9∆ Champion

1.4K 187 6
                                    

Green Days – 21 Guns

“No matters age you are, you can always grow up together with us! Make the impossible possible.”

~~~~~

Abdullah nama ayahnya
Aminah ibundanya
Abu Muthalib kakeknya
Abu Thalib pamannya

Arlin menggelengkan kepalanya pelan mendengarkan pujian Denis. Kata orang banyak, suara azan Denis adalah yang paling merdu, tapi apa ini? Astofirulohaladzim bahkan lebih bagus pujian anak anak kampung!

Mereka berada di Mushola sekolah, sedang mendiskusikan siapa penceramah yang akan mengisi di acara rutin setiap minggu ekstrakulikuler Rohis. 

Seorang cowok manis di depan Arlin terpingkal-pingkal mendengar Denis, dia bahkan menekan perutnya yang sudah mulai keram.

“Hahaha aduh Lin, Lin. Lo sama Bu Maya gak salah pilih orang nih?”

“Gak tau aku, dulu dia pendiam lo. Kok sekarang jadi gini ya?”

Arlin tersenyum, entah apa yang membuatnya memilih Denis sebagai ketua. Dia kira Denis adalah anak yang pendiam dan sopan, memanglah anak jaman sekarang. Di depan orang tua akan sopan, tetapi jika sudah bersama temannya akan menjadi gila.

“Hush, udah Ridwan. Dilihatin banyak orang-orang kamu, ini jadinya siapa? Pak Sholeh apa Pak Najib?”

Ridwan mengetuk-ngetukan jari telunjuknya di dagu, dia mulai berpikir dengan keras.

“Ahaa,  gimana kalau Pak Najib aja?” Ridwan mengambil kertas yang dia selipkan di saku seragamnya, “lebih enak Pak Najib. Kalau pak Sholeh bawaan tegang, serius, sesi bercandanya gak ada. Yang ada nanti anak-anak malah gak berani dateng.”

Arlin menganggukkan kepalanya membenarkan perkataan Ridwan, memang pak Sholeh lebih serius dan disiplin. Ini baru permulaan, Pak Sholeh diundang jika sudah memasuki waktu tes saja.

Mereka segera melaksanakan sholat Ashar setelah lantunan puji-pujian yang dinyanyikan Denis dengan suara yang begitu merdu berhenti. Denis, Ridwan, dan Arlin duduk bersantai di pelataran masjid dan membicarakan suara Denis yang begitu bagus. Atensi mereka teralihkan oleh kedatangan seseorang.

“Assalamualaikum kak Arlin,”

Walaupun yang dipanggil hnya Arlin, tapi Ridwan dan Denis ikut menjawabnya. Karena wajib hukumnya bagi seorang muslim untuk menjawab salam. Arlin yang merasa namanya dipanggil segera menoleh, ia mendapati cewek- adik tingkatnya disana.

“Ya?”

“Kak Arlin dipanggil Bu Sri Winarni ke kantor.”

“Lho, Bu Sri belum pulang?” cewek itu menggeleng, “aku nggak tau, katanya penting. Ya udah, aku pulang duluan kak, Assalamualaikum.”

Denis, Ridwan dan Arlin menjawab bersamaan.

“Waalaikumsalam.”

Arlin meraih tasnya dan berpamitan dengan Ridwan dan Denis.

“Cantik banget.”

Denis melirik Ridwan yang memandang kagum terhadap Arlin, dia dengan segera menampar wajah Ridwan dengan peci miliknya.

“Pandangan bang, inget dosa.”

Ridwan tersadar dari lamunannya.

"Asstorfirulloh, nikmat mana yang kau dustakan.”

Meninggalkan Ridwan dan Denis, sekarang Arlin berjalan santai menuju ruang guru. Sebelumnya ia menelpon Pak Udin untuk menunggunya sedikit lebih lama.

l'm FineTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang