13∆ Dissapointed

1.3K 181 0
                                    

BTS – The Truth Untold

“Hanya bisa pasrah dan berharap pada secercah harapan yang akan menjadi jalan keluar pada setiap permasalahan.”

~~~~~~~

Kecewa.

Satu kata yang menggambarkan suasana hati Arlin. Entah kenapa perasaan itu muncul ketika membayangkan pernikahan yang semakin dipercepat. Negosiasi tidak menjadi jalan yang ampuh untuk kedua belah pihak.

Keluarga dari kedua belah pihak sudah berkumpul di salah satu restoran mahal yang ada di Jakarta. Semua orang tampak senang.

Keluarga mertuanya begitu ramah, baik dan sopan. Bahkan wanita paruh baya yang berpakaian anggun itu memeluk Arlin dengan gembira seolah sudah lama tidak bertemu.

Dia tidak mampu membantah ucapan sang kakek. Jangankan dia, ayahnya saja tidak berani, apalagi dia.

“Bagaimana semuanya, suudah sepakat dengan keputusan ini?”

“Apa ini tidak terlalu cepat?”

Pertanyaan itu berasal dari Arlin.
Nenek dengan semangat menjawab pertanyaan cucunya yang paling pintar diantara semua cucunya.

“Apakah kamu keberatan Arlin?” Arlin menggeleng dengan pelan

“Lalu kenapa kau menunda hal baik ini? Tidakkah kau senang saat melihat nenek dan kakekmu senang. Jangan menunda hal yang sudah dipersiapkan dengan matang Arlin.”

Kakek Arlin bertanya dengan begitu senang. Semua orang mengangguk dengan senang tidak terkecuali Ardi. Arlin hanya tersenyum dengan sekenanya. Dia hanya berharap semua keputusan ini memang benar dan baik.

“Kak ini suamimu mana?”

Ardi berbisik pelan di telinga Arlin.

“Di depan ini.” Arlin menunjuk seseorang yang berada tepat di depannya menggunakan isyarat dagu.

Ardi menatap Arlin dengan tidak percaya, dia menutup mulutnya dengan kedua tangan. Pandangan Ardi fokus kepada seorang cowok yang sedari tadi hanya diam menikmati hidangan dengan hikmat.

“Kakak kenal?” Ardi bertanya dengan kepo.

“Molla.”

“Jinjja?”

“Nde.”

Arlin tidak menanggapi Ardi, dia melanjutkan makan dan tidak ambil pusing soal perjodohan ini. Entahlah, sepertinya dia telah pasrah. Sedangkan Ardi menggelengkan kepalanya kagum terhadap cowok di depannya.

Hidung mancung, rahang tegas, alis tebal dan mata hitamnya yang tajam. Mungkin cewek lain akan berteriak heboh jika bertemu dengannya. Tapi tidak dengan kakaknya, Arlin.

Ardi sempat berpikiran apakah kakaknya ini normal.

“Kalian tidak ingin berkenalan terlebih dahulu?” sekarang giliran nenek yang bertanya dengan santai.

Terpancar dengan jelas bagaimana raut bahagia miliknya. Jelas. Akhirnya dia memiliki cucu mantu dari orang terpandang. Nama keluarga miliknya tidak akan tercemar.

“Hem,” Arlin berdehem sebentar, “mari tuan, mari kita mengenal lebih satu sama lain.”

Arlin beranjak dari duduknya meninggalkan keluarga besar. Sedangkan Alfin mengiktinya dari belakang.

“Oma ambilin udang dong.”

“Aishh, kamu ini dari tadi makan aja.”
Walaupun nenek mengatakan seperti itu, tetapi dia tetap mengambilkan udang untuk Ardi.

l'm FineTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang