84-Jawaban

275K 27.2K 84.6K
                                    

Novel INA sudah tersedia di Gramedia dan Toko Buku Online.

Sejak kecil hidup Hauri tidak pernah mudah. Ia sering dibully karena kesempurnaan yang ada di dalam dirinya. Ia akan menangis, tapi setelahnya ia akan semangat lagi. Hauri juga mengalami hari-hari dimana dirinya ditolak berulang kali oleh Alskara. Sedih, tapi tidak pernah lelah dan tetap berjuang. Baru sekarang. Baru sekarang selama hidupnya ia merasa sangat sedih. Tidak berdaya sama sekali.

Berkali-kali Hauri menyemangati dirinya sendiri kalau semuanya akan baik-baik saja. Namun tidak ada yang baik-baik saja. Perasaannya terombang-ambing. Kehidupannya berubah sejak malam taruhan itu.

Kepala Hauri muncul kembali setelah beberapa saat ada di dalam air.

"Jangan nangis Hau, jangan. Emang nggak capek apa nangis terus? Udah ya? Capek terus kayak gini. Harus kuat." Hauri menepuk-nepuk pipinya.

"Hauri!!!!!! Astagaaaaa!!!!!" Siya berjalan cepat seperti ibu-ibu yang mau mengomeli anaknya. Dia berjongkok di depan Hauri. Menggelengkan kepala sambil berdecak.

"Siya? Lo ngapain di sini? Bukannya lo liburan?" tanya Hauri.

"Lo pikir gua bisa tenang gitu liburan kalo tiba-tiba nyokap lo telepon, bilang kalo lo nangis berhari-hari? Bahkan nih sekarang lo berendam udah lama kan? Dari kapan lo berendam kayak gini?" Siya menunjuk kolam dengan mata memicing.

"Pagi."

"Hauriiiii!!!!!!!" Siya berteriak gemes. Mau makan Hauri sekarang juga.

"Gua juga nggak mau kayak gini! Nggak mau nangis terus!" Hauri memukul permukaan air hingga menciptakan cipratan. Air mata Hauri kembali turun. "Gua juga nggak mau cengeng! Gua berusaha keras buat nggak nangis......tapi tetap aja.....jantung gua rasanya sesak." Hauri mencengkram dadanya. "Sejak malam itu gua benar-benar sakit! Sakit banget sampai rasanya mau teriak! Gua nggak tau harus apa lagi?! Ngga tau!" teriak Hauri.

Siya menghela napas. Ia duduk di pinggir kolam dengan mencemplungkan kedua kakinya.

"Apa yang terjadi? Ada hubungannya sama Alskara?"

Hauri mengangguk. "Dan Liam."

"Liam?" Siya mengernyitkan kening.

Hauri pun menceritakan semuanya ke Siya apa yang terjadi dengannya malam itu di rumahnya. Dari saat dirinya dijadikan barang taruhan. Liam yang menyatakan cinta kepadanya. Sampai dirinya yang meledak mengatakan semua yang ingin ia katakan pada Alskara.

Siya menghela napas. Mengusap jidatnya. Masalahnya tidak semudah yang ia pikirkan. Liam dan Alskara sahabat dekat. Hauri baru saja mendapatkan kembali ingatannya. Jadi perasaannya kepada Alskara masih terombang-ambing. Belum lagi Hauri terancam kehilangan Liam sebagai sahabat baiknya karena sekarang Liam menjauh. Siya benar-benar merasa kasihan dengan Hauri. Kalau itu terjadi di hidupnya. Mungkin Siya juga akan sangat sedih dan bingung.

"Terus gimana?" tanya Siya. "Udah ada jawabannya?"

"Mau hilang ingatan lagi. Biar lupa sama semua kejadian malam itu. Biar bisa kabur dari keadaan kayak gini."

Siya menyentil kening Hauri. "Lo mau lupain gua lagi?"

"Nggak." Hauri menggelengkan kepala. "Gua bingung harus apa? Benar-benar bingung."

"Gimana proses move on lo sama Alskara? Lo bilang mau berhenti ngejar dia, kan?"

Hauri melipat kedua tangan di tepi kolam. Menidurkan kepalanya di atas kedua tangan dengan miring membelakangi Siya. "Gua berusaha...sangat keras...." Hauri menghela napas berat. "Dulu gua berusaha keras untuk tetap ada di samping dia.....sekarang gua berusaha keras untuk pergi..."

Siya menatap nanar belakang kepala Hauri. Ia tahu kalau Hauri kembali menangis.

"Nggak mudah Ya untuk melupakan seseorang yang biasa gua cintai bahkan sejak gua nggak begitu paham apa itu cinta. Iya cuma satu cowok padahal. Sedangkan di dunia ini banyak cowok lainnya. Tapi satu cowok itu beda dari banyak cowok. Satu cowok itu bagian terbaik dalam hidup gua. Kita kenal dari kecil, kita dekat dan selalu bareng. Dia pahlawan gua. Dia yang dulu selalu nolong gua, selalu buat gua tersenyum dan selalu ada buat gua. Dia cowok kedua yang pernah ada di hidup gua setelah bokap gua. Bahkan saat hilang ingatan, dia jadi cowok kedua yang gua lihat. Gua belum pernah ngerasain hidup gua tanpa dia. Susah Ya. Susah untuk move on kalo kenangan gua bersama dia terlalu banyak sejak gua ada di dunia ini, dianya masih sering muncul, kasih harapan, terus nyakitin lagi. Tarik-ulur perasaan."

"Gua tau nggak seharusnya ceritain ini. Tapi lo harus tau. Ingat waktu Al ultah? Lo nggak dateng karena ngira bakal sakit hati. Lo salah besar. Gua rasa lo nggak akan sakit hati ngeliat tatapan Al yang tertuju ke Aina."

"Maksud lo?" tanya Hauri tidak mengerti.

"Malam itu. Untuk pertama kalinya. Tatapan Al nggak tertuju ke Aina. Tatapannya memutar ngeliat sekeliling mencari sesuatu. Berkali-kali dia nanya sama gua, Hauri dimana? Hauri udah dateng belum? Dia nyari lo, berharap lo dateng. Dia bahkan mengabaikan Aina. Malam itu dia cuma mikirin lo. Keliatan nggak nikmatin pesta karena lo nggak dateng."

"Udah dong Ya. Jangan cerita gitu. Gua nggak mau goyah lagi, nggak mau ketarik dan nanti diulur lagi."

"Iya, iya gua kan cuma cerita." ujar Siya. "Terus Liam gimana?"

"Liam?"

"Iya perasaan lo ke Liam. Gimana?"

"Liam dateng di saat gua terpuruk. Dia narik tangan gua, menghapus air mata gua. Berusaha membuat gua melupakan kesedihan gua. Selalu ada buat gua, selalu siap. Emang dia playboy. Tapi gua percaya kalo setiap orang bisa berubah. Sama aja kayak gua yang antagonis. Liam tipikal cowok yang bisa membuat orang jatuh cinta, karena dia bucin yang bisa berjuang begitu keras. Dia partner yang pas untuk sama-sama berjuang. Dia benar-benar berharga. Kehadiran dia mulai menjadi hal yang biasa dalam hidup gua. Gua nggak bisa bayangin diri gua yang sekarang kalo nggak ada dia."

Siya menghela napas. Menatap langit di atas sana. "Sekarang siapa yang serakah?" sindir Siya.

Hauri tertawa sumbang. "Iya. Payah ya gua? Serakah, plin-plan."

"Emang." saut Siya tersenyum.

"Gua nggak tau Ya.....nggak tau jawaban yang harus gua pilih? Nggak tau harus apa?" suara Hauri terdengar lirih.

Siya kembali menatap Hauri. "Apapun jawaban lo, apapun pilihan lo. Cuma satu yang gua minta." Siya menarik napas. Lalu berucap lagi. "Lo harus bahagia. Lo pantas dicintai dan pantas untuk bahagia. Udahan sedihnya, udahan terlukanya. Apalagi cuma karena cowok."

Hauri menggigit kecil bibir bawahnya. "Hm." kemudian Hauri menenggelamkan kepalanya ke dalam air agar air matanya tak terlihat.

-ANTAGONIS-


Jangan lupa follow :

@palupiii07

@alskarabanyu

@imhaurii

@liam.aarav

@aina.wayan

@nevanoktavino

@siya.aprilia

@jiran.amanda

@gibson.jzn

@fela_murnia

Terimakasih❤️❤️

I'm not Antagonis (TAMAT dan SUDAH TERBIT)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang