Arin gatau, mau sampai kapan Seungwoo akan terus bersikap baik padanya.
Menurutnya, ini tidak sebanding dengan sedikit bantuannya untuk menjaga Eunsang sejak jam tujuh malam hingga pagi ini.
Seungwoo membawanya ke salah satu rumah makan tradisional yang menghidangkan aneka makanan laut segar, dan pria itu bilang, dia yang traktir.
Arin sempat menolak, tapi Seungwoo bersikuku. Wanita itu akhirnya menurut saja karena dia juga suka makanan laut. Arjn kalap kalo sama seafood.
"Disini bukanya malam sampai subuh aja. Makanya tempatnya agak sepi, tapi masakannya enak." Pamer Seungwoo.
Pria itu mulai mengaduk sup yang asapnya mengepul hingga aromanya menembus indra penciuman Arin. Rasa kantuknya seketika kalah dengan perut yang makin lapar.
"Dok, tadi malam Eunsang bilang laper. Karena saya ga punya apa-apa, dia juga gamau saya ajak ke kantin, jadi saya bikinin dia mi instan."
Seungwoo berhenti mengaduk sejenak setelah mendengar pengakuan Arin. Sementara si tersangka, langsung menunduk begitu mendapati Seungwoo menatapnya kaget.
"Gapapa. Biar sekali-kali dia tau rasanya mi instan." Balas Seungwoo santai lalu meraih mangkuk kosong di sebelahnya.
"Setiap hari Eunsang saya kasih makanan organik. Saya coba takar gizi sama kalorinya setiap saya masak."
Pria itu menaruh mangkuk yang kini sudah terisi sup hingga penuh di hadapan Arin, disusul semangkuk nasi hangat di sebelahnya.
"Kali aja dia bosan. Tapi tebakan saya, dia mungkin ga akan minta mi instan lagi begitu tahu rasanya sekali."
See?
Bahkan ketika Arin mengira Seungwoo akan sedikit marah mungkin, pria itu masih memperlakukannya dengan baik, nada bicaranya tenang dan terlihat tidak terganggu sama sekali.
Seolah itu bukan kesalahan besar, atau mungkin lebih tepatnya itu bukan salah Arin.
"Saya juga ga bawa Eunsang makan dulu sebelum visit. Jadi saya yang teledor. Maaf ya, kamu pasti bingung karena Eunsang bikin kamu repot."
Dok, tolong jangan bikin saya berharap
"Makan yang banyak. Kamu juga pasti ga sempat makan semalam."
***
"Kamu balik ke rumah sakit?"
Arin mengangguk. "Jadwal jaga saya mulai jam delapan dok. Jadi saya harus stand by di kantor."
Pria itu lalu berbelok ke arah kanan setelah lampu hijau menyala, dimana jika dia berjalan lurus akan membawanya pulang ke rumah.
Sekarang masih pukul enam lebih lima menit. Jalanan cukup lengang, dan langit masih petang.
Suasana pagi yang tenang, membuat perasaannya sedikit bahagia. Jarang pria itu menemukan waktu seperti ini untuk keluar rumah.
Biasanya dia akan berkutat di unitnya untuk beres-beres, masak, dan menyiapkan semuanya sebelum Eunsang bangun.
"Kalo kamu mau tidur dulu gapapa. Nanti saya bangunin kalo udah sampe."
"Saya gapapa dok. Udah biasa."
Asli, Arin ga enak hati banget.
"Oke. Kamu yang paling tau sama diri kamu sendiri."
Arin hanya diam, memperhatikan jalanan yang masih sepi sambil mendengarkan Seungwoo yang mulai bercerita.
Arin ga yakin, apa dia benar-benar ngerti dan paham tentang dirinya sendiri. Arin gatau apa yang diinginkannya untuk hidupnya mendatang.
Jadi dokter adalah sebuah pilihannya untuk mencari pengalihan atas rasa lelah batin dan bentuk pembuktiannya.
Sepanjang perjalanan menuju tempatnya sekarang, Arin menikmati setiap detik dia harus menghafal semua istilah medis, begadang untuk menyelesaikan penelitiannya, lari kesana kemari ketika seorang pasien perlu tindakan.
Arin enjoy it so much.
Tapi dia ga menyadari sisi lain dalam dirinya yang juga butuh tuntunan untuk ke depannya, saat nanti waktunya tiba dia bosan dan lelah dengan semuanya.
Arin masih meraba-raba.
".... mamahnya push dia untuk belajar, tapi anaknya ga keberatan ikut perintah mamahnya."
Sepenggal kalimat yang Arin dengar begitu dia sadar dari lamunannya. Pikirnya Seungwoo tengah bercerita tentang pasiennya.
"Saya jadi inget dulu jaman kuliah, saya pernah ketemu anak SMP yang dipaksa les sama bapaknya. Anaknya berontak banget dan keliatan ga suka sama perlakuan bapaknya." Lanjut Seungwoo.
Arin masih mendengarkan sambil sesekali menenangkan si sleeping boy, Eunsang, yang kadang bergerak dalam tidur di pangkuannya.
"Tapi begitu bapaknya tiba-tiba pingsan, dia langsung nangis ketakutan. Saya yang kebetulan lewat waktu itu langsung kasih CPR sama telfon 119. Bocah itu saya temani sampai ke IGD dan saya ajak ngobrol."
Tatapan Arin kini tertuju pada kaca spion depan yang membuat netranya bertemu dengan Seungwoo, tengah melakukan hal yang sama.
"Dia bilang kalo dia benci sama bapaknya."
Arin merasa terkunci dengan tatapan singkat Seungwoo. Waktu seketika berjalan sangat lambat, membuat setiap detiknya menjadi sangat terasa.
"But also she said that she loved her father and didn't want him to leave her."
sampe sini adakah sesuatu yg ganjil kah?
to be continued
KAMU SEDANG MEMBACA
After | Han Seungwoo ✔
FanficArin yang awalnya asing dengan kebaikan dan perhatian, kini perlahan mulai membuka mata. Hati yang tulus dan gigih dari Han Seungwoo bisa melelehkan sisi Arin yang beku. Han Seungwoo AU 19.07.20 #3 seungwoo at 180822