22

6.2K 385 7
                                    

"Kesalahan terburuk kita adalah ketertarikan kita pada kesalahan orang lain."
—Ali bin Abi Thalib

***

Semua barang-barang dan perlengkapan milik Alisha dan Askar telah masuk ke dalam koper. Mereka akan pergi ke ke rumah orang tua Alisha. Walaupun mereka hanya menginap satu malam, tetapi persiapan mereka seperti orang yang akan pergi dalam waktu lama.

Tidak-tidak, bukan Alisha yang menyusunnya tetapi Askar. Askar bilang 'lebih baik kita bawa aja semua barang yang kita perlukan, daripada nanti kita balik-balik lagi. Atau kesusahan karena enggak ada barang itu.' Alisha hanya bisa diam melihatnya, Askar sama sekali tidak mengizinkannya untuk membantu dan menyentuh barang-barang yang akan mereka bawa. Tunggu sampai di rumah Aisyah baru Askar izinkan untuk Alisha membuka barang bawaan mereka. Karena kalau dibuka sekarang, Alisha pasti akan mengurangi nya.

Tak hanya membawa koper, Askar membawa tas ransel yang isinya baju-baju mereka.

"Kar, kalo enggak cukup gimana?" Alisha berusaha menghentikan aksi Askar, namun sepertinya akan sia-sia.

"Kasa tenang aja, ini cukup kok." Askar menghitung tas yang akan mereka bawa, sepertinya sudah cukup.

"Kita kan naik motor."

Askar langsung menatap Alisha. "Siapa bilang? Kita naik mobil."

Alisha baru tersadar, kenapa tidak terpikirkan olehnya? Tapi sama saja bagi Alisha, bukankah barang yang mereka bawa terlalu banyak?

Alisha membuang nafas pelan. "Terserah kamu deh, Kar." kata Alisha yang tidak ingin mengajak ribut Askar.

"Kasa tenang aja, pokoknya serahin semuanya sama Askar."

Alisha hanya bisa mengangguk-angguk. "Kita pergi jam berapa?"

Askar berpikir sesaat. "Bagi Kasa, cocoknya habis ashar atau maghrib?"

"Ashar aja, kalau habis maghrib nanti udah gelap, Kar."

Askar mengangguk-angguk setuju dengan apa yang Alisha bilang. Memang lebih baik mereka pergi sebelum matahari terbenam.

"Ya udah, aku ngikutin saran Kasa aja. Saran Kasa kan yang terbaik."

Alisha tersenyum. "Ya udah, kalo gitu aku telepon Bunda dulu ya?"

Askar mengangguk.

Panggilan pertama langsung di angkat oleh Aisyah. Sepertinya Aisyah sedang memegang ponsel. "Assalamualaikum. Bunda, jadi berangkat besok?" Alisha mendekatkan ponselnya ke telinga.

"Waalaikumsalam, jadi, Nak." suara Aisyah yang sangat Alisha rindukan membuat hatinya tenang.

"Kalo gitu Lisha nginep di sana, ya? Sekalian nganter Bunda, Ayah sama Akbar."

"Ya udah, kalo itu mau kamu. Enggak apa-apa, Bunda malah seneng."

Alisha tersenyum, biasanya Aisyah akan menolaknya. Namun kali ini tanpa penolakan sama sekali.

"Ya udah kalo gitu Lisha tutup dulu teleponnya ya, Bunda. Lisha berangkat habis ashar. Bunda jangan lupa istirahat. Assalamualaikum."

"Kamu juga, ya. Jaga kesehatan kamu, jaga juga hubungan kamu sama Askar. Waalaikumsalam."

Askar yang tadinya hanya memperhatikan Alisha saat perempuan itu menelepon, Kini Askar memeluk tubuh Alisha. Askar menggendong dan mengecup seluruh wajah Alisha. Sementara Alisha sudah tidak tahan untuk tertawa karena geli.

"Kar, udah, Kar! Cukup!" Alisha terjatuh di kasur. Sementara Askar berada di atasnya.

Keadaan cukup hening untuk sesaat.

"Boleh ya, Kasa?"

"Hah?"

"Boleh, ya? Buat Askar kecil atau Alisha kecil."

Mata Alisha langsung membulat. Ternyata tenaga Alisha saat ketakutan sangatlah kuat. Pasalnya, Askar sudah terbanting di lantai. Meringis menahan sakit.

"Kar, maaf, Kar. Aku enggak sengaja." Alisha mencoba membantu Askar untuk bangkit.

"Enggak apa-apa, Kasa." Askar di baringkan oleh Alisha di kasur. "Aku salah milih lawan, hehe."

Melihat Askar yang tersenyum, Alisha justru khawatir. Cepat-cepat Alisha mengambil kotak obat yang ada di kamat mereka. "Mana yang sakit, Kar?"

"Di sini, Kasa." Askar menunjuk tepat dimana hatinya berada. Dan Alisha kembali khawatir.

***

Alisha dan Askar telah sampai di rumah milik orang tua Alisha. Mencium punggung tangan Aisyah dan Abhi. Askar mengeluarkan barang-barang yang mereka bawa dari mobil. Aisyah hanya bisa menggelengkan kepalanya. Entah apa saja yang dibawa oleh Askar dan Alisha. Aisyah pun sempat kaget karena ada mobil yang terparkir di halaman rumah mereka.

Abhi dan Akbar membantu Askar untuk memasukkan barang-barang mereka ke kamar yang sampai saat ini masih menjadi milik Alisha. Kamar itu tertata rapi dan bersih, sepertinya Aisyah rajin membersihkannya.

Berbeda dengan Abhi, Akbar dan Askar. Kedua perempuan yang memakai hijab dengan warna yang sama meminum teh mereka. Padahal, Alisha tidak sengaja memilih hijab dengan  warna coklat susu, siapa sangka bahwa Aisyah juga memakai warna yang sama. Membuat Aisyah dan Alisha semakin mirip.

"Rencananya berapa bulan Bunda di rumah nenek?"

"Selamanya."

"Bunda yakin?"

Aisyah mengangguk, ia memang berencana tinggal di Medan selamanya. Selain karena tempat orang tuanya berada, Aisyah juga di lahirkan di sana. "Sebenarnya Bunda punya satu keinginan. Kayaknya Bunda rasa ini udah waktunya."

Pandangan Alisha masih berfokus pada Aisyah. Sampai Aisyah melanjutkan kalimatnya.

"Melihat Akbar udah dewasa, kamu udah nikah, terus Bunda berhasil bangun pesantren sama Ayah. Bunda seneng bisa nikmati masa-masa ini. Bunda harap, Bunda di beri umur yang lebih panjang. Supaya bisa lihat Akbar nikah." Aisyah mengelus punggung tangan Alisha. "Bunda enggak maksa kamu sama Askar untuk punya anak. Pokoknya, ngelihat kamu sama Askar bahagia, Bunda juga iku bahagia."

Alisha menahan air matanya yang ingin menetes.

"Kamu mau tau keinginan Bunda, kan?"

Alisha mengangguk cepat. "Apapun keinginan Bunda, pasti Lisha turuti."

"Bunda pengen di kubur di tempat kelahiran Bunda."

Dari Askar Untuk Alisha [END]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang