"Tangkap mereka!" komando salah satu prajurit.
Erika dan Mou masih terkunci di posisi sebelumnya yang terkepung dari segala arah. Otak Mou sedang buntu, namun tampaknya Erika lebih tenang dibandingkan dirinya. Tidak ada ketegangan di wajahnya padahal Mou tahu betul kalau rekan satunya itu adalah tipe orang yang selalu panik.
Saat para prajurit hendak melayangkan serangan bersamaan, Erika merogoh sesuatu dari kantung kecil yang tergantung di pinggangnya lalu ia lemparkan ke sembarang arah.
Seketika ruangan di mana mereka berpijak itu menjadi ruangan yang dipenuhi oleh asap. Para prajurit yang sebelumnya sudah siap menyerang menjadi terbatuk-batuk dan berjatuhan satu-persatu.
Dalam kesempatan itu, Erika menarik lengan Mou untuk menjauh dan tetap fokus pada tujuan mereka tanpa melukai siapa pun. Namun ternyata, masih banyak prajurit-prajurit yang masih terjaga dan sudah mengetahui kedatangan mereka.
Mereka berdua tetap berlari sambil menebarkan bola-bola putih milik Erika tanpa menghiraukan serangan atau kejaran dari musuh. Mereka sudah berjanji pada Master untuk tidak melukai siapa pun kecuali di saat yang benar-benar terdesak.
Kedua pasang mata mereka terfokus pada gerbang yang terbuka lebar. Gerbang itu berada di jarak 300 meter dari posisi mereka saat ini. Mou menerka gerbang itu terbuat dari baja.
"Itukah gerbang yang kau maksud? Benda itu ada di sana?" tanya Erika di sela-sela pelariannya.
Mou mengangguk. "Tapi tempat di mana benda itu berada adalah pintu selanjutnya."
"Apa? Jadi di balik gerbang itu ada gerbang lagi?" tanyanya terkejut.
"Benar. Dan yang lebih sulit adalah, kita harus menutup gerbang pertama agar lebih mudah mencapai gerbang ke dua."
Erika mendengus kesal. Mou tidak memberitahu informasi penting ini sebelumnya sehingga ia tidak mempersiapkan rencana ini. Pintu itu akan tertutup jika ada salah satu dari kita yang harus menggerek tali yang terburung dengan gerbang itu agar tertutup.
"Maaf aku tidak memberitahumu sebelumnya."
Tanpa pikir panjang, Mou mengambil alih kembali posisi Erika yang semula berada di depannya dan merebut kantung kecil miliknya.
"Hei?!" protes Erika.
Mou yang tidak menghiraukan protesan Erika lantas meniru apa yang ia lakukan sebelumnya.
Bukan ide yang bagus, memang. Namun bagaimana pun mereka harus menghindari pertarungan atau pertumpahan darah sebelum hari pelantikan dimulai.
"Kau teruslah berlari dan kita akan bertemu di balik gerbang pertama, ya!" teriak Mou saat ia tiba-tiba berhenti berlari dan membiarkan Erika berlari sendiri. Menghadapi para prajurit yang mengejar mereka dari belakang sendirian.
Erika ingin membantah namun situasinya tidak memungkinkannya untuk membantah. Mau tidak mau, ia menuruti perintah Mou walaupun ia sangat keberatan.
Namun ternyata rencana mereka untuk berpisah salah besar, langkah mereka justru semakin sulit. Para prajurit bertambah dan menghadang jalan Erika. Mereka datang dari cerobong asap darurat yang menghubungkan ruangan ini dengan halaman. Mou dan Erika sepertinya tidak pernah menduga hal ini sebelumnya.
Dengan jumlah yang tidak seimbang itu, Erika mengalami kebimbangan yang sangat besar. Di belakang sana, Mou sedang susah payah mengurus para prajurit dengan sisa bola-bola lilin. Ia harus memutuskan sesuatu.
Dalam keadaan yang sangat terdesak ini, akhirnya Erika memutuskan...
"Maaf Master!" lirihnya.
Ia merentangkan tangan kanannya dan menciptakan pedang dari kayu oleh elemen miliknya. Erika tersenyum kecil, walau hanya dengan pedang kayu, ia merasa yakin bahwa dirinya bisa melakukan ini.
KAMU SEDANG MEMBACA
The Chosen Eyes ✔️
FantasyFollow sebelum membaca ya! ^^ Fantasy-Minor Romance Dia adalah orang diramalkan, tapi takdirnya begitu membingungkan. Apakah ia akan terjebak dalam iris matanya yang hitam dan membuat kehancuran? Atau menciptakan kedamaian dengan iris matanya yang b...