Melangkah Selangkah

420 77 7
                                    

"Gue penasaran satu hal deh, Ho," gumam Arin tiba-tiba.

Jiho yang sedari tadi sibuk beradu dengan lobster rebusnya, hanya perlu sedikit melirik ke arah Arin untuk melihat apa yang akan dikatakan perempuan itu. Jiho tidak bisa lebih fokus dengan santapan makan malamnya ini.

"Aphha?" Tanya Jiho balik dengan mulut yang penuh dengan makanan.

Arin sebenarnya agak gimana gitu liat Jiho yang ngomong pake mulut yang penuh makanan. Jorok. Tapi biarin lah.

"Kayanya kebiasaan mabuk gue berubah deh," balas Arin sambil menerka.

"Berubah gimana maksud lo?" tanya Jiho balik.

Arin menaruh sumpitnya lalu menerawang jauh ke arah televisi yang menyala. Berusaha mengingat apapun yang bisa dia ingat saat dirinya mabuk.

"Biasanya gue bangun tuh masih di jalan gitu. Berantakan kek sampah-"

"Iya bener," potong Jiho asal.

Arin hanya memberi ekspresi datarnya.

"Gue baru bisa sadar dari mabuk kalo lo udah nelfon gua. Tapi akhir-akhir ini, tiap gue mabuk, bangun-bangun gue udah di kamar. Kan aneh. Mana bisa gue sampe rumah padahal posisi gue ga sadar?" jelas Arin yang berputar-putar dengan kebingungannya.

"Ya kan gue selalu jemput elu pas mabuk, bege," sahut Jiho cepat.

"Serius? Kok bisa?" tanya Arin heran.

Panjang lebar Jiho jelasin dimana suatu malam, dia di telfon sama bapak-bapak yang laporan nemu Arin mabuk di pinggir jalan.

Lalu dengan perasaan gak enak ke si bapak, hampir tiap malam, tiap Arin mabuk, Jiho selalu mengucap permohonan maaf kepada bapak tersebut karena udah mau direpotin sama temennya yang gak tau diri ini.

"Makanya kalo lo mau teler, ajakin gue kek. Jangan sendirian. Gue kaya gak punya muka tiap ketemu bapak-bapak yang nolongin lo itu," kata Jiho lugas.

Jiho mengakhiri ceritanya dengan menenggak satu sloki soju. Sedetik kemudian dia merasa sengatan panas di lehernya.

"Lo gak minum?" Tanya Jiho.

"Gak. Gue masih ada tanggungan pasien gagal jantung. Abis ini balik lagi ke rumah sakit. Gue pinjem mobil lo ya, Ho."

***


"Nanti tolong kirimkan lewat email, semua dokumentasi donatur dari dua bulan lalu. Biar saya siapkan beberapa untuk monev dengan pimpinan."

Arin mengangguk mengiyakan perintah Seungwoo usai rapat mereka malam itu.

Tidak banyak yang mereka lakukan, hanya menyortir dana bantuan ke beberapa rumah sakit lalu membuat kreditnya.

Arin juga sudah siap beranjak dari tempat duduknya sebelum Seungwoo menanyakan sesuatu.

"Naik bus lagi?" tanya Seungwoo.

"Enggak, dok. Saya bawa mobil," balas Arin cepat karena sudah sangat ingin pulang.

Seungwoo mengangguk lalu ikut membereskan barang bawaannya.

"Dokter Seungwoo," panggil Arin.

Pria itu menoleh dan tampak sedikit terkejut karena sepertinya baru pertama ini Arin memanggil namanya.

"Iya?"

"Saya sudah bawa mobil sekarang, dok. Jadi saya mohon, dokter gak perlu lagi bikin pesanan taksi buat saya," kata Arin tegas.

Seungwoo terdiam.

Apa hanya perasaannya saja yang bilang kalo perkataan Arin barusan terdengar seperti sebuah gertakan.

"Maaf dok. Tapi saya gak bisa terus-terusan bikin dokter Seungwoo repot gara-gara saya. Saya bisa urus diri saya sendiri," lanjut wanita itu.

Arin juga gak enak kali, dibantuin sama Seungwoo terus.

Inget, Seungwoo udah punya anak. Pikir Arin, nanti dia akan dicap yang enggak-enggak karena selalu ngerepotin suami orang :v

Entah apa karena perbedaan usia yang jauh itu, Seungwoo malah merasa lucu melihat Arin yang menggertaknya.

Maksudnya, menurut Seungwoo, Arin tampak seperti bocah yang mengadu karena gamau dikasih pertolongan.

"Oke. Baiklah. Kalo kamu memang sudah ada kendaraan sendiri, syukurlah. Kamu bisa pulang dengan selamat kalo gitu. Sugohaesseoyo, Arin sonsaeng."






Ganteng banget pak dokter

Ups! Gambar ini tidak mengikuti Pedoman Konten kami. Untuk melanjutkan publikasi, hapuslah gambar ini atau unggah gambar lain.

Ganteng banget pak dokter

to be continued

After | Han Seungwoo ✔Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang