hot 15

44.4K 1.4K 18
                                    

Gavin membawa sebuah guci lusuh. Tepatnya hanya gerabah yang menyerupai guci, di dalam dekapan lengan kanannya dan sebuah paper bag besar di lengan kirinya.

Dia berjalan begitu tegas menuju halaman belakang rumahnya. Halaman yang begitu asri. Banyak bebungaan di sana dari jenis bunga yang di jual mahal sampai yang di obral-obral. Terdapat beberapa semak tumbuhan pagar yang di tata apik. Juga beberapa jenis pohon rindang yang terkadang berbuah.

Gavin meletakkan bawaannya setelah dia berjongkok di salah satu pohon. Sebuah pohon apel rindang yang jarang berbuah. Dia meletakkan gerabah polos itu terlalu hati-hati. Kemudian melepas jas, vest, dan dasinya. Melemparnya agak sedikit menjauh. Menggulung lengan kemejanya di atas siku. Dia berdiri dan mengambil cangkul di dekat kakinya. Dia mulai mencangkuli tanah selebar setengah meter persegi. Terus hingga sekitar sedalam satu meter.

Air menitik padahal tak ada mendung. Turun hujan? Dia tak perduli.

Keringat yang mengalir dari dahinya dia seka dengan punggung tangannya. Meletakkan kembali cangkulnya agak menjauh dan memastikan kedalamannya cukup.

Gavin mengambil gerabah dan memasukkannya ke dalam lubang yang ia buat lalu menimbunnya kembali perlahan dan lembut. Tentu saja timbunan itu menjadi tergunduk karena terisi gerabah. Tak masalah. Gavin membentuknya seperti persegi lalu menindihnya dengan batu bata yang mungkin sudah dia siapkan tadi bersama cangkul.

Gavin merogoh paper bag, mengeluarkan bungkusan dari dalamnya dan meraih selang air di sana. Gavin meracik tanah dan serbuk kapur menjadi adonan bangunan.

Gavin membuat sebuah persegi berlapis marmer hitam di atas gundukan persegi tadi. Dia kembali menyeka peluhnya dan mencuci kedua tangannya.

Masih berlutut ia di sana. Membelai karya marmernya. Menghapus tetesan air yang menimpa diatasnya. Dia mendongak ke atas, langit sangat cerah malahan terlalu terik padahal kini pukul 2 siang, dua jam dia membuat mahakaryanya. Tidak hujan, lalu dari mana asal titik-titik air itu?

Keadaan sangat sepi, tak ada seorang pun pelayan yang datang atau sekedar melintas. Terang saja ini siang bolong. Jam merawat taman sudah selesai sejak tadi.

Gavin menyeka rahangnya, ternyata air titik itu terjatuh dari kedua sisi rahangnya. Gavin tertawa sumbang. Jadi, sejak tadi dia menangis? Titik air itu sudah ada sejak dia meletakkan guci gerabah ke tanah tadi.

Gavin menumpukan kedua telapak tangannya di kedua sisi makam marmer itu dan menjerit. Dia dapat mendengar rasa sakit dari suaranya sendiri.

"Maafkan papa sayang. Ini salah papa. Papa nggak berguna. Maafkan papa.. maafkan papa.. Papa sangat menyayangimu. Papa hanya ingin menolong mama. Papa tidak bermaksud ini semua. Sungguh, percayalah nak, papa sangat sayang padamu.. papa tidak bohong. Papa benar sungguh sayang padamu. Maaf.. maaf.." hanya terus seputar itu saja yang keluar dari mulut Gavin. Dia terus rerumputan yang menutupi tanah di sisi makam tersebut.

Lama Gavin menangisi kepergian anaknya. Dia membangun makam anaknya di taman belakang kediamannya. Dia mengubur anak yang diusirnya itu di dekat pohon kesukaannya. Tempatnya dulu mengusir kebosanan karena terlalu penat bergelut dengan buku.

"Maafkan papa sayang.. maaf.." sejenak Gavin meracau permintaan maaf, sejenak dia meraung menangisinya. Terus seperti itu hingga senja tiba.

***

"Gavin?? Dari mana kau? Dan.. kenapa wajahmu? Kau kotor sekali.. ya ampunn!! Gavin?!!"

Gavin terus saja berjalan tanpa mengindahkan sapaan ibunya. Dia menuju kamarnya di lantai atas. Segera mandi dan mengganti pakaian kotornya.

Rupanya kamar mandi tak serta merta membunuh kesedihan yang melandanya. Di sana dia masih juga menangisi kepergian anaknya yang bahkan belum sempat berdetak jantungnya itu. Gavin menyalahkan dirinya atas kepergian anaknya. Dia mengusir malaikat itu tanpa ampun.

Hot Wife (END)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang