"Jika sesuatu yang kau senangi tak terjadi, maka senangi lah apa yang terjadi."
—Ali bin Abi Thalib***
"Reno udah pulang?" tanya Alisha begitu masuk ke dalam rumah. Dan perempuan itu hanya melihat Askar yang duduk seorang diri di depan televisi sembari memangku toples yang berisi kue di buat oleh Aisyah. Ya, kue itu memang masih ada. Karena Alisha dan Askar terlalu sayang memakannya, ingin mereka jadikan kenangan sebenarnya.
"Reno keluar bentar, enggak tau balik lagi apa enggak." jawab Askar sambil menarik tangan Alisha untuk duduk di sebelahnya. "Capek, enggak?"
Alisha mengangguk-angguk. Perempuan itu memejamkan matanya, merasakan sensasi pijatan dari Askar. "Kamu kayak gini lagi ada mau nya, ya?"
"Astaghfirullahaladzim. Enggak lah, Kasa." Askar melanjutkan pijatannya dari bahu ke tangan. "Enggak salah lagi maksudnya." cicitnya pelan.
"Mau apa?"
"Mau kamu." Sebenarnya mereka sudah mengubah panggilan mereka menjadi aku-kamu di karenakan Anisa yang ingin mengetahui arti dari panggilan 'Kasa' Askar kepada Alisha. Yang membuat Anisa bilang bahwa panggilan tersebut kurang romantis setelah tau artinya. Tetapi Askar kadang sering keceplosan dengan panggilan 'Kasa.' Anisa juga mengatakan bahwa Askar dan Alisha itu sudah menikah, tetapi kenapa masih memakai embel-embel 'Kakak'? Untuk itu jugalah Askar dan Alisha mengubah panggilan mereka.
Alisha membuang nafas pelan. "Serius, Askar."
"Ini serius. Aku mau kamu."
"Assalamualaikum." ucap Reno yang baru saja pulang entah darimana. Laki-laki itu menatap Askar dan Alisha yang tengah duduk berdekatan. Askar mendengus kesal, Reno sengaja melakukannya. Padahal ia sudah masuk hampir setengah dari ruang tamu.
"Iri bilang."
"Askar..." Alisha menggeleng-gelengkan kepalanya.
Reno tertawa melihat wajah asam dari Askar. Setelah itu, Reno melihat ponselnya yang berdering. "Kak, Kar gue pulang, ya."
"Siapa yang nelepon, Ayah lo?" tanya Askar.
Reno menggeleng, namun sebenarnya perkataan Askar itu benar. "Makasih udah ngizinin gue tidur disini, maaf kalo ngerepotin."
"Iya, hati-hati lo di jalan."
Reno mengacungkan jempolnya. "Baju lo kapan-kapan aja ya gue balikannya."
"Santai, enggak di balikin juga enggak apa-apa." jawab Askar, namun Reno hanya tersenyum. Setelah Reno pergi, barulah Askar berbicara kepada Alisha. "Aku rasa tadi yang nelepon Ayahnya Reno."
"Kenapa kamu bisa berpikiran gitu? Kan tadi Reno bilang bukan."
"Bukannya manusia memang gitu? Selalu menutupi kesedihannya di depan orang lain, biar terlihat bahagia." Askar menatap Alisha. "Lagian Reno enggak mungkin tiba-tiba bilang mau pulang. Dia aja bilang ke aku mau tidur dua atau tiga hari disini."
***
"Gimana ceritanya kamu bisa ta'aruf sama Aidan, aku belum tau." Alisha memegang ponselnya sambil menatap langit yang lama-kelamaan berubah warnanya menjadi jingga.
Riska yang ada di dalam telepon terkekeh pelan. "Hehe, panjang ceritanya. Tapi singkat banget kayaknya."
"Aku pengen banget tau, atau aku tanya aja sama Aidan langsung." canda Alisha.
"Emangnya kamu berani?"
"Jelas enggak, kontaknya Aidan aja aku enggak punya."
Terdengar suara barang yang pecah dari dalam telepon Alisha, lebih tepatnya suara dari Riska. "Riska? Kamu enggak kenapa-kenapa, kan?"
Tidak ada jawaban dari Riska membuat Alisha menjadi panik. "Riska? Ris? Assalamualaikum?"
Terdengar suara langkah kaki yamg cepat. Alisha tersambung kembali dengan Riska. "Sha, aku telepon kamu lagi nanti, ya. Assalamualaikum."
"Riska? Kenapa? Eh—waalaikumsalam." Alisha menatap layar ponselnya panggilan dengan Riska langsung terputus. Dulu terjadi seperti ini juga dengan Davina yang tidak menjawab teleponnya. Dan saat Alisha pergi ke rumah Davina, Alisha menemukan Davina yang terbaring di lantai.
"Kamu kenapa? Kok cemas gitu?" Askar keluar dari kamar mandi dengan baju mandi yang membalut tubuhnya dan air yang menetes di rambutnya.
"Ah, enggak kenapa-kenapa kok. Aku agak kaget aja karena ngeliat kebawah dari lantai atas."
"Hati-hati jatuh."
Alisha mengangguk dan tersenyum. Namun tak dipungkiri bahwa dirinya masih khawatir dengan Riska. "Allahumma inna nas-aluka salamatan fiddin wa afiyatan fil-jasadi wa ziyadatan fil-ilmi wa barakatan firrizqi, wa taubatan qablal-maut, wa rahmatan indal-maut, wa maghfiratan ba'dal-maut." Alisha terus bergumam sambil menyebut nama Allah. Berharap Riska baik-baik saja dimana pun perempuan itu berada.
***
Riska membereskan dan mengutip pecahan kaca dari dalam kamarnya. Perempuan itu memakai sarung tangan, jadi sudah di pastikan bahwa tangannya tidak akan terluka. Tidak hanya itu, Riska juga membawa serokan dan sapu untuk membersihkan sisa-sisa kaca yang tidak bisa di ambil oleh tangannya karena terlalu kecil.
Angin yang terlalu kencang membuat vas bunga yang ada di meja belajarnya terjatuh. Kebetulan meja belajar Riska bersebelahan dengan jendela, jadi angin langsung masuk dengan bebasnya.
"Udah di bersihkan semua, R?" tanya Nia, ibu Riska. Wanita itu memperhatikan Riska yang dengan hati-hati membersihkannya. Nia beralih menatap Khansa, gadis yang menjadi adik Riska itu menundukkan kepalanya. "Gara-gara kamu ini, vas kesayangan Mama jadi pecah!"
"Khansa lupa, lagian Khansa enggak tau kalo anginnya bakal sekenceng itu. Tadi kan panas, yaudah Khansa buka jendelanya biar anginnya dikit-dikit masuk, enggak taunya angin turbo." jelas Khansa dengan sesungguhnya.
Nia masih menatap menyelidik. "Ya udah, Mama maafin. Tapi uang jajan kamu Mama kurangin."
Khansa langsung mengangkat kepalanya tak terima. "Kok jadi uang jajan sih, Ma? Dimana sangkut pautnya?"
"Kakak aja yang ngasih uang jajan kamu. Dua ribu aja tapi, enggak usah banyak-banyak nanti jadi bodoh." Riska tertawa, Khansa mendengus sebal.
"Kamu buang dulu pecahan vasnya di tong sampah depan. Baru uang jajan kamu enggak Mama potong." ucap Nia.
Khansa menurut, daripada uang jajan miliknya di kurangi lebih baik ia membuang sampahnya. Khansa keluar di susul oleh Nia dibelakangnya. Sementara Riska bernafas lega, akhirnya semua selesai. Riska menatap ponselnya. Ada sesuatu yang ingin ia lakukan sejak, tetapi ia lupa. Riska menepuk kepalanya pelan, ia lupa menghubungi Alisha.
Pasti perempuan itu khawatir melihat dirinya yang panik di telepon.
***
Haloo, kayaknya ini bakal jadi cerita pertama ku yang partnya panjang. Soalnya bagiku tentang agamanya kurang, mungkin beberapa part kedepannya bakal banyak tentang agamanya. Dan pastinya target tamat ku juga semakin lama ://
KAMU SEDANG MEMBACA
Dari Askar Untuk Alisha [END]
Romance"Kita nikah besok aja bisa gak sih, Kak? Kalo kayak gini ceritanya aku kan gak bisa marah sama Kakak. Karena aku bukan siapa-siapa Kakak." *** Selama ini Alisha tidak pernah dekat ataupun berhubungan dengan lelaki manapun. Alisha selalu berusaha me...