L I M A

684 122 38
                                        

Sejak hari itu Nara terus merasa gusar. Ia yakin pasti hidupnya tidak akan aman dan tentram lagi. Memikirkannya saja ia sudah tak sanggup. Ingatannya kembali melayang pada hari itu.

*Flashback on

"Iya, Nak Alrich. Benar yang di katakan oleh Bu Tania. Dan Ibu juga merasa kalo ibu semakin menua baik dari tenaga maupun pemikiran ibu sudah tidak semaksimal dulu. Maka dari itu ibu mempercayakan Nara untuk membantu Nak Alrich mengurus panti ini"

"APA?" pekik Nara.

"Maaf Bu, saya ga bisa. Permisi," pamit Nara.

Melihat kepergian Nara, Bu Andin segera menyusulnya. Ia tidak tahu mengapa Nara menolaknya padahal waktu itu Nara sudah setuju tentang ini.

"Nara, tunggu Nak!" panggil Bu Andin.

Nara menghentikan langkahnya.
"Maaf Bu, tapi Nara ga bisa," ucapnya sambil menghela nafas.

Bu Andin mengusap lembut pipi Nara, ia tahu betul ada yang sedang di pikirkan oleh gadis manis yang telah ia anggap seperti anaknya sendiri.
"Ada apa Nara? Coba cerita sama ibu kalau kamu ada masalah, Nak," ucap Bu Andin mencoba menenangkan.

Terdengar helaan nafas Bu Andin.
"Nara, coba pandang Ibu!"

Nara hanya terdiam sambil menuruti perkataan Bu Andin. Ia bisa melihat dengan jelas guratan sendu di wajahnya. Kerutan - kerutan yang semakin bertambah, namun selalu memancarkan senyum yang tak pernah hilang. Senyum tulus yang selalu ia berikan untuk Nara sejak dulu.

"Setiap hari Ibu semakin tua. Dan sangat tidak memungkinkan lagi untuk Ibu bisa mengelola Panti ini sebaik dulu. Selama ini cuma kamu yang menemani Ibu buat mengurus semuanya. Kamu itu sudah seperti anak Ibu sendiri, maka dari itu Ibu hanya bisa mempercayakan Panti ini sama kamu, Nak. Harapan Ibu, kamu bisa meneruskan perjuangan Ibu disini. Ibu tau kamu juga memiliki permasalahan yang berat. Tapi ibu percaya kamu pasti bisa melewati itu semua, dan kamu bisa mencurahkan kasih sayang kamu sama adik-adik Panti disini. Itu akan sedikit mengobati luka hati kamu, Nak," tutur Bu Andin.

Mendengar itu Nara sadar bahwa ia sudah egois dengan menolak keinginan Bu Andin. Mengingat setiap kasih sayang yang sudah beliau berikan padanya sejak dulu, rasanya akan sangat keterlaluan jika ia menolak keinginannya hanya karna kepentingannya sendiri. Lagi pula waktu itu ia juga sudah setuju untuk menggantikan Bu Andin mengurus Panti ini.

"Maaf, Bu. Nara ga bermaksud buat nolak keinginan Ibu. Nara mau kok gantiin Ibu buat ngurus panti ini," ucap Nara sambil tersenyum.

"Dengan nak Alrich?" tanya bu Andin memastikan.

Nara terdiam cukup lama lalu akhirnya ia mengangguk pasrah.
"Iya bu. Demi Ibu dan anak-anak Panti."

"Terimakasih Nak," ucap Bu Andin seraya memeluk Nara.

*Flashback off

Tiba - tiba ponsel Nara berdering membuatnya tersadar dari lamunan.

"Halo, Ma."

"Buruan dateng ke lokasi yang udah Mama kirim!"

"Tapi Ma-"

Tut.. Tut.. Tut..

Hatinya kembali mencelos. Air matanya berhasil lolos keluar. Mengapa ia selalu di perlakukan layaknya anak tiri? Tak bisakah mereka menunggunya sebentar saja untuk berangkat bersama? Sehina itu kah dirinya?
Nara menghapus air matanya kasar lalu segera bersiap untuk menghadiri pesta itu.

Malam ini Nara terlihat sangat cantik mengenakan dress hitam selutut. Ia memoles wajahnya sebaik mungkin agar orang lain tidak bisa melihat raut kesedihan itu.

HILANG [Segera Terbit]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang