Million Reasons

392 32 39
                                    

Musim sudah mulai berganti, dedaunan mulai menguning dan berguguran tertiup angin. Sepasang muda-mudi itu berjalan bersisian menapaki jalan yang sama, yang hampir setiap hari mereka lalui selama beberapa tahun terakhir, saling menggenggam tangan satu sama lain untuk merasakan sedikit kehangatan ditengah udara malam yang mulai terasa dingin.

"Jangan dipikirkan, mereka mengatakan itu hanya untuk meledekku"

Si gadis hanya tersenyum menanggapi. Dia tau kekasihnya mungkin sebenarnya lebih memikirkan ucapan teman-temannya tadi, hanya saja pemuda itu mencoba tidak menunjukannya.

Mata gadis itu menangkap seorang anak kecil yang terlihat merengek karena dimarahi ibunya, lalu seorang pria datang dan membawa anak itu kedalam gendongannya. Si ibu terlihat kesal saat melihat sepasang ayah anak itu berjalan lebih dulu, tapi diam-diam tersenyum sebelum menyusul keduanya. Keluarga kecil yang bahagia, seperti itulah gambaran masa depan yang selalu ada dalam angannya.

Sepertinya dia masih harus menunggu untuk itu, menunggu pemuda yang tengah menggenggam tangannya benar-benar memintanya menjalani hidup baru seperti impiannya.

Gadis itu tiba-tiba melangkah maju dan berdiri menghadap kekasihnya.

"Niel, tidak perlu menemui mereka jika tidak ingin. Kau justru terlihat kesal setelah bertemu teman-temanmu"

"Aku tidak suka mereka mengatakan hal yang tidak-tidak didepanmu, Jinnie. Tidak masalah jika mereka mengatakannya padaku, tapi -"

"Tidak apa-apa. Teman-temanku juga selalu mengatakan hal yang sama setiap kali kami berkumpul, itu hal yang wajar"

Genggaman tangan keduanya terlepas, lebih tepatnya si pemuda melepaskannya sebelum dia berjalan lebih cepat dan mulai menggerutu, "Kenapa orang-orang itu suka sekali mendesak untuk cepat-cepat menikah? Kenapa tidak mereka saja yang menikah lebih dulu?!"

Senyum yang sejak tadi berusaha ditunjukan gadis itu sirna seketika. Setelah sekian lama menjalin hubungan, bahkan mereka memutuskan untuk tinggal bersama setelah ibu Woojin meninggal dua tahun lalu, tidakkah pemuda itu berniat menikahinya?

Daniel menghentikan langkahnya saat menyadari gadis itu tidak ada didekatnya, "Apa yang kau lakukan disana? Malam semakin dingin, Jinnie. Cepatlah.."

Entah kenapa, gadis itu merasa sedikit terluka melihat si pemuda tidak merasa bersalah sedikitpun setelah terang-terangan mengatakan hal seperti itu didepannya.

"Aku lelah.." ucap Woojin tanpa berniat melanjutkan langkahnya.

Biasanya, pemuda berbahu lebar itu akan menghampiri dan menggendongnya saat kekasihnya lelah berjalan, tapi malam itu Daniel bahkan tidak bergerak sedikitpun dari posisinya. Keduanya hanya terdiam selama beberapa detik, seolah enggan untuk mendekat satu sama lain.

"Yasudah, kita duduk sebentar"

Daniel akhirnya melangkahkan kakinya, bukan kearah kekasihnya, tapi kearah bangku taman yang berada tidak jauh dari tempat gadis itu berdiri. Woojin melangkahkan kakinya ke tempat yang sama.








"Ada yang ingin kukatakan. Kurasa lebih baik aku memberitahumu langsung daripada kau mendengarnya dari yang lain nanti"

"Hmmm.."

Woojin semakin kesal karena pemuda itu hanya bergumam menanggapi ucapannya.

"Haruskah kita pulang saja? Kau terlihat tidak berniat mendengarkan" ucap gadis itu dengan nada kesal.

"Katakan saja, Jinnie. Aku lelah, mungkin aku akan langsung tidur begitu kita sampai, kita tidak akan sempat mengobrol nanti"

Gadis itu menghembuskan nafas kasar sebelum berkata, "Mrs. Hwang menawariku ke Paris"

Park Woojin - One ShootTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang