berarti

364 78 0
                                    

"Saya memang sedang berduka. Tapi saya sepenuhnya ikhlas, jadi bapak saya bisa tenang di sana, bu dokter. Saya malah makasih ke bu dokter karena sudah rawat bapak di masa-masa kritis beliau. Makasih banyak, bu dokter."

Arin menggeleng.

Dia sama sekali ga merasa merawat pasiennya dengan baik. Meskipun hanya sebatas asisten saat melakukan operasi cardiac stent, tapi Arin masih saja merasa bahwa dia gagal memperjuangkan pasiennya. (ring jantung)

"Saya benar-benar minta maaf, bu. Saya belum bisa memberi yang terbaik."

"Bu dokter... bu dokter sudah begadang sebulan penuh jagain bapak saya. Ga ada yang ga terbaik dari bu dokter."

Arin tidak bisa menangis di hadapan keluarga pasiennya sekarang. Namun dadanya sesak karena dia menangis dalam hati.

***

"Kalo saya berhenti, menurut dokter Seungwoo gimana?"

Seungwoo mengerutkan keningnya sementara Arin menatap kosong ke arah ujung sepatunya.

"Kalo saya berhenti, kayanya saya bisa lebih tenang dibanding sekarang dok."

"Maksud kamu apa? Kamu lagi kecapekan, ngomongnya jadi ngelantur."

"Kalo emang saya ga bisa kerja bener, buat apa saya ada?" Keluh Arin.

Dia ga berani menatap lawan bicaranya karena seperti biasa, Arin masih belum terbiasa dengan tatapan Seungwoo yang dalam dan mengintimidasi.

Tanpa Arin duga, Seungwoo meraih tangannya, lalu menyingkap sedikit lengan snelli yang menutup sampai pergelangan tangannya.

Arin tersentak namun dia hanya diam. Pergerakan Seungwoo lebih cepat dibanding dia. Mau dia melepaskan diri dari Seungwoo pun, percuma.

Seketika netra Seungwoo fokus pada salah satu objek di pergelangan tangan Arin sebelah kiri.

Bingo.

Arin menelan ludah. Dia ketahuan.

Seungwoo menghela nafas panjang begitu melihat apa yang dia lihat di sana. Kecurigaannya selama ini ternyata cukup akurat.

"Sikap kamu itu terlalu keliatan untuk orang yang depresi. Lain kali kalo ada masalah jangan dipendem sendiri, kamu ga akan kuat. Mending kamu cerita." Omel Seungwoo layaknya bapak-bapak yang marah-marah ke anaknya sendiri.

Pria itu lantas mengambil tisu basah dari sakunya lalu membersihkan gambar kupu-kupu yang dibuat Arin, hingga tak ada lagi sisa tinta hitam di sana.

Arin hanya terdiam memandangi pergelangan tangannya sambil menahan tangis. Air matanya sudah berkumpul di pelupuk dan tinggal menunggu waktu yang tepat saja untuk lolos.

"Saya dan rumah sakit masih butuh kamu. Kalo kamu perlu bantuan apa-apa, bilang ke saya. Saya bantu apapun yang saya bisa."




Dok, jangan bikin saya berharap


Arin semakin memperdalam tangisnya di bahu Seungwoo. Bahkan keduanya tangannya kini mengerat di sisi snelli yang dikenakan pria itu hingga membentuk bekas garis kusut di sana.

"Will I feel better if I just disappeared from this world?"

"Kamu jangan bilang gitu."

Arin masih sesenggukan hingga sedikit kesusahan bernafas.

Entah apa yang mendorongnya untuk menangis di hadapan Seungwoo, tebaknya mungkin karena terbawa suasana yang dibawa pria itu, dia jadi tak ragu untuk ikut mengeluarkan perasaannya.

Dia bahkan ga peduli jika sekarang Mingyu sudah uring-uringan karena dirinya absen ikut konferensi yang sudah dijadwalkan bersama prof Sofia.

Tidak banyak yang dilakukan Seungwoo saat ini. Pria itu hanya diam memandang sekitar sambil sesekali menepuk punggung Arin untuk menenangkannya.

Seungwoo hanya ingin membuatnya merasa lebih baik.

"It's okay to cry. Nangis aja. Saya tungguin di sini." Ujar Seungwoo masih menepuk punggung Arin.

Menyadari bahwa mungkin dirinya sudah terlalu lama dalam tangis, Arin memundurkan kepalanya lalu mengusap kasar air mata di wajah sembabnya.

Dia tak berani menatap Seungwoo dengan wajah memprihatinkan begini. Sedalam mungkin dia menunduk menyembunyikan diri.

"Maaf dok, saya berlebihan." Ujar Arin dengan suara paraunya. 

"Saya gatau kamu sedang ada masalah apa, tapi kalo kamu capek, kamu bisa istirahat sebentar. Maybe after all of that pain, you can shortly shine a light. So you couldn’t give up."








to be continued

After | Han Seungwoo ✔Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang