Tidak jauh dari lokasi gubuk tua yang sudah hampir roboh, berdirilah bangunan tua yang tak kalah gelap dan kelam nuansanya. Tempat yang sudah mereka tempati sejak dua tahun terakhir, mendadak sepi sejak insiden baru yang diperkirakan akan datang dalam beberapa hari ke depan.
Anggota yang seharusnya berjumlah delapan dengan satu pemimpin itu terpaksa harus berpencar demi sukseknya rencana. Tak pernah disangka sebelumnya, waktu dua tahun terasa lebih cepat. Sebentar lagi, anggota mereka akan kembali berkumpul seperti dahulu.
Pagi ini, bangunan itu akan segera didatangi oleh tiga orang yang sudah lama belum menginjakkan kakinya di sana.
"Tiga orang," lirih Mou yang sedang berkutat dengan pena dan kertasnya di atas meja kerja kesayangannya.
Tere, Am, Az, dan Aron yang sedang bersantai di ruang tengah refleks melirik pada Mou yang bergumam sendiri. Saat itu pula pintu di mana mereka berkumpul terbuka, Mou sudah menduga kalau mereka akan datang di saat-saat genting seperti ini.
Ia sudah tahu apa yang terjadi di luar sana, maka dari itu ia sangat momen ini.
"Lama sekali tak berkunjung, mau membiarkan kami berlima berjuang sendiri, huh?" ledek Mou, tangannya masih bergulat dengan pena dan kertas yang di atas mejanya.
Hanya dua orang ternyata.
"Sama sekali tak berubah, Mou," cibir orang yang baru saja melepas topeng dan jubahnya, membuat rambutnya yang panjang kembali terurai. Di mata Mou, gadis itu sudah mengalami banyak perubahan sejak terakhir kali mereka bertemu.
Sementara rekannya yang lain masuk tanpa mengatakan sepatah kata pun dan memilih berbaring di teras, samping Az dan Am.
"Tinggal dua orang lagi, baru bisa dikatakan lengkap," celoteh Mou.
Tere yang tampak terkejut degan kedatangan rekan satu gender-nya seketika membuang begitu saja sifat juteknya, digantikam dengan raut senang yang jarang ia tunjukkan pada manusia-manusia di sekitarnya ini. Ia tanpa basi-basi menyambut mereka dan memeluk gadis itu, Erika.
"Hei hei! Selamat datang kembali, Er! Akhirnya aku bukanlah satu-satunya perempuan lagi di sini," sambutnya antusias.
"Pasti sangat merepotkan bukan menghadapi manusia-manusia keras kepada seperti mereka, Tere?" kekehnya dan membalas pelukan Tere.
"Tentu, kepalaku rasanya ingin pecah karena mereka sangat sulit diatur. Mereka jarang sekali membantuku untuk membereskan rumah ini," keluh Tere yang membuat Erika menatap tajam lelaki-lelaki di depannya.
Erika, bisa dikatakan kedudukannya sama seperti Mou. Mereka berdua bekerja langsung di bawah pemimpin mereka dan juga termasuk anggota terlama sekaligus tertua dari anggota yang lain, maka dari itu mereka berdua begitu ditakuti oleh anggota yang lain.
Erika melotot. "Kalian ini, tidak bisakah tidak memperlakukan perempuan seolah tukang masak atau tukang beres-beres?!"
"Maafkan kami, Er. Berhentilah marah-marah, kau akan cepat tua jika terus seperti itu," timpal Mou polos.
Erika menatap Mou dengan sengit namun kemudian menghela napas berat dan mengalihkan kembali pandangannya kepada Tere. "Aku meminta maaf atas perlakukan mereka padamu, Tere. Aku pastikan setelah urusan ini selesai, mereka akan mendapat balasannya."
Mereka semua menatap Erika dengan horror termasuk Mou. Sikapnya yang tegas dan bijak tiba-tiba lenyap begitu saja saat Erika ada bersamanya. Ia kalah sadis jika dibandingkan dengan gadis satu itu.
"Ngomong-ngomong, bukankah seharusnya kalian berjumlah tiga orang?" sela Az mengingat prediksi Mou beberapa saat lalu.
"Ah, ya. Dia sedang memastikan sesuatu di depan sana. Ia akan segera kembali," jawab Erika.
KAMU SEDANG MEMBACA
The Chosen Eyes ✔️
FantasyFollow sebelum membaca ya! ^^ Fantasy-Minor Romance Dia adalah orang diramalkan, tapi takdirnya begitu membingungkan. Apakah ia akan terjebak dalam iris matanya yang hitam dan membuat kehancuran? Atau menciptakan kedamaian dengan iris matanya yang b...