makan siang

370 76 8
                                    

"Stop."

Jari Arin yang hendak menekan salah satu tombol di mesin minuman kini benar-benar berhenti sesuai instruksi barusan.

Badannya berbalik ke belakang untuk mengetahui siapa gerangan yang datang tiba-tiba lalu menyuruhnya untuk berhenti.

"Saya bawa makan siang kamu. Mulai sekarang kurangi minum soda dan makan makanan yang bener."

Seungwoo setengah memaksa Arin untuk mengikutinya ke salah satu meja terdekat di sana.

Beruntung sekali dia menemukan Arin di kantin, di menit-menit terakhir jam makan siang begini.

Niat awalnya memang hendak menemui Arin, tapi seketika itu juga berubah saat melihat wanita itu malah menuju mesin minuman, bukannya ambil nasi makan siang.

"Duduk sini. Makan sama saya." Pinta Seungwoo mempersilakan Arin untuk duduk di depannya.

"Gabisa, dok. Saya habis ini ada visit pasien rawat inapnya prof Johnny." Tolak Arin sehalus mungkin karena dia gamau Seungwoo salah paham.

Meskipun pernyataannya barusan benar, tapi alasan terbesar Arin menolak ajakan Seungwoo adalah karena merasa segan.

Arin ga pernah membayangkan kalo dia akan menangis di depan Seungwoo seperti hari itu.

Bahkan sejak waktu itu berakhir, Arin masih belum berani menghubungi Seungwoo hanya untuk sekedar minta maaf, karena meluangkan waktunya untuk hal yang tidak penting.

"Halo, Jon."

Netra Arin membulat begitu Seungwoo kini sudah tersambung panggilan dengan dokter konsulennya itu dalam hitungan detik.

"Gue pinjem residen lo bentar. Ga sampe sejam." Kurang lebih begitu inti perbincangan Seungwoo dengan Johnny yang bisa Arin dengar.

Arin menggigit bibir bawahnya.

"Dah, silahkan duduk. Keburu nasinya dingin, kamu malah nanti ga doyan."

Arin masih mematung berdiri. Ragu.

Melihat Arin yang bergeming dalam diam, Seungwoo lantas mendongak memeriksanya.

"Saya sudah ijin Johnny. Jadi kamu ga usah khawatir. Sekarang duduk di sini, makan. Kamu bisa makan cepet kan? Ayo, buruan. Bentar lagi waktu istirahat selesai."

Seungwoo langsung melahap makan siangnya tanpa jeda. Mau gimana pun dia juga laper btw. Ga sempat sarapan pagi ini karena buru-buru masak buat bekal Eunsang.

Arin benar-benar ga bisa menolak Seungwoo.

Hanya dengan melihat pria usaha pria itu membawakan makan siang dari kantin lalu mengajaknya makan bersama, membuat Arin tergerak untuk mengikuti permintaan Seungwoo dan mulai menyantap makanannya.

"Saya makan ya, dok."

Seungwoo mengangguk tanpa mengalihkan pandangannya dari makanan.

"Makasih dok." Cicit Arin lalu mulai melahap suapan pertama.

Malu. Arin betul merasa dirinya gatau malu. Dalam hati dia terus-terusan heran, kenapa dia selalu membuat Seungwoo melakukan sesuatu untuknya?

Apa ga ada yang betul-betul bisa dikerjakan sendiri selagi berada di sekitar Seungwoo tanpa membuat pria itu harus ikut campur?

Arin no clue.

***

"Kamu deket sama Hana?"

Arin sedikit beralih begitu Seungwoo angkat suara setelah selesai dengan makan siangnya. Tangannya buru-buru dia turunkan lalu mengusap kasar mulutnya yang berminyak.

"Awalnya cuma tahu aja, dok. Saya tahu kak Hana dari SMA, terus tambah kenal waktu sama-sama satu rombongan relawan tahun lalu."

Seungwoo mengangguk.

Ga nyangka kalo orang macam Arin kuat juga untuk ikut program relawan ke luar negeri.

Meskipun konsekuensinya Arin harus cuti satu semester, Seungwoo tebak Arin sepenuhnya menikmati waktu-waktu di sana. Hana pernah cerita soal itu kalo dia ga salah ingat.

"Dok, saya minta maaf."

"Hm? Apa?"

"Saya minta maaf waktu itu, saya kurang sopan."

Seungwoo melihat Arin tampak tak berani mengangkat kepalanya, menunjukkan kalo wanita itu benar-benar merasa tidak enak.

"Harusnya saya bisa kontrol emosi saya sendiri. Saya juga mau bilang makasih ke dokter atas sarannya waktu itu."

Seungwoo masih mendengarkan dan memandangi Arin yang tampaknya ga ada niatan  untuk memperlihatkan wajahnya barang sedikit saja.

"Sekali lagi saya minta maaf dok."

"Bukan. Ini bukan soal kamu ga bisa kontrol emosi kamu. Harusnya sebagai dokter, kamu bisa lebih tangguh untuk bertahan seberat apapun masalah kamu." Balas Seungwoo cukup serius.

"Kamu gatau ke depan akan ada masalah sebesar apa, kalo kamu di awal sudah menyerah, buat apa kamu susah-susah belajar di kedokteran? Ini ladang perjuangan, ga ada kata menyerah."

Seungwoo bisa melihat Arin semakin dalam menundukkan kepalanya.

Pikir Seungwoo, apa dirinya terlalu keras bicara soal itu?

Tapi dia ga salah untuk bagian ladang perjuangan. Jadi dokter kan memang harus punya dedikasi tinggi kan?

Wajar kalo para dokter harus berjuang mati-matian untuk memberi pelayanan pada pasiennya. Memang sudah itu tugasnya.

Mereka ga akan jauh dari kata-kata pengorbanan, terluka, beban, tangis.

"Dokter Arin, kalo lagi diajak ngobrol, kamu harus liat orangnya."

Seketika itu juga Arin mengangkat kepalanya, menghindari suasana yang akan jauh lebih buruk kalo dia ga menurut perkataan Seungwoo.

Seungwoo bisa melihat tatapan Arin yang menunjukkan sedikit rasa terpaksa dan bersalah. Entah apa yang membuat Arin terlihat begitu ringkih dimatanya, layaknya harus ditopang oleh orang lain untuk berdiri.

"Sekali lagi saya bilang, saya gatau masalah kamu sebesar apa. Tapi kamu harus kuat. Kamu pasti udah denger berkali-kali dari senior atau konsulenmu, jadi dokter itu harus punya mental baja."

Seungwoo menjeda kata-katanya sebentar sambil menusuk tatapnnya ke dalam netra Arin yang memperhatikannya.

"Kalo kamu ga bisa jaga diri sendiri, saya yang akan jaga kamu."






kyknya cerita ini selesai lebih lama ㅠㅠ

to be continued

After | Han Seungwoo ✔Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang