Novel INA sudah tersedia di Gramedia dan Toko Buku Online.
Ini kisah yang garis besarnya tentang karma. Yang disakiti, akan disakiti.
Btw, aku sengaja gak revisi bahasanya yang kek aneh gitu. Sebagai jejak sejarah kalau tulisanku pernah begini. Bisa kalian liat perkembangan tulisanku di cerita Pluto Projector atau nanti pas cerita INA 2 : The Last Rute.
Jangan lupa vote dan spam komennya❤️
So, mari membaca~
_________________________________
Mulut Hauri terbuka lebar. Ia terkejut melihat Aina lagi-lagi dibully oleh trio antagonis. Aina didorong dengan kasar sampai jatuh ke lantai. Buku-buku yang dibawa Aina berjatuhan. Lalu trio antagonis itu tertawa puas. Benar-benar, peran heroin seperti Aina memang tidak boleh dibiarkan berjalan seorang diri karena memiliki banyak musuh.
Hauri mempercepat langkahnya. Hati nuraninya tergerak untuk menyelamatkan Aina. Hauri ingin membuktikan kepada dunia kalau dirinya bukan antagonis lagi. Hauri akan menjadi orang yang mendukung sang heroin. Kalau perlu menjadi pahlawan Aina.
"Bisa kalian berhenti? Berhenti bersikap kekanak-kanakan." Hauri berdiri di depan Aina, menatap tajam trio antagonis.
Hauri menoleh ke belakang. Ia menatap simpati Aina. Ia ulurkan tangannya untuk membantu Aina berdiri.
"Lo nolongin dia?" Tifa tertawa kecil. "Sejak kapan lo jadi pahlawan?"
"Lo gapapa Na?" tanya Hauri, mengabaikan ucapan Tifa yang tidak penting baginya.
"Gapapa. Makasih." Aina tersenyum.
"Hauri sikap lo aneh banget deh! Lo benci sama Aina, kan? Nggak usah munafik deh jadi orang." kata Gira.
"Munafik?" Hauri mengulang perkataan Gira dengan kening mengerut.
"Dulu. Lo juga sering ngebully Aina. Lo nggak suka Aina jadian sama Alskara." Gira menunjuk Aina yang sedang menundukkam kepala.
"Apa ini efek dari kecelakaan? Lo hilang ingatan dan lupa sama jati diri lo?" kata Tifa bertepuk tangan sambil tersenyum, membenarkan pendapat pribadinya.
"Jadi maksud kalian gua lupa kalo gua ini antagonis?" Hauri menunjuk dirinya sendiri.
"Iya. Karena nggak mungkin lo bersikap baik sama cewek miskin ini!" Gisal menunjuk Aina.
Hauri tertawa sumbang sambil bertepuk tangan. Lalu wajahnya berubah datar. "Dengar! I'm not antagonis! Gua bukan cewek menyedihkan kayak kalian. Kalian harusnya sadar. Alskara bukan barang yang bisa kalian klaim seenak jidat. Alskara punya hati. Dia berhak jatuh cinta sama siapapun. Dan Alskara jatuh cinta sama Aina. Harusnya kalian terima kenyataan itu."
"Gimana sama lo? Lo juga cinta mati sama Alskara." ujar Tifa, sudah mengepalkan tangan menahan emosi. Ia merasa tersinggung oleh perkataan Hauri.
"Gua? Gua bukan pecundang yang nggak bisa nerima kenyataan. Kalau Alskara nggak ngebales cinta gua, bukan berarti gua harus bersikap jahat sama pilihan Alskara." Hauri tersenyum, membuat trio antagonis mendesis kesal. "Gua saranin sama kalian. Mending cepat-cepat insap sebelum kena azab." Hauri menunjuk trio antagonis.
"Lo pikir gua bakal biarin lo ngebela Aina?" tanya Tifa kesal.
"Gua emang bukan antagonis. Tapi gua bukan cewek baik yang bakal diem aja kalo lo macem-macem sama gua."
"Lo pikir gua takut sama lo?" Tifa mendorong Hauri.
Hauri tersenyum kesal. Ia balas mendorong Tifa. "Dan gua juga nggak takut."
KAMU SEDANG MEMBACA
I'm not Antagonis (TAMAT dan SUDAH TERBIT)
Ficção Adolescente*SUDAH TERBIT, TERSEDIA DI GRAMEDIA ATAU TOKO BUKU ONLINE* ( JANGAN LUPA FOLLOW SEBELUM BACA. SETELAH BACA JANGAN LUPA VOTE, KOMEN DAN KRITIKNYA. MAKASIH) *Mulai dari 5 Agustus 2020 Rank 1 in #change tgl 15/9-2020 Rank 1 in #broken heart tgl 29/9-20...