Big Bad Surprise.

222 43 7
                                    

Judul lagu di Multimedia :
Various Artist Kdrama. Ost. K2 : Again the Odds.
.
Salah satu scoring favorit saya 😉
.
Minta taburan cinta kalian ya teman2.
Vomment jangan lupa.
Follow ig ku juga yuk: Parameswari_Prima.
Mari berteman 💜
**************************
"Hal paling mengerikan di dunia ini adalah. Saat kita membuat kesalahan. Dan kita memilih untuk tidak memperbaikinya bahkan tak mengakuinya. Hingga ajal menjemput kita"
~ Erlangga Indarjo~
💗

   BbSuasana hati Dante Allen sedang sangat bagus saat itu. Senyum terus terukir di wajahnya. Sambil bersenandung kidung Jawa pengantar tidur yang suka ia dengarkan dari sang Ayah saat masih kecil, sesekali menoleh ke arah sosok disampingnya.

    Wanita itu tampak begitu menawan bahkan disaat tidur. Rambut panjangnya yang tadi dikuncir kuda sudah Dante lepaskan ikatannya, menjuntai lurus, mencapai pinggangnya, beberapa helai tampak menutupi sebagian wajahnya. Nafasnya teratur. Dengkurannya lembut. Sabuk pengaman menahan tubuhnya dan kepalanya sedikit terkulai ke sisi kanan.

    Saat mereka mencapai lampu merah, Dante memajukan badan untuk membetulkan posisi bangku Hana serta meletakkan lehernya dalam kondisi lebih baik.

     Satu tangannya membelai lembut pipinya yang putih dan sedingin salju, sangat halus ditangan Dante. Ia menyibakkan rambut Hana yang bagai tirai menutupi wajahnya kemudian meletakkan beberapa helaiannya kebelakang daun telinga.

    Sepasang netra gelapnya hanya dipenuhi profil wanita tersebut, ia memandangi Hana dengan kekaguman murni.

     “Bersabarlah Hana, sebentar lagi. Dan tak akan ada yang bisa memisahkan kita” tangannya terjulur untuk mengecup lembut  luka  diatas lengan kiri Hana yang tadi sudah dia balut dengan perban.

    Dante segera kembali ke bangkunya tepat saat lampu hijau mulai menyala. Ia mulai menjalankan kendaraannya tepat saat itu ponsel lainnya berbunyi.

     Dante telah membuang ponsel lamanya setelah menghancurkannya terlebih dulu. Ia juga sudah meremukkan alat pelacak yang diletakkan pada diri Hana.

    Benda pendeteksi alat lacak yang baru saja ia beli dari Amerika Serikat berfungsi dengan baik.

    “Ini aku, mereka bergerak menuju rumahmu” ujar suara diujung sana.

    Dante terkekeh. “Dasar para serangga bodoh. Bagus, terus ikuti mereka. Saat waktunya sudah tepat, jalankan rencana B”

    Ia mematikan sambungan lalu menoleh ke samping kirinya. “Sebentar lagi, dan semua tikus itu akan kulenyapkan. Agar kamu tak perlu menderita lagi karena mereka” kemudian, sebuah seringai kejam diikuti tatapan tajam muncul pada wajahnya.

******************************

    Saat Bambang, Datu dan Herman tiba di rumah itu, suasana bagian luarnya sudah ramai dipenuhi oleh mobil Kepolisian setempat, ambulans, serta media dan warga sekitar. Forensik datang tak lama sesudah mereka.

    Garis kuning dipasang, dan ketiganya turun memasuki halaman depan. Hari sudah mulai malam.

    Jantung Bambang berdetak kencang sekali. Ia segera berlari keluar dari kendaraan diikuti kedua rekannya. Saat sudah mencapai halaman depan rumah, bisa didengarnya eraman serta pekikan amarah dari sebuah suara yang amat dia kenali.

    Datu dibelakangnya mengajak bicara seorang Polisi yang tengah membawa beberapa barang bukti dari dalam rumah.

    “Dimana Agen yang terluka?”

    “Mohon izin, ndan. Beliau sudah dibawa ke klinik terdekat sejak tadi, lukanya tidak dalam dan sudah dijahit namun masih lemah akibat kehilangan banyak darah. Beliau tengah beristirat disana”

    Terdengar desahan lega dari mulut Bambang serta kedua rekannya.

    “Lalu bagaimana dengan Agen wanita satunya? Dia Kapten tim kami” tanya Bambang. Tergesa.

    “Itu....” ekspresi si Aiptu tampak kebingungan.

   Bahu Bambang seketika merosot, dan isi perutnya seakan dikocok dari dalam.

    “Maaf ndan, saat kami tiba hanya ada Agen yang terluka dan Wakilnya disini”

    Bambang mengumpat keras, lalu berlari menyebrangi halaman dan menuju ke dalam rumah.

    Disana dilihatnya Alex tengah mengkonfrontasi Kapten pemimpin tim divisi Kejahatan Polsek setempat.

     “Bagaimana bisa kamera cctv sekitar sini tiba-tiba mati?!”

    “Maafkan kami, sepertinya beberapa menit sebelum kejadian ada yang dengan sengaja berusaha memasuki sistem. Seluruh kamera mati selama 20 menit hingga area tol ke utara”

     Alex mengumpat, sekarang tanpa ragu ia membalikkan meja kayu yang berada persis didepannya. Membuat semua orang terkejut.

    “Wakil Kapten kumohon tenanglah” Herman merangsek maju, berdiri disampingnya, berusaha menenangkannya.

    Alex terengah-engah, kedua tangan terkepal disamping badan, tubuhnya menegang, setiap sel syarafnya terasa terbakar oleh amarah dan kebencian. Saat matanya bertemu dengan Herman, pria itu tertegun, sebab belum pernah dilihatnya Wakil Kaptennya seemosional itu. Seperti dirinya adalah sumbu dari bom waktu yang telah dinyalakan dan siap meledak sewaktu-waktu.

    Bambang sangat bisa memahami perasaan pria itu, dia sendiri rasanya sudah ingin menangis sejak Alex memberitahunya kalau Dante adalah Damien, dan Yusuf terluka parah serta dibawa ke rumah sakit terdekat. Bagai ada yang menikam jantungnya memakai pisau tak terlihat.

    Bagaimana bisa?

    Dari semua orang

    Selama 12 tahun terakhir Bambang mengenal Dante secara dekat. Dia anak baik, dan rela melakukan semuanya demi Hana. Sungguh, ia merasa ditikam dari belakang secara berkali-kali hingga nyaris sekarat rasanya.

    Bambang kini tertawa miris. Bagaimana tidak, penjahat berada tepat dibawah hidungnya dan dia bahkan tak menyadarinya. Sekarang, keselamatan putrinya terancam dan itu karena ia kurang waspada.

     Bambang kini berhadapan dengan Alex, kedua tangannya mencengkram erat bahu pria itu.

    “Kumohon berpikirlah logis, kemarahanmu tak akan mengembalikan Hana pada kita. Aku tahu bagaimana rasanya orang yang kamu cintai direnggut persis didepan matamu, juga pengkhianatan ini, dua kali bahkan. Tapi sekarang kita perlu tenang agar bisa menyusun langkah selanjutnya”

    Sepasang kelopak Alex bergerak-gerak, memandang sekeliling seakan membutuhkan jawaban atas segera kegusaran juga kegundahannya.

   “Si brengsek itu, sudah menyiapkan segalanya dengan matang. Aku yakin dia pasti mengikuti kami ke sini, jika tidak bagaimana semuanya bisa begitu kebetulan”

    “Kurasa juga begitu, di hari dia membunuh Anggita dia sudah memikirkan segalanya hingga ke detail terkecil. Dia tahu kalau kita pasti akan menemukan jejaknya. Dia sengaja mengatur semua ini oleh sebab itu jangan terjebak untuk ketiga kalinya dalam lubang sama. Kita tak sedungu itu. Oleh karena itu,  Agen Alex kami juga butuh bantuanmu bukan sekedar kemarahanmu. Bukan hanya dirimu yang merasa bersalah serta mencemaskan Kapten” ucapan Datu terdengar tajam serta pedas, namun ada kebenaran di dalam sana.

    Seorang Dokter Forensik mendatangi mereka, juga si Komandan Kepolisian.

    “Sejujurnya apa yang kami temukan di ruang bawah tanah sana adalah sesuatu paling mengerikan sepanjang 15 tahun saya bekerja sebagai seorang Forensik” pria itu bicara.

   Alex membaca name tag pria dihadapannya, itu Erwin. Dokter yang menangani autopsi Anggita.

     “Ada banyak darah yang kami  temukan pada setiap alat penyiksaan, namun melihat bentuknya bisa saya pastikan sudah berusia berpuluh-puluh tahun dan bakal membutuhkan waktu lama sekali untuk bisa mengidentifikasi itu milik siapa saja. Namun disalah satu ruangan jejak darahnya masih sangat baru, dan dari jantung manusia yang kami temukan ada kemungkinan memang milik Saudari Anggita. Tapi saya harus mengirimnya ke labolatorium untuk memastikan lagi”

    Bambang dan yang lain mengangguk.

    Seorang Polisi muda berlarian masuk ke dalam rumah untuk bicara pada mereka. “Tim pelacak menemukan sesuatu di kebun belakang, anda semua tak akan percaya”

    “Tunjukkan pada kami” perintah atasannya.

    Alex dan yang lain bergegas mengikuti Aiptu tersebut. Halaman belakang sudah dibabat total, hanya menyisakan tanah dan banyak sekali gundukan. Belasan anjing pelacak mengais-ngais serta menggonggong di beberapa tempat. Beberapa anggota Kepolisian dan Tim cadangan pusat yang dibawa Bambang juga sudah mulai menggali.

    “Kami menemukan tulang!” teriak seorang anggota tim penggali.

   Ia membawa naik beberapa tulang belulang yang dimasukkan ke dalam box kaca putih.

    Dokter Erwin segera mengeceknya. Kedua pupilnya melebar. Lalu menolehkan kepala untuk menatap Alex dan yang lain. “ Sepertinya  setelah ini saya akan lebih gampang untuk melakukan identifikasi” tukasnya melemparkan ekspresi dramatis.

   “Disini juga ada!”

    “Disini juga!”

    “Pak kami menemukan dua lubang lagi disini”

     Alex membeku. Seketika ia mengedarkan pandangannya ke seluruh penjuru tempat ini.

     Ngeri.

     Marah.

     Benci.

     Alex bisa merasakan semua emosi aneh yang sejak tadi menekan dirinya.

     Tempat ini tak pantas disebut rumah, melainkan sebuah penjagalan.

    Ear pierce Alex berbunyi. Ia segera membuka saluran, Bambang, Datu, dan Herman bisa mendengarkan juga.

      “Aku tak bisa melacak Kapten” itu Elang.

     “Apa maksudmu? Alat pelacak itu sudah terpasang ditubuhnya!” Alex mengamuk.

    “Ada kemungkinan Dante sudah melepaskan serta menghancurkannya. Sialan sepertinya dia mempunyai alat pendeteksi pelacak”

    Alex mengumpat, lalu bertanya lagi. “Bagaimana dengan ear pierce Hana serta ponsel Dante? Hana sepertinya masih memakai benda itu. Ear pierce bisa memancarkan sinyal juga bukan?”

    Elang seakan mau menangis dari ujung sana. “Sama saja, sinyalnya sudah hilang. Ada kemungkinan Dante sudah menghancurkan semuanya”

     Elang mendengarkan umpatan Alex lagi dan kali ini si Kanit juga.

    “Saya dan Dokter Saras sedang menuju kediaman Dante Allen, dia yakin kalau kami bisa menemukan sesuatu disana. Saya juga sedang menyelidiki kemungkinan properti lain yang Dante punyai, saya yakin Kapten pasti dia bawa ke tempat dimana dia sudah akrab atau kenal”

    “Bagi lokasinya pada kami El, kami akan menyusulmu kesana” sahut Bambang.

    “Siap Komandan”

     Sambungan terputus, Bambang menyerahkan semua yang ada di rumah itu pada si Kapten, ia juga meminta jika ada informasi terbaru supaya segera dikabari. Setelah berpamitan Bambang berserta timnya bergegas menuju mobil mereka.

    “Datu, temani saja Wakil Kapten, biar aku bersama Herman”

    Si Letnan mengangguk paham.

    Emosi Alex sedang sangat tidak labil sekarang, jika dibiarkan sendiri maka pria itu bisa melakukan hal bodoh.

    Kedua kendaraan itu melaju kencang memakai lampu mobil untuk memudahkan mereka. Alex segera mengebut, membabat jalanan begitu mendapatkan lokasi rumah Dante dari Elang.

     “Alex, ini bukan salahmu” tukas Datu akhirnya.

    Alex menggertakkan giginya. “ Harusnya aku tidak membiarkan kami berpencar” menoleh tanpa segan menatap Datu. “Apa anda tahu bagaimana rasanya?”

    Datu menatap tepat ke dalam manik kelam pria itu. “Aku tahu, wanita yang kucintai pernah mati tertembak akibat berusaha melindungiku dari serangan perampok bank yang menjadikan dia sandera”

     Alex membisu. Ia bisa melihat kilat kesakitan masih nyata pada sepasang netra seniornya tersebut.

    “Padahal sudah 10 tahun berlalu, namun tak ada satu detik pun aku bisa melupakan teriakan ketakutannya ketika ia ditawan. Bunyi desingan peluru yang dilontarkan serta keretak tulang ketika benda besi tersebut memasuki tubuhnya. Atau senyum terakhirnya sebelum ia meninggal dalam pelukanku. Aku tahu, Alex. Aku melihat dan merasakannya segalanya”

    Alex kehabisan kata-kata.

    “Aku sudah mengecewakan Hana dua kali. Dua kali aku berjanji untuk menjaganya dan dua kali juga aku membuatnya semakin terluka. Tidak lagi, aku tak bisa....” Alex menggigit bibir bawahnya keras-keras. Ia berusaha tidak menangis ataupun memperlihatkan kelemahannya saat ini.

    “Hana membutuhkanku, dan aku bersumpah apapun yang terjadi tak akan kubiarkan hal buruk seperti setahun lalu terjadi lagi padanya”

     “Aku percaya Dante tak akan melukai Hana. Siapapun yang melihatnya tahu, kalau pria itu begitu mencintainya hingga menjadi obsesi dari kegilaannya. Yang kucemaskan justru sebaliknya. Kalau dia tak segan untuk melukaimu, karena begitulah dia, dan juga keluarganya”

    “Aku tak mencemaskan diriku! Meski harus mati sekalipun untuk mengakhiri lingkaran kegilaan ini, akan kulakukan”

    Datu menggeleng. “Tidak Alex, kamu harus tetap hidup. Jika kamu mati, meski Hana hidup, maka kehidupannya tak akan menjadi berarti. Jadi berjanjilah pada kami, apapun yang terjadi malam ini, kamu harus menjaga Hana dan dirimu sendiri agar bertahan hingga akhir”

    Pria itu meletakkan satu tangannya pada bahu Alex dari samping, lalu sedikit meremasnya.

    Alex menatap intens Datu. Sebelum akhirnya mengangguk.

   Kemudian, kakinya menekan gas dan ia menambah kecepatan.

    Suara deru mesin mobil serta sirine Polisi dari kendaraannya seakan membelah kelamnya langit dan gelapnya Jakarta seusai hujan, malam ini.
   *********************************************************************
    Rumah Dante terletak disalah satu kawasan terkemuka dipusat Jakarta Timur. Sebuah hunian modern minimalis berlantai dua dengan cat serba putih gading serta merah.

    Alex memarkirkan kendaraannya disamping mobil Elang. Sudah banyak kendaraan Kepolisian, tim Pelancak, BII serta Forensik. Ia dan Datu bergegas turun lalu melangkah cepat memasuki rumah tersebut. Berbeda dari rumah Nita di Sentul tadi, cahaya terang benderang menyala dari dalam kediaman Dante.

     Seorang wanita muda dalam balutan sweater ungu muda, jeans biru tua dengan fasial tak asing bagi Alex, segera menyapa mereka.

    “Kami sudah mengerahkan tim untuk menggeledah seluruh rumah. Tempat ini bersih dari aktifitas kejahatannya”

    “Tentu saja, dia melakukannya di tempat lain. Rumah di Sentul. Bajingan itu tak akan mau mengotori tempat pribadinya” kata Alex pedas. Menatap ke sekeliling rumah.

    “Maaf” kata Saras lirih.

    Alex mengalihkan pandangan ke perempuan muda itu. “Untuk apa?”

    “Saya sudah merasakan keanahen padanya sejak ia memutuskan untuk mengautopsi korban Marta Anyelir, setahun lalu. Harusnya saya melakukan sesuatu dan mengikuti insting saya”

    “Apa?!” Bambang yang baru masuk mendengarkan hal itu sangat terkejut. “Dia melakukan operasi sendirian?”

     Saras mengangguk. “Tim lain bilang kalau kadang Dokter Dante suka begitu, melakukan sendirian dan tak suka memakai asisten. Ia baru meminta bantuan saya jika memang betul-betul merasa butuh. Sungguh dulu saya tak paham”

    Saras tampak memelas.

    “Sudahlah itu bukan salahmu, kamu sendiri pasti terkejut karena seniormu yang harusnya menjadi panutan seorang dalam pembunuhan berantai. Dimana Elang sekarang? Kalian datang bersama bukan”  Alex mengganti topik.

    Saras menggangguk. “Di lantai dua, tapi. Wakil Kapten...”

    Saras sudah ingin mengatakan sesuatu, namun Alex keburu melewatinya dan tergesa-gesa menaiki tangga menuju lantai dua. Ia juga ingin menyampaikan sesuatu pada si Kanit namun Bambang menyuruhnya untuk menunggu.

    Menggaruk kepalanya frustasi, perempuan itu akhirnya memilih diam dan mengekori semua anggota Tim khusus.

    Wanita itu melihat seluruh anggota tim khusus itu yang seakan mematung ketika berada diambang pintu sebuah kamar terbuka, dimana banyak Forensik keluar masuk.

    “Itu, tadi saya bermaksud memberitahu anda sekalian. Saya dan Elang menemukan kamar ini terkunci rapat tadi dan harus membobolnya....” suara Saras tenggelam oleh rasa cemasnya sendiri.

   Alex membeku, kakinya bagai dipaku diatas lantai berubin keramik coklat dibawahnya. Sepasang netranya menatap gusar ke sekeliling penjuru kamar tersebut.

    Hanya satu kata untuk menggambarkan apa isi kamar itu.

    Mengerikan.

    Bagi Alex ini bahkan jauh lebih menakutkan ketimbang ruang bawah tanah penyiksaan yang ia lihat  tadi di rumah Nita.

     Ruangan berdinding abu-abu itu sepenuhnya diisi oleh foto Bravery Hana Salim dari berbagai ukuran, sejak usia remaja hingga sekarang. Ditempelkan secara rapi membentuk kolase wajah Hana jika dilihat dari kejauhan. Lalu pada sisa-sisa tempat di dinding, Dante memajang lukisan Hana. Pria itu tahu persis jika semuanya hasil karyanya sendiri. Sejak dulu Dante sebetulnya jago melukis.

     Bambang berjalan sedikit terseok, maju melewati Alex, mendongakkan kepala, air mukanya dipenuhi kengerian. Terperangah.

    “Dia betul-betul sudah gila” bisik Herman yang kini menatap ke arah bed cover dengan cetakan bergambar wajah Kaptennya.

    “Cintanya berubah menjadi obsesi lalu berakhir menjadi kegilaan luar biasa” balas Datu yang menatap ke deretan hiasan patung berbentuk kepala Hana dari tanah liat ataupun keramik. Tercengang.

    Saat Alex akhirnya bisa bergerak, ia berjalan menuju sebuah meja belajar dimana banyak terdapat foto-foto kekasihnya juga. Beberapa dibingkai pada frame berbentuk mewah. Dan seketika jantung Alex terasa bagai ditusuk.

   “Bajingan itu rupanya mengejar Hana sampai ke Amerika”

    “Apa?!” Bambang, Datu dan Herman berteriak bersamaan. Mendekati tempat Alex.

   Tangan mereka yang sudah mengenakan sarung tangan lateks segera mengambil beberapa bingkai foto dari meja juga.

    Herman seketika menelan saliva. Saat memandangi foto si Kapten sedang berdiri sambil menatap laut dari tepian sebuah tempat mirip pelabuhan, di pagi atau siang hari. Foto tersebut diambil dari jarak agak jauh, dan ada tanggal serta waktu tertera dibagian bawah gambarnya.

    “Sial, dia memang ke sana. Ke Seattle. Ini diambil beberapa minggu lalu. Kurasa sebelum kepulangan Kapten” Herman mempertegas.

    “Psikopat sialan itu sudah merencanakan semuanya sejauh ini” Alex menggebrak meja dihadapannya itu dengan kasar, membuat semua fotonya berjatuhan.

     “Kurasa itu juga alasannya cuti selama sebulan. Saya bahkan baru tahu kalau sejak dua hari lalu, Dokter Dante mengajukan surat pengunduran diri kepada Kepala kami”

    Alex menatap tajam Saras. “Dia pasti merencanakan hal lebih besar lagi”

    Saras mengangguk. Bergerak-gerak cemas didepannya.  

    Elang mendadak menghambur masuk. Dia sejak tadi berkerja sendirian di halaman belakang rumah itu.

    “ Saya mendapatkan info soal properti lain yang dibeli atas nama Dante Allen. Setahun lalu dia baru saja membangun sebuah villa di Ciwidey dengan tanah atas nama Ibu kandungnya”

    Alex tertegun, Saras terbelalak. “Saya tahu soal Villa itu, dia bilang dia membelinya untuk orang yang ia cintai, saya pikir itu Ayahnya tapi ternyata dia menipu kita semua dengan memalsukan data serta cerita mengenai Ayah kandungnya” katanya, sembari menatap ke seluruh ruangan.

    “Tidak sepenuhnya salah. Ada indikasi rumah milik Nita di Jakarta pusat dulunya dihuni oleh Dante atau Damien saat beranjak remaja. Dia hidup terpisah dari Ayahnya namun masih dalam satu lingkup serupa” jawab Elang.

   Sebuah kesadaran menghantam Alex. “Itu rumah yang Kanit datangi tadi bukan?”

    Si Kanit mengangguk. “Tak ada apa-apa disana”

    “Daerah itu masih satu area dengan tempat tinggal lamaku, Hana, juga Sadam” Alex seketika mengumpat. Sekarang segalanya terasa masuk akal baginya.

[Completed Story] The Dark Desire :  #01.BII SeriesTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang