29

295 20 0
                                    

𝙁𝙡𝙖𝙨𝙝𝙗𝙖𝙘𝙠 𝙤𝙣..
"Mah sakit mah" Lana tidak berhenti menangis meraung-raung. Sakit diperutnya semakin menjadi-jadi, dan darah tidak berhenti keluar dari intinya.

Gissel yang tidak sanggup melihat penderitaan anaknya pun ikut menangis, sambil membelai lembut kepala Lana yang berkeringat. Berharap bisa menyalurkan kekuatan kepada anaknya.

"Maaf buk, dokter sudah menunggu, kita harus segera melakukan kuretase" kata perawat yang sejak tadi menemani mereka. Gissel mengangguk pasrah. Lana tidak mau kehilangan anaknya, begitu juga dengan dirinya. Tapi Gissel tidak punya pilihan lain.

2 hari setelahnya...

Gissel menyuapi Lana hingga sisa makan siangnya habis. Lana masih tidak mau banyak bicara. Tatapannya juga masih kosong seperti orang yang baru sadar dari koma.

"Sayang, mama mau kerja dulu, nanti malam mama ke sini lagi" Lana tidak menjawab perkataan ibunya. Hanya memandang kosong ke arah televisi yang menyala.
Gissel mengehela nafas berat. Ia meletakan piring kosong itu di atas meja.
***

Lana memperhatikan tanah itu. Membelai nisannya dengan lembut. Ia tidak menangis sama sekali, tapi pandangannya masih seperti beberapa minggu lalu.

Gissel memberikan bunga tabur kepadanya, ia menerimanya dan menaburkan bunga-bunga itu ke sekeliling makam kecil di hadapannya.

Gissel mulai khawatir dengan anak perempuannya satu-satunya. Ia takut Lana tidak akan kembali ceria seperti dulu.

Setelah bangkit dari keterpurukan, mengalami depresi berat yang hampir membuat Gissel putus asa. Kini anaknya kembali mengalami kesedihan.

Gissel juga sedih karna kehilangan calon cucunya. Tapi ia harus kuat demi menguatkan anaknya.
"Mah"
"Ya nak?"
"Lana mau tidur"
"Ya udah, kita pulang sekarang"
"Lana boleh minum obat mah?"
Gissel membelai rambut anaknya dengan lembut.

Lana masih menatap kosong ke arah makam anaknya.
"Kamu udah janji berhenti minum obat itu sayang, mama pijitin sampai kamu tidur aja yah" Lana mengangguk lemah.
𝙁𝙡𝙖𝙨𝙝𝙗𝙖𝙘𝙠 𝙤𝙛𝙛..
***

Noah mengetuk pintu itu meski ia tahu kode aksesnya. Ia ingin Keenan sendiri yang membukanya.
Ceklek.

Keenan menatapnya datar. Sama sekali tidak terkejut dengan kedatangan Noah kedua kali setelah ketegangan yang mereka buat beberapa jam lalu.

"Udah malam Nuh, gak bisa nunggu besok?" Noah mendengus. Sejak kapan Keenan menganggap hari terlalu malam?
"Gue gak bisa tidur sebelum lo jelasin ke gue" Keenan menghela nafas, membuka pintunya lebih lebar lagi agar Noah bisa masuk.

Ia menutup pintunya kembali setelah Noah masuk dan duduk di sofa yang tadi ia duduki bersama Lana.
Keenan mengambil dua minuman kaleng di dalam lemari pendingin lalu meletakannya di hadapan mereka.
"Kalau lo mau denger jawaban gue soal pertanyaan lo tadi, jawabannya enggak Nuh, gue gak ada hubungan serius sama mantan lo"

"Gue gak sengaja liat Lana jalan terburu-buru di kantor, gue juga baru tahu kalau dia jadi bintang tamu untuk majalah bulan depan, gue yakin itu akal-akalan lo biar bisa ketemu Lana"

"Lana minta tolong gue untuk bawa dia pergi dari kantor, gue cuma nolongin gak ada maksud apa-apa, gak mungkin kan gue gak tolongin? Posisi gue juga susah"

"Hubungan gue sama Lana sebatas Nessa yang minta tolong ke gue, dia minta gue jagain Lana selama Nessa pergi" Noah mendengarkan jawaban Keenan dengan seksama, tanpa berniat memotong penjelasan pria itu.

Namun melihat Keenan tidak melanjutkan penjelasannya lagi membuatnya sedikit kecewa. Ia ingin tahu lebih dari itu.

"Gue gak tahu salah gue apa Ken, gue pengen tahu, tapi gue gak tahu cara nanya ke dia dengan cara yang benar"
"Tanpa bikin dia takut dan gak nyaman, trus berujung kabur kaya tadi"
"Gue udah usaha deketin dia pelan-pelan dari acara ulang tahun MW bulan lalu, tapi dia bereaksi berlebihan"
"Gue jadi serba salah dan bingung, gak mungkin nyerah tapi juga gak nemu jalan keluarnya"

Keenan kembali menghela napas, ingin sekali ia memberitahu kesalahan Noah apa. Sayangnya ia tidak bisa.

"Lo butuh saran gue?" Tanya Keenan.
Noah tidak menjawabnya, ia hanya memandang sahabatnya dengan ekspresi tak terbaca.

"Itu hak lo untuk cari tahu apa yang sebenarnya terjadi, tapi menurut cerita yang gue denger, kalian udah pisah dari tiga tahun lalu"

"Dan menurut gue udah terlalu basi kalau lo mau bahas masalah itu sekarang"
"Sama aja lo buka luka Lana yang udah lama kering, pasti sangat menyakitkan buat dia"

"Sebagai temen lo, gue juga ikut bingung, di sisi lain Lana dititipin ke gue sama Nessa, gue bertanggungjawab atas Lana"
"Lana gak punya keluarga di Jakarta, tapi di sisi lainnya lo temen gue Nuh, gue pasti dukung lo seandainya gue gak di posisi yang membingungkan kaya gini"

Noah menundukkan kepalanya, menyatukan kedua tangannya di atas pahanya.

Pemandangannya sama sekali tak menarik, hanya kedua kakinya, sepatunya dan juga lantai parket. Tapi itu lebih baik daripada melihat ke arah sahabatnya yang memilih untuk tidak membantunya, meski ia tahu Keenan  tidak 100% salah. Tapi salahkah jika Noah merasa kecewa?

Keenan menatap iba ke arah sahabatnya. Tiga tahun menjadi bos lalu menjadi sahabat yang sudah seperti saudara sendiri, tentu Keenan ingin membantu Noah jika ia memang bisa.

Melihat ekspresi kemarahan Noah beberapa jam lalu membuatnya sedikit khawatir. Dan pertanyaan Noah selanjutnya membuatnya semakin serba salah.
"Dan kenapa Lana butuh dijagain Ken? Emang dia kenapa?"

Hallo SugarTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang