-8- MALVIN DAN EMOSI.

8.9K 928 64
                                    

Memang terkadang, tertawa bersama teman bisa melepas penat di dalam hati

Ups! Gambar ini tidak mengikuti Pedoman Konten kami. Untuk melanjutkan publikasi, hapuslah gambar ini atau unggah gambar lain.

Memang terkadang, tertawa bersama teman bisa melepas penat di dalam hati. Mendapatkan kebahagiaan yang tidak di temukan di manapun, termasuk di rumah.

***

"PAK, ini bukan pertama kalinya Gibran seperti ini. Sudah berkali-kali kami melakukan sesuatu untuk mengatasi sikapnya." Gibran tetap menunduk ketika Bu Citra mengadukan segala perbuatannya kepada Malvin. Yang ia takutkan adalah ayahnya itu akan sangat murka setelah ini.

"Gibran memang seperti itu. Maaf, tolong di maklumi." Malvin tetap pada sikapnya, dingin.

"Kami sudah memaklumi Gibran setiap dia melakukan sesuatu. Mungkin, bapak bisa meningkatkan didikan dan arahan kepada Gibran." Perkataan wanita itu membuat Malvin berguncang seketika. Kata itu seakan sangat menunjukkan bahwa Malvin kurang mendidik Gibran.

"Hukuman apapun buat Gibran, tolong lakukan saja. Saya tidak akan ikut campur." Gibran menoleh tak percaya kearah ayahnya, Malvin seakan sangat tidak masalah jika segala hukuman menimpa dirinya.

"Kami akan coba lagi, Pak. Tapi tolong pastikan Gibran tidak membuat onar lagi."

Setelah berbincang dan berpamitan, mereka berdua keluar dari ruang BK. Gibran mengikuti di belakang Malvin yang berjalan lebih cepat. Sepertinya pria itu sudah muak dengan panggilan sekolah karena ulah Gibran.

"Babeh!" Gibran mencoba mensejajarkan langkahnya dengan pria yang di balut kemeja putih itu.

"Beh! Kenapa babeh malah setuju aku di hukum, sih?"

Malvin tidak menjawab, ia terus berjalan tanpa memperdulikan Gibran. Matanya menatap tajam, memang sepertinya hatinya itu di selimuti amarah.

"Aku nggak pernah mulai itu duluan, tapi temen aku." Gibran mencoba menjelaskan ketika Malvin tetap berjalan lebih cepat.

"Babeh denger aku nggak, sih? Aku nggak pernah mulai duluan, Beh!"

Malvin tetap tak menjawab.

"Babeh kenapa--"

Malvin secara mendadak memberhentikan langkahnya dan menatap Gibran nyalang. "Kenapa? Tanya sama diri kamu sendiri!"

Gibran mendadak bisu, lalu membiarkan Malvin yang kini menjauh dan pergi menggunakan mobil hitamnya.

***

Gibran menatap kosong kearah deretan perumahan di depannya. Angin berhembus cukup kuat mengenai rambut dan wajahnya. Dari balkon ini, ia mampu melihat bintang yang sedikit membuat tenang hatinya.

Beribu pertanyaan bersarang di kepalanya. Soal ayahnya, soal kemarahannya, segalanya. Mengapa Malvin seakan-akan sangat membenci dirinya? Seakan yang di lakukannya selalu salah.

Terkadang, Gibran tetap berusaha menjaga perasaan ayahnya dengan tetap menghibur. Tanpa Malvin tahu, Gibran pun mencoba untuk memperbaiki hubungannya yang sudah mulai renggang beberapa waktu ini.

DEAR US (SELESAI)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang