Penjara bawah tanah.
Bulu kuduk Flora berdiri, badannya mati rasa, matanya seakan ingin menggelinding saat melihat pemandangan yang tak pernah ia bayangkan sebelumnya. Manusia—bahkan ia ragu apakah mereka masih menyandang gelar manusia atau tidak— dengan rupa yang mengerikan sedang menatap Flora seakan ingin menerkamnya saat itu juga.
Mereka berada di balik jeruji besi dengan borgol yang mengunci leher, kedua tangan dan kaki mereka. Kulit mereka pucat, hampir semua tahanan yang ia lihat sudah tak berdaging lagi saking kurusnya. Nyaris tidak ada perbedaan antara tahanan yang tergolong muda ataupun tua, mereka semua tampak sama. Sama-sama mengerikan dan mengenaskan.
Tidak ada kesempatan untuk kembali ke istana, ia sudah menjadi pusat perhatian mereka dan memalukan rasanya jika ia harus kembali tanpa melakukan apa pun.
Mereka menatapnya seolah memohon sesuatu, tetapi harsat kebencian mereka tak kalah besar dibanding meminta pertolongan. Tatapan mereka membuat hatinya dipenuhi rasa takut dan waswas walaupun pada akhirnya ia memberanikan diri untuk masuk.
Rasa penasaran Flora yang terlalu besar bisa saja menghantarkan diri menuju ke lubang kematian. Ia tidak mengelak jika banyak sekali pikiran buruk yang terbesit di pikirannya, seperti; mereka yang tertahan di sini adalah penjahat kelas kakap yang mempunyai kekuatan di atas rata-rata yang bisa saja menyerangnya bahkan dalam terborgol sedikit pun.
Tidak aneh jika tidak ada yang berani menjaga di tempat ini, sebab para prajurit istana tentu tidak sebanding dengan kekuatan para penjahat kelas kakap. Ya, mungkin itu menjadi salah satu sebab kenapa tempat ini terlihat begitu lembab dan menyeramkan.
Semakin jauh ia melangkah, rasanya semakin banyak pula pasang mata yang mengintainya di balik jeruji. Bau busuk dan darah tiba-tiba menusuk hidungnya sehingga membuatnya mual. Tempat yang benar-benar tak layak untuk ditempati.
Seiring laju langkahnya yang semakin menjauh dan menjauh dari pintu, ia dikejutkan oleh suara pria dari dalam jeruji yang baru saja ia lewati.
"Siapa kau?" tanyanya dengan suara berat. Suara pria, tentu.
Refleks Flora memasang tameng es, berjaga-jaga jika saja ia diserang dari dalam.
"Kau yang siapa?" tanya Flora balik dengan mata menyipit dan mengarahkan obor di tangannya pada sumber suara.
Di balik jeruji satu itu, tampak seorang pria yang sedang duduk santai membelakangi Flora. Anehnya, ia tidak sendiri. Ia bersama seorang wanita dengan posisi sama-sama membelakanginya, namun wanita itu tidak mengatakan sesuatu.
Pria itu tertawa kecil. "Aku ... seorang penjahat, tentunya."
Ck. Flora berdecih.
"Lebih baik kau tidak mengetahui aku karena kau dan kemungkinan besar teman-temanmu akan mati sebentar lagi, setelah pelantikan selesai," balas Flora. Ketakutannya seperti menguap begitu saja dan memilih untuk menantang.
Tiba-tiba ia tertawa kecil lalu diikuti oleh tahanan lainnya, seolah meledek Flora. Tawa kecil mereka yang dilakukan bersama-sama membludak sehingga mencipta suasana penjara sedikit ramai. Flora marah dibuatnya.
"Hati-hati wahai anak muda, kami adalah penjahat kelas kakap. Kami bisa menyerangmu kapan saja bahkan saat tubuh kami diborgol sekalipun," jawab pria tadi dengan ucapan yang meyakinkan.
Flora berdecih, ia bisa membayangkan seperi apa raut wajah orang yang sedang mengancamnya. Wajah pucat yang sama putus asanya dengan lain, namun mencoba terlihat kuat untuk menutupi keputus asaan.
Lucu sekali.
"Itu hanya omong kosong," hardik Flora. "Kalian hanya putus asa dan berpura-pura senang seakan-akan kesenangan yang kalian miliki akan membuat hidup kalian lebih lama, bukan? Tenang saja, penderitaan kalian akan segera berakhir, sebentar lagi," tegas Flora.
KAMU SEDANG MEMBACA
The Chosen Eyes ✔️
FantasyFollow sebelum membaca ya! ^^ Fantasy-Minor Romance Dia adalah orang diramalkan, tapi takdirnya begitu membingungkan. Apakah ia akan terjebak dalam iris matanya yang hitam dan membuat kehancuran? Atau menciptakan kedamaian dengan iris matanya yang b...