Paparan sinar matahari memaksa masuk ke dalam sebuah kamar melalui celah-celah kecil pada tirai berwarna putih. Karenanya, si pemilik kamar yang tengah tertidur pulas nampak terusik dari mimpi panjangnya. Oh, atau mungkin mimpi buruk yang panjang lebih tepatnya.
Ia membuka matanya perlahan. Memperhatikan langit-langit kamarnya yang berwarna putih bersih. Ia menghembuskan nafas panjang lalu tersenyum. Aku masih hidup, pikirnya. Kali ini ia berusaha bangun dari posisi tidurnya. Saat ia sedikit menundukkan kepalanya, ia baru menyadari kalau adik tersayangnya menemaninya semalaman. Apa adiknya ini menyadari hal yang aneh selama menjaga dirinya ini? Semoga saja tidak.
“Vally,” ucapnya sambil mengelus puncak kepala adiknya yang tertidur dengan posisi duduk dan kepalanya bertumpu pada kedua tangannya yang terlipat di atas kasur.
Merasa terpanggil, Vally mengangkat kepalanya spontan. Wajahnya terlihat sangatlah panik. Ia buru-buru mengusap wajahnya dan menatap Calum yang tengah tersenyum lesu ke arahnya.
“Cal? Kau kenapa? Ada yang sakit? Perutmu masih sakit? Atau kau mau minum? Makan? Atau-“
Calum tertawa pelan melihat Vally yang tiba-tiba saja panik. Apa semalam ia terus mengeluhkan perutnya yang sakit? Ahhh, Calum ingat. Ia tak bisa tidur nyenyak setelah muntah darah semalam. Untung saja Vally setia mendengarkan keluhan menyedihkan itu.
Ia menarik tangan Vally yang hendak berdiri dari duduknya. Entah apa yang akan anak itu lakukan. Calum menatapnya masih dengan senyuman yang sama. Tenang namun lesu dan sayu.
“Aku tak apa, Baby Blossom.”
Vally memanyunkan bibirnya karena Calum memanggilnya dengan panggilan yang biasa Luke gunakan untuk memanggil namanya, dulu. Ya dulu. Sekarang mungkin hanya di saat-saat tertentu Luke akan memanggilnya seperti itu.
“Lalu kenapa kau membangunkan ku?”
“Lihat lah sekarang jam berapa,” jawab Calum sambil menunjuk kearah jam dinding. “Kau harus sekolah.”
Vally melirik sekilas jam dinding lalu kembali menatap Calum dalam. Ia menggeleng keras. Rasa malas dan tak ingin meninggalkan Calum dalam keadaan seperti ini membuat Vally enggan untuk berangkat sekolah.
“Aku akan menjagamu. Jadi aku tak sekolah hari ini.”
Kali ini Calum yang menggeleng. Ia mengelus puncak kepala Vally dengan penuh sayang, masih disertai dengan senyuman rapuhnya. Ia benar-benar tampak kacau hari ini. Wajahnya jauh lebih pucat dari hari-hari sebelumnya.
“Kau harus tetap sekolah. Aku sudah membaik Vall. Lagi pula, selama ada Mrs. Pauli aku bisa meminta tolong padanya.”
“Tapi-“
Calum menggeleng lagi. Ia berusaha duduk dan menyenderkan tubuhnya pada papan kasurnya dengan susah payah. Tubuhnya benar-benar lemas. Rasa nyeri pada perut sebelah kirinya masih sedikit terasa. Berdenyut pelan namun itu sangatlah sakit. Ia menahan rasa sakitnya itu di depan Vally, agar adiknya ini mau pergi sekolah dan menunjukkan kalau dia baik-baik saja.
“Lihat?” katanya sambil menaikkan kedua bahunya. “Aku baik-baik saja. Cepat sana bersiap.”
Dengan enggan, Vally bangit dari duduknya dan merapikan pr nya yang semalam ia kerjakan di kamar Calum. Sebelum benar-benar pergi, ia kembali menatap Calum. Kakaknya itu tengah memainkan iphonenya. Haduh, sempat-sempatnya.
“Kau yakin tak apa?” tanya Vally sekali lagi. Ia ragu meninggalkan Calum sendiri. Bayangan keadaan Calum semalam masih memenuhi otaknya.
Calum hanya mengangguk tanpa mengalihkan pandangannya dari layar iphonenya. Ia terlihat sedang mengetikkan sesuatu di sana.
KAMU SEDANG MEMBACA
CALUM //c.h [AU]
FanfictionAwalnya terlihat, ia bukanlah apa-apa dalam kisah ini. Ia lebih banyak diam dan tak mengambil banyak peran. Tapi dibalik semua itu, kalian akan tau bahwa ia memang pantas menjadi, peran utama.