"Jangan memberi harapan seolah-olah kau akan kembali padaku jika, pada akhirnya kau memilih bersama orang lain."
***
"Tan," panggil Gladyz pelan.
Yoga yang berjalan tepat di hadapan Gladyz menoleh pada gadis itu. Sebelah alisnya terangkat seolah bertanya apa?
"Emm, itu ...." Gladyz menunduk sambil memilin jari-jarinya. Dia ragu untuk mengatakan apa yang sedang dipikirkannya.
"Itu, apa?"
"Zivan ... ngajak pulang bareng," jawab Gladyz begitu lirih, tetapi Yoga masih bisa mendengarnya. Mendengar nama Zivan, ada rasa cemburu yang terbesit di hatinya.
"Terus?" tanyanya berusaha sesantai mungkin. Dia tidak boleh menunjukan rasa cemburunya, nanti gadis itu curiga jika Yoga sudah mulai menaruh rasa padanya. Gengsi, jika Yoga ketahuan mencintai Gladyz, sedangkan Gladyz masih mencintai masa lalunya.
"Boleh, gak?"
"Kalau lo emang mau pulang bareng dia, ya, silahkan. Tapi ingat, suruh anterin ke rumah bunda."
"Lo gak marah, 'kan?"
"Marah? Buat apa? Buang-buang waktu aja. Kalau gitu gue duluan, ya. Kalau udah sampe di rumah bunda telpon gue, entar gue jemput. Bye." Yoga langsung berlari menuju parkiran. Meninggalkan Gladyz yang bergeming di tengah koridor kelas sepuluh.
Gladyz menatap nanar kepergian Yoga, dia pikir Yoga tidak akan mengizinkannya. Padahal dia berharap Yoga cemburu jika dia dekat-dekat dengan Zivan, tapi nyatanya cowok itu tampak biasa saja.
Sepertinya Yoga belum mencintainya. Jangan-jangan kata-katanya yang waktu itu di cafe hanya sebuah omong kosong. Gladyz menghela napas panjang lalu memejamkan mata sebentar.
Gladyz harus berjuang lebih keras lagi agar bisa mendapatkan hati Yoga. Dia ingin rumah tangganya selalu harmonis dan langgeng sampai maut memisahkan. Tak ingin ada orang lain hadir di antara mereka.
***
"Kenapa?"
Zivan dan Gladyz segera turun dari motor. Mereka sekarang berada di jembatan yang letaknya masih cukup jauh dari rumah orang tua Gladyz. Zivan melepaskan helm lalu menoleh ke arah Gladyz.
"Motornya mogok."
"Terus gimana dong?" Terlihat jelas raut gelisah di wajah gadis itu. Entah kenapa hatinya tak tenang dia merasa akan ada sesuatu terjadi, tapi apa itu?
"Kita pulang naik taksi aja gimana? Entar aku nyuruh orang buat ngambil motornya." Zivan tersenyum tipis.
"Gak usah deh, kita cari bengkel terdekat aja," jawab Gladyz tak enak karena meropatkan Zivan.
"Yaudah. Kita di sini bentar gapapa, 'kan? Nanti baru kita cari bengkel." Zivan sudah bersandar pada pembatas jembatan. Padangannya tak luput dari wajah cantik Gladyz. Desiran itu kembali terasa, sungguh, dia masih mencintai mantan kekasihnya itu.
Gladyz hanya menangguk pelan lalu ikut bersandar di samping Zivan. Raganya memang ada bersama Zivan, tetapi pikirannya sibuk bergelut dengan bayang-bayang Yoga. Pandangannya fokus menatap kendaraan yang lalu-lalang sore itu.
Zivan menatap Gladyz tanpa kedip, jatungnya berdegup kencang. Sebuah senyum terukir di wajah tampannya. Tangan terulur meraih tangan munggil Gladyz.
Gladyz tersentak saat meraskan tangan hangat Zivan yang menggengam tangannya. Dia menoleh dan tatapannya bertemu dengan tatapan teduh cowok itu. Entah kenapa saat itu juga, hatinya semakin tidak tenang.
KAMU SEDANG MEMBACA
Gladyz Love Story [END]
Teen Fiction"Lo mau ke mana? Gue belum ngasih lo hukuman." "Lo ngapain rentangin tangan kayak gitu? Mau gue peluk?" goda Gladyz. "Ck, ini buat nahan supaya lo gak pergi bukannya minta dipeluk," decak Yoga. "Lo minggir atau gue perkosa?" ▪▪▪▪▪ BELUM REVISI! PLOT...