41

120 10 0
                                    


Sedih, haru tapi juga bahagia. Sore ini keberangkatanku ke tempat tugas lagi, di antar Papa juga saudaraku kecuali mas Amar dan mbak Dewi ya pastinya.

"Hati² dan jaga diri kamu baik² Almira Alamsyah."

Suara tegas penuh penekanan dari sang kepala keluarga, Arhimza Alamsyah, Papaku.

"Doain Ra terus ya Pa, kalo Ra telpon jawab ya Pa, biar Ra bisa denger suara Papa."

Aku bisa merasakan anggukan kepalanya karena dagunya yang berayun menyentuh pucuk kepalaku.

"Baik² bawa diri ya Ra, jaga kesehatan. Kalo butuh apa² kabarin rumah."

Aku beralih memeluk mas Anhar, dia berulang ulabg menciumi keningku. Aku hanya bisa mengangguk angguk sebagai jawaban. Karena aku tak sanggup bicara dalam tangisku.

"Semangat, aku tunggu delapan bulan dari sekarang, harus pulang dan dinas disini. Oke!"

Siapa lagi kalau bukan Alryan, saudara kembarku yang selalu bisa mengerti aku.

"Hati² ya mbak Ra, selalu kasih kami kabar. Jaga kesehatan mbak Ra. Cepet pulang."

"Baik² ya Ra, jangan lupa makan. Semoga ada hari libur panjang biar kamu bisa pulang."

Mbak Dila, dia tahu aku gak akan pulang setelah ini, setidaknya sampai masa ikatan dinasku selesai delapan bulan kedepan.

"Ra pamit Pa, Mas, Mbak, Dek. Sehat² semua ya. Doain pengajuan Ra di setujui Ra bisa pns disini."

Kuciumi satu persatu punggung tangan mereka, sebelum akhirnya aku masuk gate keberangkatanku.

Aku tinggalkan mereka yang masih bediri di depan terminal C domestik. Bahagia, kepergianku kali ini di antar langsung oleh Papaku. Karena memang, jelas delapan bulan kedepan aku tidak akan bisa pulang. Karena aku harus menyelesaikan tugasku. Meski ada libur akhir semester sebulan lagi, tapi pengawas sudah berpesan padaku untuk mengikuti proses uji pns agar bisa langsung pns setelah penugasan ini.

"Ya ampun Def, kamu masih disini?"

Aku keluar dari bandara hampir jam tujuh malam, dan mendapati Defan di depan bandara. Padahal aku baru berniat menghubungi mbak Tria.

"Enggak, aku udah pulang dulu tadi. Aku mendarat jam dua siang dan balik sini sengaja jemput kamu Al."

Aku sudah menerima permintaan Defan untuk tidak berbahasa formal di luar sekolah. Dan akhirnya aku mau memanggilnya dengan langsung namanya seperti permintaannya. Dan Defan memanggilku 'Al' satu²nya Defanlah yang menyebutku demikian. Karena guru lain selalu menyapaku lengkap, dan hanya mbak Tria yang menyebutku 'Mira'.

"Udah yuk?" , Defan sudah memasukkan koper dan kardus yang kubawa ke dalam mobilnya.

"Harusnya kamu gak usah repot jemput aku Def, aku sudah minta mbak Tria. Kamu kan juga baru tiba tadi siang."

"Apa bedanya Al, aku juga gak capek. Kita makan dulu ya, jadi nanti sampe rumah tinggal istirahat."

Defan membelokkan mobilnya kesebuah restoran cepat saji, tak jauh dari pusat perbelanjaan yang biasa aku datangi bersama mbak Tria.

"Mau pesen apa Al?"

"Apa aja. Tapi nasi ya Def. Oh ya, aku tinggal ke supermarket bentar ya?"

"Oke, tolong titip pengharum ruangan aroma kopi Al." , Aku acungkan jempolku pada Defan.

Hampir sama, aku juga berniat membeli pengharum ruangan juga memang. Tapi aku juga harus membeli susu dan buah pastinya.

"Salut Al, kamu rajin minum susu."

Kami sedang menikmati makan malam ini, setelah aku selesai dari supermarket. Karena ternyata Defan menungguku untuk makan. Padahal aku kira dia sudah makan lebih dulu.

"Kesehatan kan juga penting. Lagian aku memang suka susu dari dulu."

"Aku juga lho Al." , Seringai senyumnya.

Selalu ambigu, Defan memang kadang menyinggung hal² menyimpang saat berbicara. Tapi aku selalu memilih untuk tidak merespons.

"Mbak Tria udah pulang, nih kuncimu Al."

Defan meletakkan kardus bawaanku di depan pintu.

"Sekali lagi makasih buat semua Def, aku masuk dulu."

"Oh iya, ini titipan kamu tadi." , Ku ambil pengharum ruangan milik Defan dari kantong belanjaan yang masih aku tenteng.

"Oke makasih Al, met istirahat ya, kalo butuh bantuan panggil aku. Gas nya udah aku pasangin kok tadi."

"Tenks." , Aku membawa barang²ku masuk dan segera ku kunci lagi pintunya.

Aku selesai mandi setelah lebih dulu memasak air. Dan segera kudirikan solat.

Aku matikan lampu, setelah baru saja kututup sambungan telepon dengan Ryan dan yang lain melalui videocall.

Sempat terlihat ekspresi tak suka dari adikku saat ku katakan Defan yang menjemputku di bandara. Aku bisa menangkapnya meski Altair tidak mengatakannya.

Pagi hari, mbak Tria sudah sampai di rumah dinas yang kutempati setelah semalam aku mengiriminya pesan memintanya agar kesini.
Karena aku berniat membagikan oleh² yang kubawa.

Aku hanya membawa dua besek gudeg komplit. Satu untuk keluarga mbak Tria, dan satu lagi untukku sendiri. Mungkin akan kubagi dengan Defan.
Dan batik tulis yang kupilih khusus untuk mbak Tria dan pak Prayit juga mamaknya.
Sedang yang sisanya, ada 40 dus bakpia isi 25 untuk teman² guru besok juga tetangga di kavling rumah dinas. Karena mereka rata² orang dari Kalimantan Barat juga, jadi mereka baru akan tiba mungkin nanti malam.

"Def, udah makan? Nih ada gudeg, sekalian sama nasinya udah aku masakin."

Setelah mbak Tria pulang, aku merasa lapar karena memang sudah waktunya makan siang. Tapi aku ingat ada Defan di sebelah. Gak ada salahnya aku membagi dengannya. Toh dia sudah banyak menolongku juga meski kadang tak kuminta.

 'A'  (Selesai)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang