hot 22

26.7K 1.1K 90
                                    

Gavin mendapati istrinya terkapar tak sadarkan diri di depan pintu rumah mereka. Genangan darah mengalir sampai luar pintu. Istrinya sekarat bersimbah darah.

Entah bagaimana Gavin melepas jasnya. Dia telah membopong istrinya menuju lift dengan menendang tombol turun ke area parkir.

Pikirannya sudah melayang membayangkan hal yang bukan-bukan. Darah masih juga mengucur dari hidung gadis itu membasahi jok mobil. Gavin hanya butuh satu hal untuk tumpuannya berharap. Dan satu itu memang masih ada. Nafas istrinya masih ada meskipun sangat lemah.

Gavin menekan klakson mobilnya sepanjang jalan, mengumpat, berteriak pada seluruh pengemudi mobil yang menghalangi jalannya. Dia tak perduli setumpuk surat tilang menunggunya.

Dadanya begitu nyeri, perasaannya hancur. Begitu lambatnya dia menyadari kondisi istrinya. Gadis kecil rapuh itu. Dia terus mengabaikan pesan tersirat istrinya melalui seluruh bahasa tubuhnya.

Dia masih ingat pagi saat dia berjalan ke kamar mandi dengan mengabaikan tong sampah yang penuh oleh tissu dan beberapa bercak darah. Hampir setiap pagi.

Istrinya selalu terbangun tengah malam karena gelisah dan dia tak ambil pusing. Gadis itu juga selalu ketakutan dalam tidurnya.

Setiap saat bahkan hampir setiap jam dia mengirim pesan atau menelpon dengan suara gugup. Yang sering dia abaikan. Pernah suatu siang Arion memintanya segera pulang, namun dia menolak. Sering kali Arion memohon agar dia pulang tepat waktu dan dia tak memikirkannya. Dia lebih nyaman berbincang dengan mantan pacarnya yang kini menjelma menjadi sahabatnya itu. Entah sekedar makan malam atau hanya minum teh. Dia merasa tenang saat berbincang dengan Michelle. Semua ide-idenya mampu memberikannya senyum istrinya yang sempat membeku.

Hingga Gavin lelah menjadi orang lain. Dia lelah berpura-pura manis, romantis dengan segala macam bualan. Apalagi puncaknya saat Arion menghardik dokter di depan matanya. Seolah itu belum cukup, Arion bahkan memangkas habis rambutnya yang selalu dapat membuatnya bergetar kala melihat wajah istrinya. Dia merasa marah luar biasa. Emosinya benar-benar naik melewati puncak kepalanya. Dia memutuskan mengunjungi club malam, untuk pertama kali dalam hidupnya. Demi melupakan amarahnya pada istrinya. Dia sendiri heran, mengapa istri kecilnya itu mampu menarik amarahnya sejauh ini. Selama ini tak pernah ada wanita yang bisa membuatnya marah luar biasa hingga dia sendiri tak mampu membendungnya.

Apakah benar jatuh cinta bisa sesakit ini? Dia terlalu sibuk mendramatisir kesalahan istrinya hingga dia membuta atas kondisi istrinya.

Arion tak pernah lagi menggodanya dengan lembut. Tak pernah tersenyum apalagi memandangnya memandamba. Omong kosong. Wajahnya selalu kusut. Hanya keluhan bahwa Gavin selalu sibuk yang keluar dari mulutnya. Hanya air mata yang terpancar dari kedua matanya. Dia tak pernah merawat dirinya lagi untuknya seolah dia sudah bosan pada suaminya. Wajahnya selalu pucat masam. Dia bahkan tak bisa menelan makanan seolah Gavin menekan habis nafsu makannya. Akibatnya tubuhnya selalu lelah dan teramat kurus. Dia tak pernah lagi melayani ranjangnya.

Gavin mendengus keras. Membopong tubuh ringan istrinya untuk mendapatkan brankar di ruang ER rumah sakit terdekat.

Beberapa perawat langsung mengerumuni brankar tempat Arion terbaring dari dekapan Gavin.

"Apakah ini kecelakaan?" Ucap seorang perawat lelaki. Darah yang terus keluar dan mengotori seluruh tubuh istrinya bahkan kemejanya terlalu banyak.

"Tidak, dia mengalami perdarahan pada otaknya. Mungkin pembuluh darah di otaknya pecah.." terang Gavin. Dia dapat mendengar suaranya yang pedih dan bergetar.

"Okay sir, tenanglah. Tinggalkan ini pada kami. Anda tenangkan diri Anda" seorang perawat wanita menggiringnya keluar ruangan dan Gavin hanya meronta lemah. Sekujur tubuhnya terlalu bergetar syok dengan kondisi istrinya.

Hot Wife (END)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang