20

7.1K 386 13
                                    

"Berdo'a lah dan meminta kepada-Nya. Karena tidak ada hal yang mustahil bagi Allah untuk di kabulkan."

***

Alisha baru saja pulang mengajar dari pesantren. Banyak ucapan selamat yang ia terima termasuk dari Fahri. Namun Alisha menyadari bahwa ada sedikit nada kekecewaan dari laki-laki itu. Alisha sebenarnya pernah di beri tahu oleh salah satu santriwati bahwa Fahri menyukainya. Ucapan santriwati itu Alisha perkuat dengan tindakan-tindakan yang Fahri lakukan selama ini. Laki-laki itu selalu melakukan hal-hal kecil untuknya, mungkin Fahri bermaksud membantunya. Namun Alisha selalu dengan tegas menolaknya. Dan Fahri juga tau akan hal itu.

Alisha membuang nafasnya pelan. Ia tadi di telepon oleh Davina bahwa perempuan itu akan datang bersama dengan Riska. Untuk itu Alisha akan menyediakan segalanya dari sekarang. Jadi jika Davina dan Riska tiba, mereka bisa langsung menikmatinya.

Beberapa menit di dapur, Alisha sudah selesai membuatkan minuman dan camilan. Karena rumah baru, Alisha hanya bisa menyediakan seadanya saja. Karena ia pun belum sempat untuk berbelanja.

Alisha meletakkan minuman dan cemilan itu di ruang tamu. Tak selang beberapa detik, dua suara perempuan yang sangat ia kenali pun terdengar.

"Assalamualaikum, Sha!" Davina dan Riska mengucapkan secara bersamaan.

"Waalaikumsalam. Ayo-ayo masuk."

"Sha! Kangen!" Davina memeluk Alisha begitu perempuan itu membuka pintu.

"Baru juga dua hari, Na." ujar Alisha, namun ia tetap membalas pelukan Davina.

"Gimana, Sha? Setelah nikah?" tanya Riska.

Alisha tersenyum. "Kita ngobrol di dalem aja."

Riska mengangguk setuju, begitu juga dengan Davina. Kedua perempuan itu mengikuti Alisha masuk.

"Askar masih sekolah ya, Sha?" Davina bertanya dan mengambil gelas yang ada di depannya.

Alisha mengangguk.

"Kamu belum jawab pertanyaan aku, Sha."

Alisha menatap Riska, perempuan itu tersenyum. "Aku enggak bisa ngejelasinnya. Tapi yang pasti hidup aku berubah drastis."

"Tapi kamu keren tau, Sha! Kalo biasanya orang-orang nunggu suaminya pulang kerja. Kamu nunggu Askar pulang sekolah." kata Davina.

"Kamu ngejek, ya?" ucap Alisha.

"Enggak, Sha! Serius, itu pujian!"

"Assalamualaikum Kasa! Askar pulang!" suara Askar yang terdengar jelas dari luar membuat percakapan Alisha, Davina dan Riska seketika terhenti. Ketiganya pun langsung menoleh keluar.

Sementara Askar yang tidak tahu bahwa ada Davina dan Riska yang sedang datang ke rumah menjadi malu.

"Waalaikumsalam, Kar. Kok pulangnya cepet?" Alisha menatap Askar aneh. Semalam saat hari senin, Askar pulang pada saat jam setengah tiga. Namun pada hari selasa ini Askar pulang jam dua belas.

"Nanti Askar ceritain sama Kasa." Askar menatap Davina dan Riska. "Askar masuk dulu ya Kak Davina, Kak Riska."

Askar pergi menaiki tangga dengan cepat. Alisha menduga bahwa Askar malu. Ini salah Alisha juga karena lupa memberi tahu Askar bahwa Davina dan Riska sedang bermain-main ke rumah. Ponsel Alisha pun sedang di cas di dalam kamar.

"Kan, aku bilang juga apa." kata Davina.

"Aku jadi pengen nikah sama anak SMA." Riska tersenyum, namun setelah sadar apa yang ia ucapkan, perempuan itu menutup mulutnya. "Astaghfirullahaladzim, ngomong apa sih."

"Enggak salah kok sama apa yang kamu bilang. Kamu sama temennya Askar aja." kata Davina yang membuat Alisha kaget, begitupun dengan Riska.

***

Askar keluar dari kamar, menuruni tangga. Ia melihat Alisha yang tengah mencuci piring. Sepertinya itu piring yang di gunakan oleh Davina dan Riska pada saat mereka makan tadi. Askar pun menghampiri Alisha, memeluknya dari belakang.

"Askar ... "

"Sebentar aja, Kasa. Padahal tadi aku pengen meluknya pas pulang sekolah tadi. Tapi ternyata ada temen Kasa." kata Askar.

"Aku lagi nyuci piring."

"Aku aja yang nyuci, Kasa duduk manis."

Alisha membuang nafas pelan. "Terserah kamu."

Askar mengangguk-angguk. Ia suka, Alisha tidak menolak bantuannya. Biasanya Alisha akan menolak di bantu. Perempuan yang sedang ia peluk ini memang sangat mandiri.

Askar melepas pelukannya, mengambil salah satu kursi yang ada di meja makan. Askar menepuk-nepuk kursi itu. Mengkode agar Alisha duduk di kursi yang ia ambil.

Alisha hanya bisa menurut, duduk di kursi itu.

Askar mengambil ahli, dengan telaten ia mengusap-usap spons yang sudah di penuhi busa ke piring. Askar pun menggunakan ujung kukunya jika ada kerak yang menempel di piring itu.

"Besok belanja yuk, Kasa." Askar memiringkan tubuhnya agar leluasa berbicara dengan Alisha. Karena posisi Askar yang mencuci piring membelakangi Alisha.

"Emang kamu enggak sekolah?" Alisha menatap Askar aneh.

"Enggak, gurunya mau rapat buat ujian sekolah sama perpisahan." jelas Askar.

Alisha mengangguk-angguk, benar juga yang Askar katakan. Askar akan tamat tahun ini. Pastinya sekolah akan menyiapkan perpisahan untuk kelas dua belas. "Kamu udah ada pilihan masuk universitas?"

"Kasa mau aku kuliah, ya?"

"Emangnya kamu enggak kuliah mau kuliah?"

"Mau, tapi kata Ayah aku ngelanjutin bisnis Ayah."

Alisha paham, Kafkar memang membutuhkan penerus. Apalagi Askar adalah anak tunggal. Hanya Askar lah yang bisa Kafkar harapkan. Untuk itu juga sepertinya Askar selalu menuruti perintah Kafkar.

"Bagi Kasa, Askar bagus pilih apa?" sambung laki-laki itu.

"Senyaman kamu aja, Kar. Lagipula nanti yang ngejalanin kamu. Kalo kamu milih karena aku, bisa aja nanti kamu merasa terbebani. Tapi kalo itu memang pilihan kamu, kamu udah pasti suka."

Askar terdiam sesaat, laki-laki itu mencerna dengan baik perkataan Alisha. Sekarang Askar tahu apa yang harus ia pilih.



***
Jangan lupa vote dan komennya, syukron.

Dari Askar Untuk Alisha [END]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang