"Udah beres semua Ra?"Suara Papa menyapa dari depan pintu kamarku yang memang tak tertutup.
Setelah makan makan malam, aku memang kembali ke kamar untuk mengemasi semua keperluanku untuk menjalani kkn.
Ya seperti kata mas Amar waktu di rumah mbak Dila lalu, ternyata memang dia sudah lebih dulu mendapat info tentang kkn ku. Jelas ya dari pak Alzam. Yang ternyata juga menjadi dosen pendampingku. Eh, pendamping kelompokku tepatnya."Udah Pa. Doain Ra lancar slamet ya Pa selama kkn." , Aku kemudian bergelayut manja di lengan Papa yang sudah duduk di ujung ranjangku.
"Pasti. Tapi papa tenang, karena Pras janji akan menjaga putri papa. Dan pasti mas mu juga akan menjengukmu nduk. Yang penting hati² bawa diri, jangan lupa solatnya."
"Iya Pa. Ra cuma bingung kenapa kelompok Ra bisa kkn di tempat yang jauh banget ya, paling jauh lho Pa kelompok Ra."
Tahun ini kampusku membagi kkn menjadi enam kelompok. Dan semua tersebar di beberapa wilayah Yogyakarta sampai Jawa Tengah. Dan kelompokku terdampar sampai daerah Jepara.
"Ya gak apa², biar jadi pengalaman toh. Tapi satu tim kan sama Malika?"
"Iya Pa, malam ini dia kesini malah, mungkin udah di jalan."
"Ra, gak mau lanjut biar bisa dinas ke rumah sakit gitu?" , Interupsi dari mas Amar yang masuk ke kamarku bersama yang lain juga.
"Gak tau Mas, tapi belum ada bayangan kesana."
"Nih, buat pegangan, jaga makanmu, jangan sembarangan jajan." , Mas Anhar memberikan satu kartu atm lagi padaku.
"Makasih Mas, tapi Ra masih ada tabungan yang rasanya cukup."
"Terima aja. Dan ini buat jaga² kalo kamu butuh cash." , Kali ini mas Amar memberikan amplop yang jelas aku tahu berisi uang cukup tebal.
"Udah terima, takutnya aku gak sempat nengok kesana, kamu butuh apa² ternyata jauh kemana mana, kan repot."
Ya, aku tahu maksud Ryan. Kami semua buta daerah tempatku menjalani kkn ini. Dan mereka sangat tahu kadang aku ini rewel dengan hal sepele yang harus aku beli."Yang jelas jangan telat makan Ra, itu penting." , Sesuai pesannya, mbak Dewi membekaliku banyak kaleng biskuit sebagai pengisi perut.
"Iya, Ra pasti jaga kesehatan. Sebulan besok pasti Ra kangen semua." , Aku kembali menangis. Padahal dari kemarin sejak pembagian ketentuan kkn, aku sudah berkali kali menangis dengan saudara²ku.
"Anggap aja ini belajar ketika nanti kamu berkeluarga dan meninggalkan rumah ini karena ikut suami."
"Hiks...Papa...kok gitu, katanya semua harus tetap disini. Papa ngusir Ra kalo udah nikah?"
"Enggak toh, mana ada orang tua ngusir anak nduk. Tapi kalo perempuan itu kan kodratnya ikut suami. Kecuali kalo suami kamu nantinya mau ikut tinggal disini baru kamu gak keluar."
Tangisku semakin menjadi, ini adalah untuk pertama kali aku meninggalkan rumah dan berpisah dengan keluarga dalam waktu cukup lama. Ditambah lagi malah Papa membahas tentang suatu hal di masa depan nanti. Aku saja belum pernah membayangkannya. Dan jadi semakin tak mau memikirkannya.
Aku tak tahu, kapan mereka meninggalkan kamarku. Yang jelas saat ini, aku melihat jam sudah hampir subuh, dan sudah ada sosok Lika tertidur pulas di sampingku.
Aku keluar kamar, untuk ke dapur minum.
"Mbak."
Sapa dari seorang yang dua hari ini tak aku jumpai.
"Tair." , Aku memeluknya. Adikku yang sudah resmi menjadi mahasiswa kedokteran yang sudah sibuk di awal kuliahnya karena program yang dia ambil.
"Maaf ya, aku gak bisa kasih apa² buat Mbak bawa kesana. Bahkan aku malah sibuk banget hampir gak bisa ketemu."
"Enggak, mbak gak butuh apa², mbak mau kamu lancar kuliah dan program kamu, kasih mbak toga wisuda itu ya? Tapi, jangan lupa jaga kesehatan kamu. Kalo mas Ryan jadi jenguk mbak, kamu ikut ya?"
Aku sedikit tahu, Altair mengambil sebuah program khusus dalam kuliahnya, yang memungkinkan dia bisa lebih cepat meraih spesialisnya. Spesialis jantung tujuannya. Tapi kami semua yakin dia bisa, karena memang kemapuan otaknya luar biasa.
"Mau solat malam gak Mbak, masih ada waktu, jamaah yuk?"
Aku melangkah bersama adikku, ke mushola kecil di ujung rumah kami. Haus yang tadi kurasa, sepertinya sudah sangat basah dengan kehangatan kami barusan.
Altair, yang dulu dengan sabar aku mengajaknya belajar solat, kini, dia berdiri tegak di depanku, menjadi imam solatku.
Betapa bersyukurnya aku, jika berhadapan dengan sosok Altair ini meski tak ku tahu apa alasan pastinya. Aku sangat menyayangi dia, adik yang aku rawat sejak kecil, di saat usiaku sendiri juga masih kecil. Sosok tenang, pendiam, namun sangat penyayang dan jelas sangat cerdas.
KAMU SEDANG MEMBACA
'A' (Selesai)
General Fictionkata Papa, 'A' itu artinya alhamdulillah.... sebagai bentuk syukurnya telah memiliki kami semua.... five A Jadi, apapun adanya harus tetap bersyukur agar bahagia. namun apakah aku masih bisa menjadi aku setelah....