Ketegangan

591 101 0
                                    

"Dokter Arin, pasien aritmia kamar 901 perlu di cek pacemaker-nya."
(kondisi denyut jantung yang tidak teratur)
(alat pacu jantung)

Terdengar suara baritone yang baru saja memasuki ruangan dokter, memecah keheningan di sana. Ya, karena hanya ada satu orang di dalam.

Arin yang baru saja hendak menyantap suapan pertamanya, terpaksa menghentikan laju sendoknya.

"Iya, dok. Saya inget. Saya masih punya waktu lima menit. Biar saya makan ini dulu sebentar." Jawab Arin.

Suapan pertama itu akhirnya memasuki rongga mulutnya setelah sempat terhenti sejenak tadi. Makan siang kali ini adalah santapan pertamanya di hari kelima pekan ketiga bulan Februari.

Dokter Mingyu, yang mengingatkan Arin akan jadwalnya tadi, kini duduk di hadapan wanita itu sambil menaruh sesuatu di atas meja.

"Pelan-pelan makannya, Rin. Gue gamau lo keselek lagi kaya kemarin. Sama ini, diminum. Biar lo gak tepar." Ujarnya.

Arin mengangguk singkat menanggapi nasihat Mingyu.

Kemarin di waktu yang sama pula, dia harus berjuang menahan perih di dadanya saat sepotong daging meleset masuk ke rongga pernafasannya.

Itu semua gara-gara keterburuannya setelah dipanggil prof Sunho untuk ikut visit pasien rawat inap.

Ish. Arin benci ketika dia harus terlihat menyedihkan lalu membuat orang lain menolongnya.

Mingyu lah yang membantunya meloloskan sepotong daging itu hingga nafasnya kembali normal. Bahkan pria itu sempat mengurut punggung Arin agar badannya berhenti bergetar.

"Makasih, dok." Cicit Arin setelah selesai dengan suapan kelimanya.

"Kalo lagi berdua, panggil nama aja kenapa si Rin? Gue kan temen lo. Ga enak denger lo manggil gue pake panggilan formal kaya gitu." Keluh Mingyu.

Arin membereskan makan siangnya.

Dia diam, tidak menggubris keluhan Mingyu. Menurutnya, masalah panggilan di tempat kerja bukan hal yang penting. Itu cuma masalah Mingyu seorang.

Mingyu hanya menatap wanita itu berjalan ke arah tempat sampah kecil di sudut ruangan lalu melenggang keluar.

"Permisi, dok." Salam Arin meninggalkannya.

****

"Weekend begini kamu ke rumah sakit juga?"

Seorang wanita paruh baya itu tampak terheran-heran melihat anak bungsunya usai mendapat panggilan dari salah satu asistennya di rumah sakit.

Sempat mendengar bahwa Seungwoo akan menemui seseorang di sana sebentar lagi.

"Cuma visit bentar, mah. Ada pasien yang harus dikasih tindakan darurat. Habis itu langsung pergi sama Eunsang." Jawab Seungwoo panjang lebar.

Meskipun sibuk, dia harus bisa membagi waktu antara pekerjaan dan kewajiban mengurus putra semata wayangnya. Apapun itu, tiap akhir pekan, dia dan Eunsang harus punya jadwal main berdua. Harus.

"Mamah gak aku anter pulang sekalian?" Tanya Seungwoo setelah selesai membereskan peralatan yang akan dia bawa pergi bersama Eunsang.

"Gak usah. Kamu jalan aja sama Eunsang. Biar nanti kakakmu yang jemput kesini."

Seungwoo mengangguk.

Langkah panjangnya kemudian menuju kamar kecil bernuansa biru gelap dimana Eunsang tengah sibuk dengan pakaiannya.

"Eunsang ayo berangkat. Pake baju yang santai aja, yang nyaman. Kamu mau mancing ikan, bukan fashion show." Komentar Seungwoo sambil melihat anaknya dari ambang pintu.

Bocah delapan tahun itu masih berkutat memilih di antara dua setelan yang akan dia gunakan. Ini keputusan sulit. Dia harus keliatan mbois dengan pakaian yang cocok di badannya.

"Yang kanan itu bagus. Dah, cocok itu. Ayo berangkat sekarang keburu siang."

Lagi-lagi Seungwoo gak sabar melihat Eunsang memakan waktu yang lama hanya untuk memilih baju. Pria itu pelan mengusap dadanya.

"Sabar." Bisiknya lirih.

"Ckckck. Nurun siapa cucu oma ini, suka lama kalo milih baju." Goda si ibu sambil melirik ke arah Seungwoo.

* * *


"Saya gabisa jadi pembimbing buat tesis kamu."

Netra Arin membulat. Kepalanya yang sedari tadi tertunduk, kini sudah tegak sempurna menghadap profesor Sunho yang duduk tak jauh dari tempatnya berdiri.

"Topik yang kamu ambil ini terlalu beresiko dan kasusnya langka. Rumah sakit kita belum pernah terima kasus conjoined twins seperti yang kamu ajukan ini."
(kembar siam)

Sunho kembali membalik lembaran proposal tesis yang diajukan Arin barusan. Proposal itulah, yang membuat Arin harus rela melepas jam tidur dan istirahat selama dua pekan.

Bahkan setelah operasi cangkok paru-paru yang selesai satu jam lalu, Arin gak makan sama sekali hanya untuk ngebut proposal biar bisa maju ke profesor Sunho pagi ini.

Ditemani Mingyu yang selalu membuntuti dirinya kemanapun dia pergi, Arin berhasil menemui dokter seniornya itu. Agak memaksa memang, karena ini adalah pagi di akhir pekan.

"Conjoined twins kebanyakan terjadi di asia tenggara sama asia barat. Kalo di korea selatan sendiri angka kasusnya kecil. Apalagi yang dempet dada. Saya saran, kamu ganti topiknya mumpung masih ada waktu sepekan lagi."

Detik itu juga, Arin merasakan seperti ada pukulan tongkat besi mengenai lehernya dan sengatannya mengalir sampai kepala.

Prof Sungo tadi bilang apa? Ga... ganti? Ganti topik? NO!

Arin udah mengerahkan seluruh keringat, tangis dan darah untuk menyusun lembaran proposal yang kini ditaruh begitu saja di atas meja dan mendapat tatapan tak minat dari profesor Sunho.

Dia punya alasan sendiri kenapa mengangkat kasus itu menjadi topik tesisnya. Arin ga akan dengan mudah melepaskan hasil kerja keras pikirannya itu.

"Saya punya beberapa kenalan di rumah sakit daerah yang punya kasus hampir serupa seperti yang saya ajukan di proposal. Kalau profesor Sunho mengijinkan, saya akan-"

"Ganti saja, Rin. Topikmu ini susah. Saya ga akan bisa ngasih bimbingan kalo kemungkinan keberhasilannya kecil."

"Saya akan berusaha, Prof."

"Biar saya suruh Mingyu buat bantu kamu cari topik lain yang lebih common dan kontributif. Jangan yang neko-neko kaya gini."

Mingyu yang sedari tadi bungkam, hanya bisa menggerakkan kakinya diam-diam karena rasanya kebas akibat terlalu lama berdiri. Pria muda itu tidak tau kapan sesi bimbingan pagi ini akan berakhir.

"Tapi prof-"

Brakkk

Arin dan Mingyu kompak terperanjat, terkejut mendengar gebrakan meja hasil tangan prof. Sunho.

"KAMU INI KENAPA SUSAH SEKALI DIBILANG??!! KAMU ITU DOKTER BEDAH TORAKS, BUKAN DOKTER BEDAH ANAK!! NGERTI??!!"

Arin meneguk ludah. Begitu pula Mingyu yang menegakkan badan tingginya.

"Kamu ini sama aja kayak bapak kamu. Sukanya aneh-aneh. Saya jadi heran kenapa saya dulu terima permintaan bapak kamu untuk memasukkan kamu ke rumah sakit ini."










proposal ditolak tuh rasanya saqidh :"(

to be continued

After | Han Seungwoo ✔Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang