Akhirnya Gavin menyelesaikan rapatnya dengan profesional. Kali ini dia bisa mengesampingkan masalah pribadinya.
"Saya sangat terkesan mister Lucero. Ternyata kabar yang saya dengar tidak benar. Saya berharap kesuksesan besar pada kerja sama kita"
"Terimakasih mister James, saya tidak bisa menjanjikan apapun selain kepuasan yang akan Anda dapatkan"
Mister James tertawa renyah. "Saya suka kalimat Anda" dia berdeham. "Jarang saya menemui pebisnis muda dengan low profile seperti Anda. Saya selalu mendengar puji-pujian dan rentetan janji manis" pujinya, agaknya tulus.
"Oh, Anda hanya belum mendengar bualan dari saya. Anda belum mengenal dekat saya"
"Ahahaaa... Sudah cukup. Saya kenyang dengan rayuan"
Gavin tertawa rendah.
"Baiklah, saya dengar Anda ada urusan mendesak mengenai istri Anda"
"M, ya begitulah.." dengkur Gavin. Merasa tertampar pada kenyataan bahwa dia baru saja melempar istrinya kembali pada orang tuanya.
James tersenyum. "Pasangan muda" pujinya dengan tawa. "Masalah memang tak akan pernah lekang, terkadang datangnya sangat tak terduga. But that is life. Life with no problem is an empty"
Gavin hanya tersenyum menunduk. "Anda bicara seperti mendiang ayah saya"
"Anda seperti mendiang putra saya," Gavin agak terhenyak mendengarnya. "kegemarannya pada wanita maksud saya"
Gavin dan James tertawa bersamaan. James seumuran ayahnya dan dia adalah seorang duda, putra satu-satunya tewas oleh obat psikotropika. Tapi kini dia memiliki sebuah child foundation. Yah, seperti panti asuhan. Dia pasti telah melewati banyak masalah yang lebih berat.
"Yang harus kita pegang adalah, semua masalah pasti ada jalan keluarnya. Meskipun itu sebuah labirin yang sempit" ucapan James begitu merasuk ke sanubarinya. Entahlah, kini dia merasa merindukan ayahnya. Ayahnya yang lembut dan penyayang, bukan Laurin sosok nenek sihir. Gavin tersenyum mengingat sang ibu. Kalau bukan Laurin, dia pasti akan jadi pria lemah dan manja.
"Agaknya Anda merasa lebih baik, kerutan di sekitar sini,.. terlalu kentara.." James menunjuk pelipisnya sendiri.
Gavin merasa malu. Dia merasa mencurangi rekan bisnisnya karena sibuk memikirkan masalah pribadinya, hingga menunda rapat. "Saya harap, saya bisa mengembalikan nama baik perusahaan saya dengan kerja sama ini"
"Off course you can"
Mereka saling menjabat tangan.
***
Gavin tak bisa menyembunyikan senyum di bibirnya. Baik, dia mengaku salah telah menitipkan istrinya di rumah orang tuanya. Dia akan ke sana dan meminta maaf.
Keadaan hening begitu dia memasuki pintu rumah besar itu. Setiap mata pelayan memandangnya ragu dan sebagian tak percaya serta sebagian lagi seperti berkata.. "..pantas memang.."
Apakah dia sudah melakukan hal yang sangat keliru? Dia memang tak bisa memikirkan apapun tadi. Dia hanya berpikir keselamatan istri kecilnya. Dalam kondisi frustasi, apapun akan dia lakukan.
"Ah, Gavin..! Kau sudah datang.." Rachell muncul dari ruang keluarga. Menyambutnya yang masih termenung di ruang tamu besar. "Kenapa diam saja? Masuklah. Ini rumahmu juga" Rachell merentangkan kedua tangannya.
Gavin beranjak mendekati Rachell. Menerima pelukan sang ibu mertua dengan canggung. "Aku beruntung mempunyai dua anak sekarang.." ucapnya.
"Di mana Arion?"
Rachell tersenyum. "Maaf ya, pelayan di sini terlalu sensitif. Maklum, nona mereka hanya satu dan mereka semua dekat dengan Arion". Menyadari ketidak nyamanan menantunya.

KAMU SEDANG MEMBACA
Hot Wife (END)
RomanceDia masih sangat muda dan menerima perjodohan konyol ini dengan senyuman. Gavin dalam kondisi finansial yang baik, dia juga sehat secara jasmani dan rohani. Tapi kenapa dia masih betah melajang? Berbagai kalangan wanita banyak yang menginginkannya...