after (10)

294 58 2
                                    

"Tiap hari aku ga bisa tidur nyenyak gitu te. Soalnya tengah malam pasti kebangun gara-gara papah."

Arin mungkin udah biasa dengerin Jiho curhat soal kerjaannya, soal hubungan asmaranya, atau soal circle-nya di lingkungan para pelaku seni peran.

Tapi baru kali ini Arin dapat perspektif lain. Cerita dari anak yang besar dengan bapaknya seorang diri.

"Dulu waktu masih ada tante Hana, kalo aku gabisa tidur, papah biasa manggil tante Hana terus kepalaku dielus sampe aku ngantuk dan bangun-bangun udah pagi. That's really something. Papah ga pernah bisa bikin aku ngantuk, te."

Sedikit Arin tau soal hubungan Hana sama Seungwoo. Apalagi kalo bukan dari obrolan dokter-dokter residen waktu jam makan siang.

Bukan maksudnya Arin ikut jadi peserta gibah siang, tapi eksistensi mereka ini, para penggibah, yang terlalu menonjol, selalu membuat Arin mau gamau diseret juga ke dalam sana oleh kawan residen yang lain.

Tapi dia hanya diam. Mendengar sesekali kalo dia udah kelewat bosan dengan hidup dan makan siangnya.

"Tapi begitu tante Hana pindah keluar negeri, huft, aku cuma bisa pura-pura tidur sampe papah keluar kamar. Dan setelah itu, kalo udah jam satu, jam dua, aku denger papah nangis."

Fakta mengejutkan. Arin ga kebayang seseorang yang dia pikir tangguh dan kuat kaya Seungwoo, juga punya sisi rapuh.

Detik itu juga dia merasa bersalah karena pernah sedikit memaksa untuk minta diperhatikan oleh si dokter anak satu itu.

Tapi memang Seungwoo benar-benar bisa diandalkan. He has a warm heart. Dan itu diakui semua orang yang mengenalnya.

Hampir satu rumah sakit, kalo ditanya 'tahu dokter Seungwoo?' pasti kebanyakan akan balas dengan wajah berseri dan netra berbinar 'oh, yang dokter bedah tulang? Yang bbuuaaiik banget itu?'.

Orang-orang membuat kesimpulan tentang karakternya.

"Papah nangis?" Arin mengulang ucapan Eunsang dan dibalas anggukan bocah itu.

"Aku selalu pengen nyamperin papah, tapi takut papah nanti tambah sakit. Maksudnya gimana ya, emm aku bingung jelasinnya ke tante."

"Take it slowly. Tante dengerin kamu satu-satu."

Bocah itu meneguk segelas susu di meja setelah Arin menuangkannya.

Arin memperhatikan gerak Eunsang yang keliatan tenang tapi dalam hati ada yang mendorongnya untuk segera menyelesaikan ini.

"Tante tau kan kalo mamaku kerja di luar negeri?"

"Emm. Kamu pernah bilang waktu itu."

"Tante juga tau kan kalo papah sama mamaku udah lama cerai?"

"Ya, waktu itu kamu nulis surat bareng tante."

"Nah, itu. Aku takut kalo papah itu kesusahan terus sampe nangis diam-diam itu gara-gara aku."

Rasanya Arin pengen peluk Eunsang sekarang juga.

"Kalo liat papah nangis tuh, aku pengen nemenin papah biar ga sedih."

"Tapi aku jadi mikir lagi, papah rawat aku sendirian dari aku kecil, bayi, sampe sekarang aku mau kelas tiga. Tiap pagi papah udah sibuk masak, beresin rumah, siap-siapin barang sekolah, pokoknya papah sibuk sendiri gitu lah."

Eunsang mencomot sekeping biskuitnya.

"Kayanya kalo aku ga lahir, papah ga akan sesusah itu deh, te."

Itu juga yang pernah Arin pikirkan soal hidupnya.

Saat semua remaja berlomba-lomba mengejar hidup biar jadi orang sukses, dia berasa seperti mayat hidup yang dipaksa papahnya untuk melakukan banyak hal.

Jelas alasannya, semua itu untuk kebaikan dirinya. Tapi siapa yang sangka kalo si jenderal sedang mempersiapkan anaknya untuk jadi penerus karirnya di bidang militer.

Tapi Arin menolaknya mentah-mentah.

Saat dua belas tahun, Arin pernah berpikir, lebih baik dia hilang dari dunia, daripada harus bikin bapaknya pusing kepala sampai sakit jantung akut karena anaknya yang bandel dan gamau menurut bapaknya.

Bullsh*t. Arin sepenuhnya setuju.

Tapi kenapa dia jadi merasa menyesal pernah berpikiran macam itu setelah Eunsang yang bilang? Bukannya Seungwoo akan jadi sedih kalo tau Eunsang berpikir kaya gini.

"Are you okay?" Tanya Arin saat Eunsang berubah ekspresi jadi lesu.

Entah sedih atau apa, bocah itu jadi diam bahkan menatap depan pun ga sanggup. Malah sibuk bermain jarinya yang menggenggam sisa biskuit hingga beberapa saat.

"Tante ga yakin kalo papah susah gara-gara kamu. He's very grateful for you. Papah selalu jadikan kamu prioritas pertama."

"Is it true?"

"Um. Papah mungkin emang ga pernah ngomong kaya gitu. Tapi keliatan kan, dari cara papah rawat kamu tiap hari, gimana menyesalnya papah pas tau gabisa janji ke kamu, he couldn't say it, but he did express it."

Hampir sepuluh bulan mengenal sosok Seungwoo, bukan sepenuhnya Arin bisa paham kepribadiannya. Tapi Arin mungkin setuju dengan kata-katanya barusan.

Seungwoo mungkin ga bilang kalo dia lagi seneng atau excited, tapi sikapnya yang tiba-tiba ajak traktir orang satu tim, satu departemen. Atau saat dia kasih kado ke orang lain, udah jelas itu menunjukkan kalo dia perhatian.

Seungwoo juga mungkin ga bilang kalo dia lagi sedih, tapi dia prefer untuk diam, tak banyak bicara, dan menghindar dari sosial untuk sementara.

Arin jadi bertanya, selama ini gimana caranya Seungwoo mengobati dirinya sendiri.

"He really care about you. Sang, sekarang gini. Gimana kalo kamu bikin kesimpulan, senengnya papah itu jadi semangat kamu, dan sedihnya papah jadi pengingat kamu, biar kamu bisa jadi orang yang lebih baik."

Bocah itu menggeleng. "Aku gak paham te."

Arin mengguruk sebelah pipinya sendiri. Dia juga jadi bingung deh.

"Jadi sekarang, kamu jangan lagi kepikiran kalo papah sedih gara-gara kamu, oke? He just express his feeling. Mungkin papah memang lagi pengen sedih biar bisa seneng lagi."

Arin gatau apa yang di pikiran bocah itu. Bukannya menanggapi kata-katanya, Eunsang malah naik ke sofa dan duduk di sebelah Arin. Menaruh bantal di pangkuan rekan bapaknya itu lalu tiduran di sana.

Arin terpaku.

"Te, kalo tante elus kepalaku sampe aku tidur, kayanya sarannya tante bisa masuk ke otakku deh."






eunsang kenapa si jadi kaya gini -_-
papamu mau debut solo lho sang

After | Han Seungwoo ✔Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang