"Sial!" satu kata itu terucap dari bibir Hauri tanpa sadar saat melihat sosok Alskara sudah berdiri di bawah anak tangga.
Gesia yang mendengar Hauri mengumpat langsung menoleh dengan senyuman intimidasi. "Hauri?" nada bicara Gesia penuh penekanan seperti berusaha mengingatkan Hauri untuk jaga sikap.
Hauri langsung menutup mulutnya. "Hmm....maksud aku..." Hauri batuk kecil. "....mih kok ada Alskara di sini?" bisik Hauri pada Gesia.
"Kamu berangkat bareng Alskara."
"Kenapa?" Hauri tidak terima sama sekali.
"Biasanya kamu senang kalo berangkat bareng Alskara. Alskara juga memang bertugas menjaga kamu. Apalagi kamu lagi amnesia."
"Mih, aku bukan anak kecil. Bisa ngurus diri sendiri." wajah Hauri sama sekali tidak senang. Sampai Alskara mungkin juga menyadari arti ekspresinya.
Gesia jadi tidak enak hati kepada Alskara karena Hauri bersikap berbeda. Biasanya Hauri senang kalau bisa bersama Alskara. Namun sekarang Hauri seolah beranggapan jika berangkat bareng Alskara sama saja seperti dirinya kena sial. "Hauri..." Gesia batuk kecil. "Hauri kasian loh Alskara. Dia udah rela mau bareng kamu. Masa sikap kamu kayak gini?" Gesia tersenyum sambil melirik Alskara. Memberi kode kepada Hauri untuk menjaga sikap di depan Alskara.
Hauri tidak bisa membantah. Tapi juga tidak terima harus berangkat bareng Alskara. Menakutkan harus berangkat bareng sama orang yang membenci kita. Kalau Hauri diturunkan di tengah jalan bagaimana?
Hauri tidak kehabisan ide. Dia melangkah menuruni tangga. "Aku mau makan. Laper."
"Loh? Kamu biasanya kan tidak makan pagi di rumah." ujar Gesia bingung.
Langkah Hauri terhenti. Kenapa dia harus memiliki kebiasaan tidak makan di rumah? Hauri mengutuk dirinya yang dulu karena sudah menghilangkan alasannya untuk kabur dari Alskara. "Aku udah berubah. Aku mau makan." dengan wajah tembok, Hauri lanjut melangkah.
Alskara masih diam di tempatnya. Menatap datar Hauri. Bahkan sekalipun Hauri melewatinya, Alskara tetap mematung. Tidak protes dengan alasan yang dibuat-buat oleh Hauri. Jujur saja, saat melewati Alsakara, Hauri merasa takut dan sedih melihat tatapan dingin Alskara. Apa dirinya begitu dibenci Alskara?
Hauri menuju dapur. Tidak mau perduli sama perasaan Alskara. Iya, ia akui kalau sikapnya ini tidak tahu diri. Namun Hauri tetap kekeh untuk berubah. Dan perubahannya dimulai dari menjaga jarak dengan Alskara.
Hauri duduk manis di bangku meja makan. Dia ambil roti dan mengolesnya dengan selai kacang. Alskara dan Gesia hanya berdiri di sekitarnya seperti pelayan menunggu majikan. Agak risih juga melihat Alskara berdiri di dekatnya.
"Alskara, kamu mau sarapan sekalian? Atau mau tante buatkan susu?" Gesia berusaha bersikap baik menggantikan perilaku Hauri.
"Nggak usah tante. Saya tunggu Hauri aja."
Hauri mendengus. Dalam hati komat-kamit menyuruh Alskara pergi. "Gua makan rotinya lama. Belum minum susu. Butuh 10 menit." ujar Hauri tanpa menoleh.
"Hauri, kamu mau buat Alskara telat?"
"Kalo mau berangkat, berangkat aja duluan. Aku bisa bareng supir!" Hauri agak meninggikan suaranya. Ini bentuk pengusiran secara halus.
"Gua bakal tetap nunggu lo." jawab Alskara dingin.
Pokoknya Hauri tidak perduli kalau sampai Alskara ikut terlambat. Hauri sudah memberi keringanan agar cowok itu meninggalkannya. Namun tetap memilih menunggu. Hauri tidak mau tanggung jawab. Karena saat ini dia sedang menikmati roti selai kacang. Sengaja Hauri memakannya sedikit demi sedikit agar lama.
Hauri mendengus kesal. Padahal sudah sengaja dilama-lamain, tapi Alskara tetap kokoh berdiri di dekatnya. Tidak terlihat pegal. Wajahnya tetap datar. Sedangkan Gesia duduk di sampingnya. Dari tadi Gesia memberi tatapan tajam ke Hauri sebagai kode agar cepat berangkat ke sekolah.
"Gua udah selesai makan. Ayo jalan." Hauri kalah. Dia akhirnya berdiri dari duduknya setelah makan dengan khidmat. Menggerutu dalam hati karena Alskara benar-benar menunggunya selama lima belas menit.
Hauri salim pada Gesia. Begitu pun Alskara yang juga salim. Hati Gesia baru tenang melihat kedua orang itu berangkat sekolah.
"Mih aku berangkat. Assalamualaikum." Hauri menoleh sekilas ke belakang. Lalu melangkah keluar rumah.
Tidak ada obrolan. Alskara berjalan di depannya tanpa menoleh dan tanpa kata. Cowok itu kini berdiri di dekat motor ninja hitamnya. Membuka pengait helm. Hauri berdiri di belakang cowok itu. Ada perasaan sedikit bersalah.
"Lo kesal sama gua, kan? Lo marah karena gua kelamaan, kan?" tanya Hauri kesal. Kok jadi dirinya yang kesal, ya?
"Iya gua kesal. Gua mikir...." Alskara membalikan badan menghadap Hauri. "Lo masih aja kayak dulu. Suka cari perhatian dan senang buat gua kesal."
Hauri mengepalkan tangannya. Apa-apaan Alskara? Berbicara sekasar itu. Kalau memang tidak ikhlas menunggunya, harusnya jangan menunggu. Dasar munafik. "Gua udah bilang, kan? Kalo mau berangkat. Berangkat duluan aja."
"Gua juga pengen kayak gitu. Sayangnya ortu gua pasti marah kalo gua lakuin itu. Karena lo bakal ngadu ke mereka." Alskara tersenyum dingin.
"Hah?" Hauri tidak terima dicap sebagai pengadu.
"Lo selalu kayak itu. Ngebuat gua lakuin apa yang lo mau. Dan melibatkan kedua orang tua gua untuk ikut mengekang. Sama sekali nggak berubah." Alskara memasangkan helm di kepala Hauri.
Alskara menaiki motor di saat Hauri masih berdiri mematung, merasa sakit hati atas ucapannya. Tapi Alskara tidak perduli. "Dan satu hal lagi. Tenang aja, kita nggak akan telat." Alskara menatap dingin Hauri. Lalu menghadap depan.
Hauri menyesal pernah merasa bersalah karena membuat Alskara menunggu. Kalau tahu cowok itu akan berbicara jahat seperti ini, lebih baik Hauri sengaja makan selama tiga puluh menit. Biar sekalian telat sungguhan.
-ANTAGONIS-
KAMU SEDANG MEMBACA
I'm not Antagonis (TAMAT dan SUDAH TERBIT)
Подростковая литература*SUDAH TERBIT, TERSEDIA DI GRAMEDIA ATAU TOKO BUKU ONLINE* ( JANGAN LUPA FOLLOW SEBELUM BACA. SETELAH BACA JANGAN LUPA VOTE, KOMEN DAN KRITIKNYA. MAKASIH) *Mulai dari 5 Agustus 2020 Rank 1 in #change tgl 15/9-2020 Rank 1 in #broken heart tgl 29/9-20...