengar itu Johan hanya mengangguk, kemudian dokter itu masuk. Setelah pintu ruangan tertutup Johan pergi menuju toilet, untuk mengganti baju putihnya yang sudah berubah merah itu. Sedangkan aku hanya terdiam, mendudukkan diriku pada kursi tunggu, masih dengan segala pikiran yang berkecamuk dalam otakku. Aku masih tak memahami apa yang terjadi saat ini, siapa yang salah sebenarnya disini.
"Zein, gimana keadaan dia?" Bianca menepuk pundak ku, ternyata dia datang bersama Andy. Aku hanya menggelengkan kepalaku pelan, pertanda tidak tau.
Pintu ruangan itu terbuka, dokter wanita itu keluar dengan raut wajah cemas.
"Dokter johan, kita harus segera melakukan operasi darurat"ucapnya menghampiri Johan yang baru saja keluar dari toilet.
"Berapa persentase kesembuhannya" tanya Johan
"Sepuluh persen" Mendengar jawaban itu Johan mengusap wajahnya kasar.
"Apa tidak ada jalan lain?"
"Anda yang paling tau bagaimana keadaan pasien dok, ini adalah jalan satu-satunya sekarang" ucap dokter wanita itu tegas.
"Baiklah, siapkan ruang operasinya" lanjut Johan tampak putus asa.
"Ini adalah berkas yang harus di tanda tangani keluarga pasien dok" dokter itu memberikan sebuah map, yang entah apa isinya kepada Johan, namun aku bisa melihatnya Johan menerima dengan berat hati.
Tak lama setelah itu, aku melihat datangnya Erick bersama adiknya, dan berlari kearah kami.
Bugh...
Erick tiba-tiba saja meninju wajah Johan, hingga membuat ujung bibir Johan mengeluarkan darah. Sepertinya Johan tak berniat membalas, karena detik berikutnya aku melihatnya menunduk.
"Gue suruh loe jagain dia, sekarang apa hah!!!" teriakan Erick kembali membuatku terkejut.
"Sorry, loe bilang sorry, kalau sampai terjadi apa-apa sama dia, gue bunuh loe" Erick menarik ujung kerah Johan, hendak kembali meninjunya, namun segera ditarik oleh Bianca.
"Erick udah ini rumah sakit"
"Loe bilang loe bakal nemenin dia selama pengobatan di london, sekarang apa hah? Loe yang bilang loe bakal bertanggung jawab dengan kesembuhannya, sekarang apa, dia sekarat!!!"
"Sorry, dia tidak berangkat ke bandara tiga hari yang lalu, nomornya juga tidak bisa di hubungi, maaf, dan sekarang tolong tanda tangani ini, dia harus segera di operasi" Johan memberikan map yang ditangannya kepada Erick.
Erick membaca isi map itu, namun beberapa detik kemudian dia kembali menatap tajam kearah Johan "tiga hari Johan, tiga hari!. Loe kemana aja loe selama tiga hari? Kenapa loe gak kalau dia gak pergi. Dan sekarang apa? Persentasi keberhasilan sepuluh persen? Loe mau bunuh dia terang-terangan!!" Ucap Erick kembali meninggi.
"Sorry, tapi please, sekarang ini satu-satunya untuk menyelamatkan Kirana, sepuluh persen itu juga juga kesempatan, seandainya gagal dan dia menyerah, tolong cukup. Jangan dipaksakan lagi, mungkin dia capek" mendengar itu Erick terdiam.
Bahkan akupun ikut merasakan sakit mendengarnya, menyerah? capek? tiba-tiba saja aku jadi merasakan takut, aku takut jika dia tidak selamat, aku takut bagaimana jika seandainya dia benar-benar pergi. Aku tak bisa membayangkan jika semua itu benar-benar terjadi.
Hampir tiga jam pintu ruangan operasi itu tertutup, selama itu pula tak ada obrolan apapun diantara aku, Erick, Bianca, Clarissa maupun Andy, kami sama larut dengan pemikiran kami masing-masing.
Bahkan Erick sedari tadi mondar mandir dengan gelisah, Clarissa yang tadinya menangis pun sekarang sudah diam.
Aku ingin sekali menanyakan perihal hubunga mereka, namun tak juga ada keberanian untukku sekedar membuka suara.
"Sorry, ini sebenernya salah gue" ucapku tiba-tiba, sukses mendapat tatapan tajam dari semua orang.
"Sebenarnya gue yang menahan dia selama tiga hari ini di rumah gue, gue juga yang menahan ponselnya, makanya gak bisa di hubungi" ucapku pelan, aku sudah siap jika seandainya tiba-tiba Erick meninju wajahku seperti yang dilakukannya pada Johan tadi.
Namun reaksi yang kudapatan sungguh tak terduga "Gue gak paham apa kesalahan Kirana sama loe Zein, sampai loe tega berbuat seperti itu. Kalau loe mau nyalahin orang, yang harusnya loe salahin tu gue, gue yang menawarkan dia buat loe, gue yang memberi usul ide gila itu. Harusnya disini yang salah itu gue bukan dia" aku pikir Erick aka marah dan memukulku, namun dugaan ku salah, Erick menangis dan menyalahkan dirinya sendiri. Selama hampir dua puluh tahun aku mengen Erick, ini adalah pertama kalinya aku melihatnya menangis, ia menangis karena rasa bersalahnya pada Kirana.
Lalu bagaimana denganku? Bukannya aku bersalah jauh lebih besar daripada Erick, sekarang aku menyesal karena telah menjadi orang yang begitu brengsek.
Seharusnya orang yang paling pantas disalahkan adalah aku, bukan Johan, bukan Erick apalagi Kirana.
Pintu ruangan terbuka menampakkan Johan dan dokter wanita tadi, namun detik berikutnya aku kembali dilanda persaan takut, kala mereka keluar dengan wajah lesunya, bahkan Johan terlihat begitu kusut sekarang.
"Bagaimana keadaan dia Jo? Dia baik-saja kan?"
"Kak johan, kak Kirana baik-baik saja kan?" suara Erick disusul dengan suara Clarissa yang tak kalah cemas.
"Dia masih kristis, kita tunggu sampai besok pagi ya, semoga dia bisa melewati masa kritisnya" ucap Johan lemah, disusul dengan tangisan Clarissa pada pelukan Erick.
Aku tak bisa berkata apa-apa lagi, detik itu seolah semuanya berhenti berputar, aku semakin takut jika Kirana benar-benar pergi, bahkan aku belum sempat mengucapkan maaf ku padanya.
Meskipun aku tau, maaf ku tak akan mengubah apapun, apalagi menyembuhkan luka hatinya yang telah banyak aku goreskan.
Semua ini gara-gara aku, gara-gara sikap buruk ku, gara-gara salah paham ku padanya, aku membuatnya menjadi menderita.
Disini aku yang paling bersalah, tapi tanpa kusadari aku membuat orang lain ikut disalahkan dalam kesalahan yang aku ciptakan.
Bahkan sekarang rasa penasaranku untuk menanyakan perihal hubungannya dengan Erick pun lenyap, karena rasa bersalahku yang lebih besar.
KAMU SEDANG MEMBACA
Gadis 40Juta (Tamat)
RomanceCitra Kirana yang menikahi Zein Arga Wijaya demi uang 40Juta. Bagaimana akhir kisah rumah tangga mereka, akankah cinta mampu hadir di antara mereka?