"Apakah satu bukti sudah mampu menentukan siapa pelakunya?"
-AR
***
Hujan mengguyur kota Jakarta di malam hari hingga subuh menjelang, menyebabkan hawa pagi ini lebih dingin dari hari-hari biasanya. Genangan air sisa hujan semalam terlihat di sepanjang jalan. Namun, hal itu tak membuat orang-orang mengurungkan niat untuk melanjutkan aktivitas.
Sekolah belum terlalu ramai, hanya ada beberapa orang yang berlalu-lalang melintasi lapangan, berjalan di koridor menuju kelas atau kantin. Para guru yang mengajar saja belum terlihat satu pun, hanya ada penjaga sekolah yang duduk di posnya sembari membaca koran dan ditemani secangkir kopi.
Gladyz keluar dari mobil terlebih dahulu, selang lima menit setelahnya barulah Yoga menyusul. Pasangan muda-mudi itu berjalan beriringan dengan tubuh dibalut jaket serupa dan kedua tangan dimasukan ke saku jaket. Nampak begitu serasi.
Cwok yang menjabat sebagai ketua osis itu tersenyum pada beberapa murid yang menyapanya saat berpapasan di koridor. Sementara Gladyz sudah memasang raut datar nan jutek, sesekali menatap galak gadis-gadis yang menyapa Yoga.
Yoga melirik Gladyz dengan senyum tertahan. Dia tahu Gladyz berusaha menyembunyikan rasa kesal karena cemburu melihatnya tersenyum pada gadis lain. Tangannya terulur ke atas puncak kepala istri galaknya itu lalu mengacak rambut sepunggung itu.
Gladyz melotot galak pada Yoga lalu segera menepis tangan kekar itu. Dia merapikan rambutnya yang sedikit berantakan sambil menggerutu kesal.
Yoga terkekeh lalu beralih menarik kedua pipi Gladyz. "Gemes banget istrinya Yoga," ujarnya.
Gladyz memberengut kesal sambil mengelus pipinya yang terasa sakit. Dia beralih menempeleng kepala Yoga. "Sakit, goblok!" maki Gladyz. Dia mempercepat langkahnya menuju kelas, meninggalkan Yoga yang tengah meringis kesakitan.
"Gue tempeleng balik dosa gak, sih?" tanya Yoga seraya mengelus kepalanya yang berdenyut.
"Oy, Dyz, tungguin dong!" serunya lalu berlari menyusul Gladyz yang sudah berdiri di ambang pintu.
Gladyz berjalan menuju bangkunya tanpa menghiraukan teriakan Yoga. Lagi pula tak ada untungnya dia menunggu Yoga, anak itu juga tidak akan hilang di sekolah ini.
Dia duduk dan menyimpan tas ke atas meja. Kelasnya begitu sepi, belum ada satu pun murid yang datang. "Sepi banget," gumamnya.
Pandangan Gladyz beralih ke arah pintu, di sana sudah ada Yoga yang tengah tersenyum lebar dengan mata tertutup dan Naufal yang terlihat murung serta tak bersemangat. Gladyz menggeleng beberapa kali melihat tingkah Yoga yang ada-ada saja.
Matanya gak ada berarti bukan suami gue, batin Gladyz.
Kedua cowok itu berjalan mendekat. Yoga duduk di bangku yang biasa Zeva tempati yang berada di sebelah bangku Gladyz, sedangkan Naufal duduk di bangku belakang Yoga yang tak lain adalah bangku milik Azka.
"Ngapain malah masuk ke sini? Sana balik ke kelas kalian," usir Gladyz yang mencoba mendorong Yoga agar segera pergi. Namun, cowok itu tak beranjak sama sekali dia malah kembali tersenyum dengan mata tertutup.
"Kesurupan, nih, bocah pas gue tinggal tadi," ucap Gladyz pelan hingga baik Yoga maupun Naufal tak ada yang mendengarnya.
Gladyz menampar Yoga berulang kali, tapi tidak menggunakan seluruh kekuatan seraya mengucapkan, "keluar lo setan dari tubuh si Yoga!"
KAMU SEDANG MEMBACA
Gladyz Love Story [END]
Ficção Adolescente"Lo mau ke mana? Gue belum ngasih lo hukuman." "Lo ngapain rentangin tangan kayak gitu? Mau gue peluk?" goda Gladyz. "Ck, ini buat nahan supaya lo gak pergi bukannya minta dipeluk," decak Yoga. "Lo minggir atau gue perkosa?" ▪▪▪▪▪ BELUM REVISI! PLOT...