after (26)

329 62 6
                                    

biar ga lupa
votement juseyo 🙈


"Boleh lihat isinya ga?"

"Eh?" Arin sempat curiga kenapa Seungwoo minta dikasih lihat isi dokumen di tasnya. "Boleh aja."

Sampe akhirnya Arin paham ternyata Seungwoo nyari sesuatu di antara berkas-berkas sidangnya.

"Ini. Boleh minta satu ga?"

Salah gasi kalo Arin deg-degan cuma karena Seungwoo nyari pas foto sisa dia ngumpulin berkas sidang barusan.

Dan Seungwoo bilang pengen minta fotonya satu pake acara senyum plus penampakan dimple di wajah Seungwoo jelas keliatan banget.

Kalo gue udah nikah, apa ga sport jantung tiap hari coba?

"Buat apa dok?"

Tarik ulur dulu, biar ga dikira gampangan.

"Mau disimpen di sini." Balas Seungwoo sambil buka dompetnya di depan Arin.

"Jadi sekarang tiap mau ambil duit biar inget, kalo bentar lagi ada yang harus dinafkahi." Lanjutnya sambil ngasih wink ke arah Arin.

Salah besar Arin coba main-main sama Seungwoo. Yang ada malah dia dibuat pening dengan sikap absurd si bapak anak satu itu.

Absurd yang menggetarkan hati.

"D-dok. Jadul banget nyimpen foto di dompet." Protes Arin guna menutupi rasa gugupnya.

"Lagian saya juga gamau kasih beban ke dokter. Maksudnya, ya memang udah kewajiban suami buat ngasih nafkah istri, tapi ga sampe segitunya."

Tangan Seungwoo terangkat mengusap puncak kepala Arin. Gemas.

"Becanda, Rin. I never felt burdensome because of you. Saya ambil satu ya."

Dan Seungwoo bener-bener nyimpen foto Arin di dompetnya. Ditaruh di sebelah foto lama yang isinya ada Seungwoo sama Eunsang.

Arin cuma bisa ngintip sedikit. Dan yang bikin dia merasa ga enak adalah, lagi-lagi foto yang disimpan cuma foto Seungwoo berdua sama si anak.

Serius, Seungwoo ada masalah apa sama mantan istrinya sampe ga ada satu foto pun yang ditinggal?

"Rin. Kamu kan udah mau sidang, dua bulan lagi juga ujian nasional, berarti bentar lagi kuliah kamu selesai kan?"

Arin mulai memperhatikan begitu nada bicara Seungwoo berubah serius.

"Begitu kuliah kamu selesai, kita berdua bisa langsung nikah kan?"

Arin merasa sekujur tubuhnya menegang.

Padahal dia udah berkali-kali bahas ini sama Seungwoo tapi kenapa Arin merasa respon tubuhnya masih saja kaget seolah ini pertama kali dia denger si pria ngomong begitu.

"Saya tanya gini biar kamu bisa yakin. Saya ga tenang liat kamu diem habis ketemu mama dua hari lalu."

Arin tebak Seungwoo pasti juga kepikiran soal diamnya dia selama dua hari terakhir.

Diam di sini maksudnya, mereka berdua tetap saling kontak tapi Arin belum mau bahas tentang obrolannya sama mama Seungwoo.

Bukannya Arin gamau ngomong ataupun cerita. Dia masih bingung kemana dia harus cari jalan tengah.

Dia dibenturkan dengan dua argumen yang berlawanan tapi harus segera diputuskan dengan penuh kehati-hatian.

Her dad wants the marriage held soon so they can free from the threat. But in the same time, she was not prepared yet.

"Saya tuntun kamu pelan-pelan biar kamu bisa ngerti. Saya tahu pernikahan itu berat, tapi kalo kamu mau yakin, saya pasti bantu kamu."

Arin mungkin ga akan akan sebingung ini kalo papahnya ikut membantu. Tapi fakta bahwa papahnya adalah orang super sibuk yang bahkan untuk ngobrol ketemu pun harus dini hari, membuat Arin cari jalan keluar sendiri, untuk sementara ini.

"... kalo memang kamu ga bisa nikah segera, papah akan cari jalan lain supaya kamu tetap aman dan orang-orang proyek ga ada yang dirugikan ..."

Arin akui memang papah adalah sosok keras dalam mendidik anak supaya bisa jadi cita-cita orang tuanya, dan Arin ga suka cara didikan papah.

Tapi kalo inget kata-kata beliau, Arin baru paham definisi satu kalimat yang pernah dia pelajari waktu jam pelajaran tata krama di SMP. Detik ini juga dia ga mau kehilangan papahnya juga.

Seorang ayah akan berkorban apapun demi anaknya.

"Dok, bantu saya." Pinta Arin pelan sambil meraih kedua tangan Seungwoo dalam genggamannya.

Meskipun suara Arin terdengar stabil dan tenang, tapi Seungwoo tau kalo Arin sedang ketakutan.

Terasa dari genggaman tangan Arin yang mengenai kulitnya. Dingin, dan gemetar.

"Tolong bantu saya yakin, that marrying you soon is the best way." Lanjut Arin.

Seungwoo awalnya merasa ga ada yang salah sama pernyataan Arin. Dia juga sudah bersedia membantu sesuai apa permintaannya.

Tapi begitu diresapi sekali lagi, Seungwoo merasa ada yang ganjal. Keningnya mengernyit.

"Rin, bentar, dengerin. Saya pasti bakal bantu kamu. Pasti. Karena ini udah jadi visi kita berdua."

Seungwoo memberi jeda untuk memastikan kalo memang ada yang ganjil di sana.

"Tapi barusan kamu bilang 'soon'? Segera? Saya ga salah denger kan, Rin?"

"Awalnya saya juga ragu, dok. Tapi... ya. Segera. Tolong nikahi saya segera, dok."

Seungwoo gatau dia harus bereaksi gimana. Seneng kah? Bahagia? Kaget? Atau panik? Karena ini mendadak banget.

"Rin, serius kamu? Kenapa tiba-tiba kaya gini?"








 
  

 





 



 




 

 

 

  

 

 

"Code blue, code blue. Perawatan intensif ortopedi. Code blue."














Keduanya lantas kompak menoleh acak begitu suara pemberitahuan berdengung di seluruh bangunan rumah sakit.

Seungwoo menunduk geram lalu melepas tautan tangannya dari genggaman Arin perlahan.

Kenapa di waktu penting kaya gini malah code blue, ortopedi pula!

"Ish! Rin. Selesai shift, tunggu saya di ruangan kamu. Jangan kemana-mana. Oke?"

Selanjutnya Seungwoo sempatkan mengusap kepala Arin sebelum akhirnya melesat lari ke dalam gedung dengan langkah kakinya yang panjang-panjang.

Meninggalkan Arin yang masih merapal doa berharap keputusannya bukan keputusan yang salah.

si arin kayanya udah gila
yang nulis juga :'

After | Han Seungwoo ✔Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang