Hauri masih memijit keningnya yang terasa pusing. Cerita dari Siya tentang sepotong kisah hidup dirinya sebagai antagonis masih membayanginya. Bisa-bisanya dirinya sebodoh itu. Padahal dirinya itu berasal dari anak orang kaya dan bahkan memiliki wajah yang sangat cantik. Lalu kenapa masih mengharapkan orang yang tidak bisa membalas perasaannya?
"Siya, gua ini antagonis. Apa lo juga antagonis yang membantu gua menindas Aina?" Hauri mengangkat kepala menatap Siya.
"Nggak. Lo selalu menindas orang lain atau Aina di belakang gua. Tau-tau gua dengar kabar kalo lo habis berbuat kejahatan."
"Kenapa?"
"Karena gua bakal ngelarang lo berbuat jahat. Gua bakal ngomel sampai buat lo kesal. Makanya lo nggak suka ngebully orang lain di depan gua."
Hauri ternganga. Jadi hanya dirinya yang jahat. Semakin Hauri merasa menyesali perbuatannya. "Terus kenapa lo tetap jadi teman gua?" ini pertanyaan yang berdasarkan ketidakpercayaan dirinya.
"Karena lo berbuat salah, bukan berarti gua meninggalkan lo, kan? Gua ini sahabat lo. Gua emang marah sama sikap jahat lo. Tapi gua nggak berpikir ingin berhenti menjadi sahabat lo. Orang salah bukan dijauhi tapi di nasihati."
Jantung Hauri berdebar kencang. Bukan debaran pertanda jatuh cinta, melainkan tersentuh. Langsung Hauri memeluk erat Siya. "Baik banget sih lo. Gua beruntung punya sahabat kayak lo. Siapa nama lo? Gua lupa..."
"Siya." Siya menghela napas. "Sakit juga lo nggak kenal gua dan nanya gua siapa?" ujar Siya sedih.
"Sekalipun ingatan gua hilang. Perasaan gua tetap sama. Lo tetap sahabat gua, sahabat Hauri."
Siya yang sempat sedih jadi tersenyum senang. Jarang-jarang Siya mendengar Hauri berbicara semanis ini. Karena Hauri yang Siya kenal dulu adalah orang yang hanya hangat kepada Alskara dan dingin ke yang lain, termasuk dirinya.
Hauri melepaskan pelukannya. Sudah cukup memeluk Siya. Dia merasa gerah. "Siya, gua nggak mau jadi Hauri yang dulu!" ujar Hauri yakin penuh tekat.
Siya mengerutkan kening. Memang tidak bersuara. Tapi mimik wajahnya sudah menjelaskan semuanya. Di wajah Siya tergambar kebingungan. Siapapun pasti bingung mendengar karakter antagonis yang hendak bertobat.
"Gua nggak mau jadi karakter antagonis lagi. Gua mau buka lembaran baru sebagai Hauri yang normal, yang baik."
Keheningan Siya berujung pada senyuman manis di bibirnya. Sorot matanya menggambarkan rasa syukur. "Kalo lo mau jadi lebih baik, gua dukung. Gua senang lo mau berubah."
"Gua rasa, gua kehilangan ingatan agar Tuhan memberi gua kesempatan untuk memperbaiki hidup gua. Melupakan rasa sakit dan belajar menjadi lebih baik."
"Berkah juga lo kena amnesia." ujar Siya diselingi tawa.
-antagonis-
Hauri menatap dirinya di dalam cermin. Waktu istirahatnya sudah habis. Kini dia kembali ke rutinitasnya menjadi seorang murid di Brawijaya. Dia perhatikan wajahnya. Bukannya narsis, hanya saja Hauri masih tidak percaya kalau dirinya memiliki wajah yang sangat cantik. Bahkan tubuhnya terbilang ideal untuk anak seumurnya.
"Anehnya, Alskara sama sekali nggak tertarik sama Hauri yang sesempurna ini. Hebat juga." Hauri tertawa miris. Rada kesal juga. Soalnya di awal pertemuan mereka, Hauri berharap Alskara adalah kekasihnya.
"Hauri. Udah siang sayang. Kamu nanti telat." Gesia datang untuk mengingatkan Hauri yang lupa waktu karena keasikan mengangumi dirinya sendiri.
"Oh, oke mih." Hauri berlari kecil menghampiri Gesia.
Meski hilang ingatan, perasaan sayang seorang ibu dari Gesia membuat luluh hati Hauri. Bahkan tanpa ingatan pun, Hauri memiliki rasa sayang pada Gesia. Dan merasa senang karena Gesia memperlakukannya dengan baik.
Juga, hari ini adalah hari yang baru untuk Hauri. Hari ini Hauri memulai cerita baru dalam hidupnya. Bukan sebagai antagonis. Namun sebagai Hauri yang mendambakan kehidupan normal dan damai.
"Mih, Hauri berangkat sama supir?" Hauri memeluk lengan ibunya selagi menuruni anak tangga.
"Nggak." Gesia menggeleng dengan senyuman manis.
"Terus berangkat sama siapa?" tidak mungkin Hauri berangkat sendiri. Jalan ke rumahnya saja tidak ingat, apalagi jalan menuju sekolah.
"Bareng Alskara."
"Hah?" Hauri langsung menghentikan langkahnya di salah satu anak tangga. Mulutnya ternganga lebar dengan ekspresi tidak bisa digambarkan.
"Pagi Alskara." sapa Gesia dengan senyum manis.
"Pagi tante."
Hauri mendengar suara berat Alskara. Dengan kaku Hauri memutar kepalanya lurus ke depan. Bagaikan jatuh dari langit, jantung Hauri berhenti sesaat melihat Alskara berdiri di bawah tangga dengan sorot mata yang dingin.
"Sial!"
-ANTAGONIS-
KAMU SEDANG MEMBACA
I'm not Antagonis (TAMAT dan SUDAH TERBIT)
Jugendliteratur*SUDAH TERBIT, TERSEDIA DI GRAMEDIA ATAU TOKO BUKU ONLINE* ( JANGAN LUPA FOLLOW SEBELUM BACA. SETELAH BACA JANGAN LUPA VOTE, KOMEN DAN KRITIKNYA. MAKASIH) *Mulai dari 5 Agustus 2020 Rank 1 in #change tgl 15/9-2020 Rank 1 in #broken heart tgl 29/9-20...