Part 21

1.6K 307 21
                                    

Suasana koridor lantai dua begitu hening, saat Flora berjalan di koridor ia bisa mendengar derap kakinya sendiri saking heningnya. Hening bukan berarti tidak ada orang, ada beberapa yang dirawat di balik pintu. Tetapi entah kenapa ia merasa tidak ada kehidupan di sini.

Kini ia sedang berjalan menuju ruangan pasien yang akan ia tangani, ia sudah mengenakan pakaian yang layak nan bersih bagai tenaga medis sungguhan. Teman-temannya, Master termasuk si prajurit tadi sudah menunggu di depan ruangan pasien.

Mereka menatap Flora ragu, tetapi pandangan Flora justru tidak berfokus kepada mereka tetapi kepada Hayden dan Master. Entah kenapa sorot mata yang mereka berdua pancarkan seolah berkata bahwa mereka memercayai Flora sepenuhnya. Itu sedikit membuatnya lega.

Flora mengerti pasti teman-temannya mengkhawatirkan kondisinya, Flora juga ingin berterima kasih soal kepedulian mereka padanya.

Tanpa banyak basa-basi, Master mengangguk sambil menatap Flora. Memberi isyarat bahwa mereka akan segera masuk. Si prajurit menunduk sambil duduk di kursi panjang di luar ruangan. Ia tidak memandang Flora, tetapi Flora yakin si prajurit menaruh harap padanya.

"Selamat berjuang." Itulah gerak bibir Hayden sebelum Flora masuk tanpa mengeluarkan suara.

Flora tersenyum tulus sekilas sebelum menutup pintu.

*

Mengerikan.

Belum saja operasi dimulai tetapi ia sudah berdecih. Darah-darah di sekitar luka mengaga pasien belum dibersihkan sedikit pun. Darahnya masih mengalir deras, di samping itu tulang kaki salah satu pasien terlihat akibat sobek oleh reruntuhan.

"Aku akan membasuh darah yang masih mengalir ini," ucap Master.

Total pasien di ruangan ini ada tiga, yang kemungkinan adalah ayah, ibu dan adik dari prajurit itu. Semuanya mengalami luka yang cukup parah, dan ayahnya lah yang menurut Flora paling parah.

Ia menghela napas kemudian segera mencepol rambut dan mengenakan sarung tangan medis sebelum operasi dimulai. Eh? Bahkan dia belum pernah menangani operasi sebelumnya.

"Master, kenapa kau berkata kita tidak butuh bantuan?" lirih Flora sambil melipat baju di tangannya.

"Karena ... ini bukan pengobatan biasa," jawabnya serius sambil terus membasuh darah-darah yang sudah kering.

Flora ber-oh ria dan tidak banyak bertanya lagi. "Baiklah, apa yang harus aku lakukan?" tanya Flora mulai serius.

"Hanya menyiapkan tiga mangkuk yang diisi dengan air penyembuhmu dan tiga mangkuk kosong lainnya."

Dengan sigap Flora mendekati lemari yang ada di pojok ruangan, meja kecil dengan alat-alat medis yang berasal dari rumah sakit, tebaknya. Sungguh, Flora penasaran dengan apa yang ada di otak Master, tetapi keadaan tidak memungkinnya untuk bertanya.

Flora segera kembali dengan membawa enam mangkuk putih itu, ia menaruh di atas nakas di samping pasien lelaki paruh baya. Kemudian ia mengisi tiga mangkuk dengan mengalirkan air penyembuhnya oleh tangannya.

"Sudah," ucapnya.

Master Silas merogoh sesuatu dari saku celananya, sebuah botol. Sebuah botol yang berisi serbuk yang tidak Flora ketahui. Ia menabur sedikit serbuk itu pada mangkuk yang berisi air. Seketika Flora terhenyak ketika mendapati air di mangkuk itu sedikit berkilau.

"Kalau tadi aku tidak memutuskan untuk ikut, kau mau melakukan apa untuk pasien ini?" tanya Master di tengah-tengah proses perubahan warna air itu.

"Tentu menggunakan air penyembuh, tapi tetap dibantu para medis lainnya. Aku akan menyelundupkan air penyembuhku di antara air infus misalnya," jawab Flora. "Walaupun tidak akan berguna banyak sih, karena luka ini sudah tampak parah," lanjutnya sembari melihat kondisi luka pasien.

The Chosen Eyes ✔️Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang