29 - Lantas, Salah Siapa?

2.4K 437 83
                                    

"Jika memang tidak bisa membalas, lebih baik lepaskan. Jangan buat harapannya semakin besar sementara hatimu tidak bisa berlabuh kepadanya."

***

"CEPET KAMU USIR ANAK ITU!" Airel membuka matanya cepat ketika suara teriakan bercampur dengan benda kaca yang di hantamkan ke lantai.

Airel dengan cepat duduk dari posisi berbaringnya, ia menoleh kesamping, sudah tidak ada ibunya disana. Diliriknya jam dinding yang bertengger di dinding, menunjukkan pukul setengah enam pagi. Ia pasti telat hari ini, semalaman ia tak bisa tidur dikarenakan memikirkan kejadiannya bersama Gibran kemarin.

Cewek berambut sepunggung itu berdiri, menatap dirinya di cermin, sungguh kacau, namun tak mau berpikir panjang Airel menguncir satu rambutnya lalu berlari keluar dari kamar.

Matanya melebar ketika melihat pecahan piring sudah berceceran diatas lantai. Ia melihat Nina sudah terkulai lemas sembari menangis. Amarah Airel langsung naik kepuncak, napasnya menggebu-gebu lalu mendorong laki-laki paruh baya itu menjauhi ibunya.

"Jangan macem-macem sama mama saya! Sekali anda sentuh dia, anda berurusan sama saya!" Pria itu terkejut, lalu kembali menetralkan wajahnya. Ia tersenyum kecut, malas melihat Airel yang selalu menganggu urusannya.

"Dia istri saya dan saya berhak melakukan apa saja!"

Airel mengepalkan tangannya, kesal. "Selama ada saya, anda nggak akan pernah bisa sentuh mama saya! Sampai kapanpun! Inget, saya bisa laporkan ini secepatnya!"

Airel terkejut ketika pipinya dihapit oleh tangan Dias, suami ibunya. Mata pria itu menatapnya tajam. "Kamu masih kecil untuk ikut campur urusan saya. Pergi secepatnya atau sesuatu bakal terjadi ke mama kamu!" Dias mendorong Airel hingga jatuh duduk di lantai.

"Ah!" Cewek itu meringis ketika pecahan kaca menusuk telapak tangan kirinya. Ia menatap miris, melihat banyak darah yang keluar dari sana.

"Airel! Kamu nggak papa?" Nina bergerak mendekati Airel, lalu di cegah oleh cewek itu, mengisyaratkan bahwa ia tak apa apa.

"Saya bisa melakukan hal yang lebih dari itu. Pertimbangkan untuk cepat pergi atau saya lakukan sesuatu yang lebih!" Kemudian pria itu pergi, meninggalkan Airel dan Nina berdua.

"Mama sekarang ke kamar ya, sebelum mama sesek napas lagi." Belakangan ini, Nina selalu mengalami sesak napas. Mungkin karena terlalu banyak tekanan dan terlalu banyak berpikir.

"Kamu sekarang sekolah, biar mama yang atur ini semua."

"Nggak, Ma. Aku bisa. Setelah ini beres aku bakal sekolah."

"Ka-kamu beneran nggak papa?" Airel mengangguk, meyakinkan.

"Nggak, mama ambilin kamu obat ya." Nina akan berdiri, namun kakinya terlalu lemas hingga Airel yang melihatnya makin tak tega.

"Mama, percaya sama Airel. Mama ke kamar ya, biar aku yang urus sendiri."

Nina terdiam, menatap anaknya lalu mengangguk. Ia pun beranjak pergi, meningalkan Airel yang meringis, melihat banyak darah yang berceceran di atas lantai.

Dengan sekuat tenaga, Airel bangkit dan mencari P3K. Di bukanya kotak itu, lalu menuangkan alkohol diatas kassa dan mengusapnya pelan. Ia meringis beberapa kali, menahan perih ketika alhokol meresap kedalam kulitnya.

Tanpa banyak berbasa-basi, ia membalut telapak tangannya setelah di pakaikan obat merah lalu membersihkan lantai yang tercecer oleh pecahan beling.

***

Airel turun dari angkutan umum lalu berlari mengejar gerbang sekola yang akan menutup. Ia bernapas lega, karena masih di perkenankan untuk masuk tanpa harus beradu argumen.

DEAR US (SELESAI)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang