Seandainya

65 9 6
                                    

Dering nyaring dari benda pipih di atas nakas membangunkan sosok di balik selimut dari tidur panjangnya, yang ternyata sebuah pesan masuk dari sekretarisnya. Hampir saja dia melewatkan meeting paginya lagi. Begitu melirik sisi ranjangnya, yang dia dapati hanya sepasang bantal dan guling yang sudah tertata rapi.

Wajahnya menoleh saat mendengar suara pintu kamar mandi yang terbuka, dimana sosok wanita dengan wardrobe dan handuk putih menutupi kepalanya berjalan keluar dari sana.

"Kenapa tidak membangunkanku?" ucapnya saat wanita itu berjalan melewati ranjang menuju walk in closet yang berada di sisi lain ruangan.

"Bukankah biasanya Bibi Jung yang akan membangunkanmu saat sarapan siap nanti?"

"Apa gunanya aku punya istri.."

"Bukan hanya kau yang berhak mengeluh dalam pernikahan ini, Kang"

Tidak ingin berdebat lebih jauh, pria bermarga Kang itu memilih bangkit dari tempat tidur dan berjalan menuju kamar mandi. Sebelum menutup pintu, dia sempat melihat kearah ruangan dimana istrinya berada. Hembusan nafas lelah meluncur dari bibirnya. Tidak peduli berapa kali dan berapa lama mereka menikmati malam panas bersama, setiap pagi wanita itu akan kembali bersikap dingin seolah tak terjadi apapun sebelumnya.


















Sarapan pagi berjalan seperti biasa, hanya terdengar dentingan alat makan diiringi suara penyiar berita yang tengah menyampaikan ramalan cuaca dari TV di ruang depan. Tidak ada percakapan diantara dua manusia yang sudah menikah hampir dua tahun itu, sampai sang suami buka suara lebih dulu setelah menyesap kopinya.

"Ini hari jum'at, jangan lupa menjenguk eomma"

"Akan kuusahakan, tapi aku tidak janji. Ada jadwal meeting nanti"

"Apa kau tak punya orang untuk menggantikanmu?"

"Kali ini tidak bisa diwakili"

"Park Woojin, kau bahkan tidak datang minggu lalu. Apa begitu sulit untuk meluangkan waktu? Aku hanya memintamu datang kesana seminggu sekali"

Klang!

Dentingan nyaring terdengar saat si wanita melepaskan begitu saja sendok dari genggaman tangannya, "Ck! Kau merusak selera makanku"

"Setidaknya usahakan da-" ucapan pria itu terhenti karena istrinya tiba-tiba saja bangkit berdiri.

"Arra.. arra.. arraseo..! Aku akan datang setelah selesai meeting nanti"

Wanita itu beranjak dari meja makan begitu saja, tanpa peduli wajah frustasi sang suami.








Bibi Jung datang dengan membawa bingkisan di tangannya, tapi hanya mendapati majikan laki-lakinya yang tengah menatap kosong cangkir kopi di depannya.

"Nona Jinnie sudah berangkat? Dia tidak menghabiskan sarapannya lagi?"

"Apa itu, Bi?"

Daniel bertanya karena tidak biasanya Bibi Jung menyiapkan bekal untuk mereka.

"Sup rumput laut. Saya baru tau hari ini ulang tahun Nona Jinnie setelah menerima bunga itu tadi pagi, jadi saya membuatnya dengan terburu-buru. Sepertinya dia sangat sibuk akhir-akhir ini. Saya akan menyimpannya agar kalian bisa memakannya nanti"

Pria itu melirik vas berisi bunga segar di tengah meja yang sejak tadi tidak terlalu dia perhatikan. Sebuah kartu ucapan berwarna pink terselip di bawahnya, dengan nama yang sudah tak asing lagi tertara disana, "Park Jihoon". Daniel masih mengingat dengan jelas pertemuan yang cukup mengesankan dengan sang aktor yang begitu digandrungi para kaum hawa itu.

Park Woojin - One ShootTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang