Sudah tersedia di toko buku online dan gramedia. Terimakasih.
Hauri masih bergelut dengan pikirannya, mengaduk asal capuccino di depannya. Entah sampai kapan ia akan mengaduk minumannya, karena pikirannya sedang mengembara memikirkan banyak hal. Salah satunya soal rencana pembatalan pertunangannya. Hauri mengakui itu memang rencananya, tapi sampai sekarang ia tidak tahu cara menjalani rencananya tersebut.
Niatnya terombang-ambing. Hatinya mudah plin-plan. Semuanya salah Alskara. Gara-gara Alskara menangis dalam pelukannya di depan makam membuat Hauri sedikit berharap kalau ia akan menjadi tujuan dan tempat Alskara mengadu. Namun setiap kali sosok Aina muncul dalam benaknya. Sentak kenyataan menamparnya. Alskara sudah punya pacar, sudah punya Aina.
"Gua harus punya alasan yang kuat buat batalin pertunangan gua dan Alskara. Gua nggak boleh ragu." Hauri berhenti mengaduk minuman capuccinonya, berganti mengetuk meja.
Melihat bagaimana antusiasnya kedua orang tua Hauri dan Alskara, rasanya sangat susah berbicara langsung kepada mereka. Terlebih lagi ibunya Alskara sangat menyayangi Hauri. Hauri takut Alskara akan terkena imbasnya.
"Aarrrghhh! Nggak tau! Gua nggak ada ide!" Hauri mengacak frustasi rambutnya.
"Hauri?" Aina mendatangi Hauri saat melihat gadis itu menggerutu sendiri di salah satu meja.
Hauri mengangkat kepalanya, ia terkejut melihat Aina yang berdiri di dekatnya dengan memakai seragam pelayan cafe. "Lo.....kerja di sini?" tanya Hauri.
"Iya, aku kerja sambilan di sini. Kamu sendirian?"
"Iya gua sendirian." Hauri mengangkat bahunya acuh.
Aina menelan ludah, mengigit bibir bawahnya. Terlihat mencemaskan sesuatu. "Hauri maaf." ucapnya ragu. "Sepatu kamu. Bisa kapan aku balikinnya?"
"Gua udah bilang, kan? Pakai sepatu gua sampai lo punya sepatu baru."
"Tapi aku-"
"Gapapa Aina. Lo boleh simpan sepatu gua sampai kapan pun." Hauri memotong perkataan Aina.
Aina tersenyum lega. Merasa beruntung mengenal orang sebaik Hauri. "Maaf aku ngerepotin. Padahal aku udah buat kamu benci sama aku. Tapi kamu masih bisa bersikap baik." Aina merasa bersalah karena pernah membuat Hauri sedih soal Alskara.
"Apaan sih, Na? Lo nggak ngerepotin. Dan iya mungkin dulu gua benci sama lo. Tapi sekarang udah nggak." Hauri berusaha meyakinkan Aina kalau dirinya bukan Hauri yang dulu.
Ponsel Aina bergetar. Cepat-cepat Aina mengangkat panggilan masuk tersebut.
"Halo? Iya? Apa?" raut wajah Aina berubah. Tidak secerah tadi. Bahu Aina merosot lemah dengan kedipan mata yang sayu.
"Kenapa Na?" tanya Hauri setelah Aina menutup panggilannya.
"Nenek aku masuk rumah sakit lagi....aku....aku...." suara Aina menghilang digantikan oleh air mata.
Hauri langsung berdiri dari duduknya. "Yaudah ayo gua anter lo ke rumah sakit." Hauri menggenggam tangan Aina.
"Tapi aku...."
"Lo ijin pulang cepat. Kalo dipecat gua tanggung jawab. Sekarang gua anter lo!" tegas Hauri.
-antagonis-
"Nenek!" Aina langsung memeluk neneknya yang terbaring lemah tidak sadarkan diri.Hauri berdiam diri di belakang Aina. Merasa ibah dengan keadaan Aina. Cuma neneknya yang Aina punya sebagai keluarga. Kedua orang tua Aina sudah lama meninggal dunia. Kalau terjadi sesuatu pada neneknya, Aina akan sebatang kara di dunia ini.
KAMU SEDANG MEMBACA
I'm not Antagonis (TAMAT dan SUDAH TERBIT)
Fiksi Remaja*SUDAH TERBIT, TERSEDIA DI GRAMEDIA ATAU TOKO BUKU ONLINE* ( JANGAN LUPA FOLLOW SEBELUM BACA. SETELAH BACA JANGAN LUPA VOTE, KOMEN DAN KRITIKNYA. MAKASIH) *Mulai dari 5 Agustus 2020 Rank 1 in #change tgl 15/9-2020 Rank 1 in #broken heart tgl 29/9-20...