"Hai mah. Maaf Arin baru dateng."
Arin melepas topinya begitu memasuki ruangan serba putih yang tak besar itu. Rambutnya yang sengaja dia gerai, sedikit dia rapikan akibat angin sepanjang perjalanan menuju tempatnya sekarang.
"Mamah paling suka kalo rambutku gini kan? Arin juga bawain bunga buat mamah."
Arin meletakkan buket bunga yang dia bawa sepanjang perjalanan tadi di dekat si ibu. Dilihatnya senyum di wajah wanita paruh baya yang sekilas bisa dibilang mirip dengan garis wajah miliknya.
"Mamah ga capek apa senyum terus? Arin lebih suka mamah ikut Arin ke Seoul daripada di sini. Di sini rame, banyak orang."
Arin hanya memandangi wajah ibunya dengan kesal. Layaknya seoranga anak yang mengadu kepada orang tuanya.
"Mamah tau kan kalo papah nyuruh Arin buat tinggal serumah sama Rian sama mami? Arin ga suka kalo papah udah pura-pura perhatian kaya gitu. Harusnya papah lebih perhatian ke mamah daripada sibuk gangguin Arin terus."
Arin selalu saja merasa harus marah mengingat papah yang setiap hari, setiap pagi, memintanya untuk tinggal bersama dalam satu rumah dengan anggota keluarga yang lain.
Selama ini dia ga bisa menyalurkan perasaan marahnya, apalagi ke orang lain. Mereka pasti akan sulit memahami posisi Arin. Namun begitu di depan mamah, Arin merasa perasaannya sedikit lega.
Selesai marah-marah dan menceritakan semua kekesalan hatinya, mulai dari tentang rumah, sekolah, pekerjaan, bahkan soal prof Johnny, Arin melepas tawa renyahnya.
Melihat betapa konyolnya dia sekarang. Bercerita di depan sebuah guci berisi abu.
Tawa Arin memudar perlahan seiring kehampaan yang melandanya tiba-tiba. Wajahnya tertunduk cukup lama sebelum akhirnya kembali menatap satu kubik kecil tempat guci dan beberapa foto kenangannya bersama mamah berada.
"Sekarang udah setahun sejak mamah pergi. Meskipun Arin masih berharap mamah bisa balik kesini, Arin udah terbiasa ga ada mamah. Apa mamah udah biasa di atas sana?"
***
Seungwoo tampak berdiri di sebelah mobilnya dengan setelan rapi. Tatapannya sesekali ia lemparkan ke arah pintu masuk area pemakaman di daerah Gimpo untuk memastikan bahwa seseorang yang dia tunggu belum keluar dari sana.
Netranya sesekali menyipit karena sinar matahari pagi jelang siang yang cukup terik.
"Udah keluar belum ya? Orang kalo melayat ga lama kan biasanya?" Monolog Seungwoo sambil memperbaiki posisi jam tangannya.
Seungwoo ga yakin apa yang dia lihat tadi. Sekitar sejam yang lalu, saat dirinya keluar dari area pemakaman itu, tidak sengaja dia menangkap sosok yang terlalu familiar untuknya.
Rambut hitam panjang yang digerai, hanya terlihat sedikit berbeda karena dia mengenakan topi bisbol warna putih.
"Dokter Arin." Panggil Seungwoo cepat bersamaan dengan sosok itu keluar dari area pemakaman.
Tebakannya benar, pasti Arin akan terkejut melihat dirinya.
"Dokter Seungwoo? Dokter ngapain di sini?"
Arin benar-benar tidak bisa menyembunyikan keterkejutannya. Bagaimana bisa dalam wilayah korea selatan yang luas ini, dia bertemu dengan Seungwoo di satu titik terpencil seperti sekarang.
"Pasien saya meninggal setahun yang lalu dan dimakamkan di sini. Jadi saya kesini untuk menghormati beliau." Jawab Seungwoo.
"Oh."
Ada sedikit keheningan setelah Arin memberi respon atas jawab Seungwoo tadi. Buru-buru dia menyadarkan diri saat dilihatnya Seungwoo menggunakan isyarat tatapannya untuk menanyakan apa yang dilakukan Arin di sini.
"Eh, iya. Em, ibu saya juga dimakamkan di sini, dok. Jadi saya kesini setelah setahun kematian ibu saya."
Seungwoo mengangguk mendengar jawaban Arin.
Dalam hatinya, semakin banyak pertanyaan yang muncul begitu satu persatu fakta tentang Arin dia ketahui.
"Dokter Arin kesini naik apa?" Tanya Seungwoo.
"Ya?"
"Biar saya antar pulang. Naik bis dari sini ke Seoul lumayan jauh kan?"
votement juseyo 🙈
to be continued
KAMU SEDANG MEMBACA
After | Han Seungwoo ✔
Fiksi PenggemarArin yang awalnya asing dengan kebaikan dan perhatian, kini perlahan mulai membuka mata. Hati yang tulus dan gigih dari Han Seungwoo bisa melelehkan sisi Arin yang beku. Han Seungwoo AU 19.07.20 #3 seungwoo at 180822