hot 41 (last)

63.1K 1.4K 74
                                    

Sudah satu pekan sejak berita jatuhnya pesawat yang ditumpangi Gavin. Dari maskapai sendiri telah memastikan bahwa tidak ada korban selamat satupun dari penumpang maupun awak pesawat. Black box masih dalam pencarian.

Seluruh pihak keluarga termasuk Arion sepakat pemakaman Gavin dilakukan menunggu black box tersebut ditemukan atau minggu depan paling lambat.

Arion telah pasrah menerima apapun yang diinginkan Tuhan. Mungkin Gavin memang hanya jodohnya yang singkat. Setidaknya dalam perutnya telah ia miliki hal paling berharga dari pria itu.

Air matanya telah kering. Pikirannya kebas. Dia bahkan tak begitu merasakan tubuhnya. Tapi dengan mengumpulkan kesadaran yang tersisa, dia harus merawat anak mereka. Dia tidak boleh terus menolak segala yang terjadi. Bukan hanya dia yang merasa ditinggalkan, Laurin dan Tommy pasti tak kalah hancur seperti dirinya.

Dia tidak bisa terus menerus menjadi lemah. Ada hal lain yang harus dia perjuangkan. Anak mereka. Dia akan membesarkannya dengan kasih sayangnya dan Gavin yang masih terpatri kuat dalam ingatannya.

Bagaimana Gavin menyayanginya. Bagaimana Gavin mencintainya, lebih dari apapun. Dia juga akan menceritakan bagaimana kakak sang janin, Gabriell entah Gabriella ikut berjuang demi dirinya. Dia tidak bisa terus bersikap dirinya seorang yang telah menjadi korban. Semua orang menjadi korban. Mereka mempunyai andil dalam berkorban bagi orang lain.

Bahkan Michelle, perempuan yang sampai saat ini masih tak ingin dia temui pun hanya korban. Adelle pun sama saja, dia korban dirinya sendiri.

Bukan hanya dirinya yang menderita. Semua orang menderita karena orang lain, pun begitu sebaliknya. Itulah kehidupan. Saling terhubung dan akan terus terhubung.

"Arion, makanlah. Kau bisa makan ini?" Ujar Laurin.

Arion masuk dari arah balkon. Ibu mertuanya datang pagi-pagi sekali untuk mengantar makanan yang sebenarnya telah ditolak melalui telpon olehnya. Namun Laurin tetap kukuh pergi mengunjunginya.

Laurin tersenyum menatapnya. Kedua mata Laurin tak kalah sembab dengan menantunya. "Ku pikir kau masih akan menangis.." lirihnya.

Arion tersenyum lalu menunduk malu. Sudah dua hari dua malam dia menangisi suaminya. Mau sampai kapan? Sampai dunia tenggelam oleh air matanya pun, suaminya tak akan kembali. Dia hanya akan menyakiti anaknya. "Terimakasih.. Mom. Seharusnya.. tidak perlu repot..." Ucap Arion. Suaranya masih serak karena terlalu banyak menangis.

"Tidak repot. Bukan aku yang masak, bukan pula aku yang menyiapkannya. Aku hanya tinggal membawanya saja" ucap Laurin enteng dengan mengedikkan kedua bahunya.

Ck!! "Harusnya mommy bilang, iya sayang.. apa yang tidak buat kamu... Kalau di film drama begitu" gerutu Arion.

Laurin tergelak beberapa saat. "Ini bukan drama. Realistis saja. Aku bukan wanita romantis" kata Laurin masih tertawa.

"Kalian sangat mirip.. ibu dan anak... Bagai pinang di belah dua" gerutunya lagi. Pun begitu dia menyantap makanan yang dibawa sang mertua dengan lahap.

"Berani kau menyamakan aku dengan pria playboy kutub itu?!!" Tukas Laurin. Arion hanya terkikik. Laurin mengelus puncak kepala gadis itu dan berdiri di sampingnya. "Makan yang banyak ya, jangan sampai sakit. Kau sedang hamil. Harus lebih kuat dan bersemangat, ya?!!"

Arion mengangguk. Dia tak sanggup mengeluarkan kata-kata. Jika dia bicara sekarang, air matanya pasti tumpah.

"Baiklah, aku harus mengurus hal lain. Aku tinggal tidak apa kan?" Sejenak Laurin menatap langit-langit tanpa sepengetahuan menantunya untuk menghalau air mata yang hampir luruh.

Arion mengangguk halus.

***

Hari berganti malam, Fay baru saja menelponnya menanyakan apakah ada keperluan yang bisa dia urus dan Arion menjawab tidak. Mungkin belum ada. Sejauh ini dia masih bisa mengurus dirinya sendiri.

Hot Wife (END)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang