hidden story .1

337 63 2
                                    

**flashback


"Kamu harus les."

"Engga mau. Aku mau pergi ke rumah Jiho terus main lanjut nginep di sana sampe malem."

"Kamu les, habis itu papah kasih telfon kamu sama mamah."

"Bohong."

Pak Choi memutar pandangnya, ga habis pikir menghadapi bantahan anak putrinya.

"Beneran, papah langsung telfon mamah habis kamu pulang les. Ayo, masuk sekarang."

Si remaja putri itu menarik tangannya kembali begitu hendak dipaksa bapaknya masuk gedung les yang sudah dia kenal dari jaman sekolah dasar.

"Engga. Aku pulang ke rumah Jiho."

"Arin, masuk sekarang. Les."

"Papah aja yang les."

"Arin!"

Pak Choi berteriak tertahan, khawatir kalau ada orang lain mendapatinya tengah membentak anak kecil.

"Papah berkali-kali bilang mau telfon mamah habis Arin selesai les. Tapi sampe sekarang hari ke-209 les, Arin ga pernah sekali terima telfon dari mamah."

Arin memungut topi bisbol warna putih yang tadi sempat jatuh waktu menarik tangannya, lalu mulai berjalan ke sembarang arah. 

Masa bodo dengan hujan yang membuat sekujur tubuhnya kuyup hanya dalam hitungan detik.

"Arin! Berhenti! Dengerin papah... duh!"

Brukkk

Arin menghentikan langkahnya lalu spontan menoleh ke belakang.

Detik pertama, dia pikir papahnya hanya acting, merintih kesakitan sambil memegangi dada bagian kiri, lalu kesulitan bernafas.

Namun mulai detik ke sepuluh, Arin baru sadar kalo itu bukan acting, bahkan pria berbadan tegap itu kini sudah jatuh tak sadarkan diri.

"PAH!!!!"

Arin berlari kembali menuju ayahnya, seketika panik, bingung apa yang harus dia lakukan.

Dia memandang sekitar tapi barangkali ada orang yang bisa dia mintai tolong. Tapi bener-bener di sana sepi, ga ada orang sama sekali. Siapa juga yang mau keluar rumah hujan-hujan sore hari begini.

"Pah... papah..." Arin mengguncang papahnya pelan.

"Telfon 119. Cepet."

Arin sedikit terhempas ke samping begitu seorang laki-laki asing datang, memeriksa tanda-tanda vital pak jenderal.

Arin masih belum bisa melepaskan pandangannya dari si bapak. 

Seumur hidup, dia ga pernah menemui papahnya selemah ini. Papahnya selalu tegas dan dingin, wibawa bahkan auranya sudah terasa kuat sekalipun jarak sepuluh meter.

Tapi yang dia liat sekarang, membuat Arin merasa ditarik ke sudut ruangan yang gelap. Meringkuk sendirian di tengah sepi dan sunyi.

Arin takut.

Laki-laki itu menyadari Arin ga memberi respon atas perintahnya. Lantas dia berdecak pelan lalu meraih ponsel di saku hoodienya.

"Halo. Ada orang pingsan di seberang gedung FK kampus SNU. Denyut nadinya di atas normal..."

Arin masih belum bisa sepenuhnya sadar. Dia masih dibayang-bayang ketakutan akan kehilangan.

Terlalu dini memang untuk mengambil kesimpulan kalo ayahnya akan pergi, tapi bukan Arin namanya kalo dia ga mengantisipasi kemungkinan terburuk.

Semuanya berlangsung sangat cepat saat laki-laki tak dikenal ini melakukan sesuatu pada ayahnya. Mungkin gerakan memompa dada(?) Arin gatau, tapi di matanya itu cukup luar biasa.

Tak lama, mobil ambulans tiba dan beberapa petugas mulai melakukan tindakan penyelamatan.

"Anaknya?" Tanya salah satu petugas menunjuk ke arah Arin.

Bocah kelas satu sekolah menengah pertama itu mengangguk kaku.

Petugas itu berbalik menunjuk pemuda di sebelahnya.

"Pelapor? Anda perlu ikut kami untuk pemeriksaan dan anamnesis pasien."

***

"Mau permen?"

Arin mengangkat kepalanya begitu sebuah tangan mengulurkan sebiji permen buah di depannya.

Arin masih bungkam. Dia ga punya minat lain selagi menunggu ayahnya siuman.

"Bawa aja. Siapa tau butuh." Laki-laki itu menaruh permen pemberiannya di telapak tangan Arin.

Begitu diperhatikan, kondisi bocah perempuan di depannya ini sedikit menyedihkan.  

"Nih pake. Ga sadar baju kamu basah kuyup gitu."

Arin diam saja saat laki-laki asing itu mengenakan hoodie ke tubuh mungilnya yang basah. Hatinya sedikit tergerak untuk mengatakan sesuatu karena sepertinya orang itu benar-benar baik.

"Makasih, om."

"O.. om... om???!"

Arin gatau kalo pemuda di depannya itu sekarang keliatan geram, dan speechless mungkin. Arin ga peduli. Dia cuma mau berdoa semoga papahnya segera siuman.

"Kakak.... kakak masih kuliah. Mahasiswa. Bukan o.. om.. o.. panggil aja 'kak'. Lebih mending gitu, daripada o... o... o... ck, gue aja ga sanggup nyebutnya."

Arin masih belum minat untuk mengangkat kepalanya lagi.

"Kamu segitu sedihnya lihat bapak kamu pingsan?" Tanya si pemuda masih mencoba membangun perbincangan di antara mereka.

Arin masih diam.

"Papah kamu itu gapapa. Cuma shock bentar doang gara-gara stres. Habis ini juga sembuh. Jangan khawatir."

Arin masih menundukkan pandangannya, menatap kosong ke arah kaki panjang pemuda yang celananya basah akibat hujan.

"Anak SMP ternyata."

Arin bisa mendengar pemuda itu bicara lagi. Tebaknya mungkin pemuda itu lihat logo sekolah yang ada di tasnya.

"Kamu ga laper?"

Arin mulai jenuh mendengar suara pemuda yang entah kapan akan segera pergi dari sana. Sekilas dia melihat gelang perak dengan sebuah bandul, melingkar di pergelangan tangan si pemuda.

"Makasih banyak, kak, udah nolong papah tadi. Tapi maaf, aku ga bisa fokus berdoa kalo kakak ngomong terus. Permisi kak."

"Segitu khawatir kamu sama papah kamu?"

Maklum kalo pemuda itu tanya begitu.

Anak perempuan itu terlihat begitu agresif dan kesal saat dipaksa ayahnya masuk gedung tempat les. Tapi sekarang, dia menunggu di ruang tunggu IGD dengan tatapan sedih bahkan sampai lupa kalau badannya basah.

"Papah harus selamat, soalnya Arin ga punya siapa-siapa lagi."

Arin kecil membungkuk sopan.

Tangannya yang kurus mengemasi tas dan topinya, lalu pergi meninggalkan si pemuda, yang mulai kedinginan, karena hoodienya dibawa pergi begitu saja oleh si bocah.

"Hoodie gue. Gapapalah."

Pemuda itu meraih ponselnya begitu dirasa berdering, tanda panggilan masuk.

'Woo, dimana? Ditunggu nih, jajannya udah mau abis dimakan Seungyoun!'

"Otw dari rumah sakit kampus."




bukan lanjutan
tapi kilas balik dari yang sebelumnya :)

After | Han Seungwoo ✔Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang